Topeng Monyet
Oleh: Yu Surya Kangkung

     Hujan turun sebentar, hanya sekedar untuk membasahi jalanan yang berdebu. Kupandangi motor yang lalu-lalang di jalanan, tapi tak satu pun pengendaranya Bima, orang yang ku tunggu. Sudah satu jam lamanya aku menunggu, batang hidung Bima belum juga tampak. Aku  mulai risih ketika beberapa orang cowok yang sedang menunggu bis, di halte tempatku menunggu Bima, mulai menggoda. Aku tidak suka dengan tatapan mereka yang nakal. “Dasar! Tidak bisa melihat wanita cantik.” kataku dalam hati dengan PD alias percaya diri. Dulu ketika dandananku masih culun, tidak ada seorang pun yang mau berteman dengan ku, kecuali Luna teman baikku, dan Bima yang sekarang telah menjadi kekasihku.
    Masih kuingat saat pertama kali aku berkenalan dengan Bima.
    “Boleh Pinjam penanya?” tanya Bima kepadaku yang sedang mengantri untuk registrasi ulang. Kuberikan pena yang sedari tadi masih kupegang.
    “Kuliah semester berapa?” tanya Bima seraya mengisi formulir F-1 nya.
    “Tiga.”
    “Jurusan?”
    “Sastra Inggris.”
    “Wah hebat! Jago bahasa Inggris dong?”
    Aku tersenyum saja.
    “Perkenalkan …  Aku Bima.”
    Kujabat tangan Bima dengan agak sedikit canggung. Maklum, ini pertama kalinya ada cowok tampan yang mau berkenalan denganku.
    “Mahasiswa Teknik Informatika, semester Lima. Pindahan dari Bandung.” Bima memberi info tanpa kutanya.
    “Ngomong-ngomong, pulangnya kemana?” tanya Bima sambil mengeluarkan laptop dari dalam tasnya. Laptop yang paling mahal harganya. Dari laptop berwarna biru keperakan itu, aku dapat menebak kalau Bima adalah anak orang elit.
    “Pulangnya kemana?” tanya Bima sekali lagi karena didapatinya aku hanya bengong saja.
    “Eh… Silaberanti,” jawabku agak kaget
    “Silaberanti, bukankah daerah itu tidak jauh dari sini?”
    Aku mengangguk. Lama kami terdiam. Bima sibuk mengutak-atik laptopnya. Beberapa saat kemudian dia bertanya.
   “Punya Facebook?”
Belum sempat aku menjawab, nomor antrianku dipanggil.
   “Maaf, aku duluan.”
   “Oh ya, silahkan.”
   Hari Pertama perkuliahan dimulai, dosen hanya memberikan silabus dan sedikit penjelasan tentang materi yang akan dipelajari. Belum sampai satu jam, dosen sudah keluar ruangan. Masih ada waktu sekitar satu jam lagi sampai ke jam mata kuliah selanjutnya. Sebagian teman-teman, ada yang pergi ke kantin, ada juga yang tetap menunggu di kelas sambil mengobrol atau mendengarkan MP3. Aku sendiri memilih tetap di kelas sambil membaca Hamlet karangan Shakespeare yang belum aku selesaikan. Aku mulai membaca dan tenggelam dalam duniaku sendiri. Tiba-tiba, suasana di dalam kelas menjadi hening. Aku mengangkat wajahku. Tampak seorang cowok bertampang keren mendekatiku. Bima…
    “Ini penanya, maaf aku lupa mengembalikan.”
    Diletakannya pena hitam itu di atas bukuku. Pena yang akupun sudah lupa kalau aku pernah meminjamkannya kepada seseorang. Bima tersenyum kepadaku. Duh! Senyum dan lesung pipitnya itu membuat wanita mana saja yang melihatnya pasti akan tergoda. Bima mengerlingkan matanya kepadaku yang hanya bengong bagai orang tolol, tiap kali memandangnya. Deg! Semakin rontok jantungku dibuatnya.
   Sejak itu, aku dan Bima berteman. Semenjak itu pula teman-teman mulai mendekatiku, terutama teman wanita. Mereka memintaku agar memperkenalkan Bima dengan mereka. Pertemananku dengan Bima membawa perubahan. Aku yang dulunya tidak pernah memperhatikan penampilan, kini sedikit demi sedikit mulai mengerti dengan fashion. Aku agak kaget ketika Bima menyatakan cintanya dan ingin menjadi kekasihku. Awalnya aku menolak, tapi Bima berhasil meyakinkanku.
   Tin…tin, bunyi klakson motor membuyarkan lamunanku. Bima menyodorkan helm. Aku segera memakainya dan naik ke motor.
   “Kemana saja Bim, kok lama sekali?”
   “Motornya mogok.”
   “Kenapa tidak menelepon, handphone kamu juga tidak aktif.”
Bima tidak menjawab. Bruummm … motornya melaju dengan cepat. Terkadang aku merasa was-was bila diboncengnya. Maklumlah, Bima sering ikut balapan motor, jadi jalan raya pun mungkin dianggapnya sirkuit.
   “Bim, kita mau kemana?” aku bertanya karena bingung.
   Bima membelokkan motornya ke arah lorong menuju rumahku.
   “Ganti sepatumu dengan sepatu warna pink yang aku belikan.”
   “Hah! Cuma untuk mengganti sepatu saja,” rutukku dalam hati. Namun kuturuti saja. Aku tidak tahan bila harus bertengkar dengan Bima gara-gara hal kecil.
   “Tunggu!” Cegah Bima ketika aku akan melangkah masuk kedalam rumah. “Rambutmu kuncir dua, pakai pita warna pink juga.”
   Aku menganggukan kepala, lalu melangkah membuka pintu. Belum sempat memegang gagang pintu, Bima mencegah lagi. Aku membalikan tubuhku.
   “Lipstik kamu tidak kelihatan.”
   “Iya tuan, masih ada lagi?” tanyaku setengah kesal.
   “Uhmmm … sudah, itu saja. Cepat ya, nanti kita terlambat ke pestanya.”
   Aku menghela nafas, lekas masuk kedalam rumah. Cepat-cepat kukuncir rambutku, menebalkan lipstik, dan mengganti sepatu, lalu keluar lagi.
   “Nah! Begitukan lucu,” komentar Bima dengan senyum yang khas memamerkan lesung pipitnya.
Lucu, ugh! Selalu saja itu komentarnya, tetapi tak apalah. Demi menyenangkan hati kekasih sendiri.
Pesta ulang tahun teman Bima meriah sekali. Aku masih minder bila harus berkumpul dan mengobrol dengan teman-teman Bima yang kebanyakan adalah orang elit. Di pesta, aku hanya diam saja. Duduk menyendiri. Ku biarkan Bima asyik mengobrol dengan teman-temannya, saking asyiknya sampai-sampai dia tidak sadar kalau aku tidak bersamanya. Ketika dia sadar, barulah dia mendekatiku yang sedang duduk mengamati ikan Koi di dalam kolam.
   “Apa yang kamu lakukan disitu?”
   “Ini ikannya, lucu sekali.” jawabku seraya menunjuk ke kolam.
   “Ah! Kamu ini. Kita kesini untuk acara pesta ulang tahun, bukan menonton ikan.”
   Dia tarik tanganku, lalu diperkenalkannya aku kepada teman-temanya. Duh! Aku gugup. Saking gugupnya, aku ingin ke toilet. Aku segera permisi. Ketika kembali lagi, kulihat Bima yang tertawa terbahak-bahak bersama teman-temannya. Mereka tidak menyadari kedatanganku. Salah satu dari mereka berkomentar yang membuat telingaku panas.
   “Oh, jadi kekasih kamu yang sekarang kamu anggap Topeng Monyet juga. Dari kecil suka Topeng Monyet, hingga semua kekasihnya pun dianggap Topeng monyet.”
Lalu yang lain menimpali, “Iya, monyetnya juga lucu. Monyet Pinky.”
Terdengar kembali suara tawa mereka yang meledak. Merah padam jadinya mukaku, darah pun serasa mendidih. Namun aku berusaha sekuat tenaga agar aku tidak mengamuk dan membuat kekacauan serta menjadikanku benar-benar seperti monyet liar yang lepas. Pelan-pelan aku meninggalkan ruangan. Setelah sampai di luar, aku mengambil langkah seribu. Tak ada air mata sedikitpun yang keluar, yang ada hanyalah kemarahan.
    Sesampainya di rumah, aku segera masuk kekamar. Kulepaskan semua barang yang berwarna pink di tubuhku, barang yang membuatku dianggap seperti Topeng Monyet. Aku mengoceh dan memaki diriku sendiri, ”Bodoooh!” Aku memang bodoh, mencintai pria seperti Bima. Seharusnya dari dulu aku menyadari, mana mungkin Bima yang tampan dan keren mau mencintai gadis culun sepertiku dengan setulus hatinya.
Tak lama kemudian terdengar suara motor Bima yang memasuki halaman rumah, cepat aku menyembunyikan tubuhku di bawah selimut, pura-pura tidur.
   Ibu masuk kekamar, diguncang-guncangnya bahuku, ”Yan... ada Bima.”
   ”Katakan saja aku sedang tidak mau bertemu dengannya. Kepalaku lagi pusing!”
Ibu memandangku bingung dan mengernyitkan dahinya, lalu cepat keluar kamar menemui Bima. Tak lama, terdengar suara mesin motor Bima yang dihidupkan, kemudian pergi.
  ***
   Aku duduk di teras belakang rumah, dimana tempatku setiap malam duduk memandangi bintang. Malam ini cerah, bintang bertaburan bagai intan permata. Menghiasi langit malam yang kelam. “Eh, tapi kenapa ya, bulannya agak muram?” pikirku dalam hati. Mungkin Ia lagi bersedih karena Ia tahu ketulusannya menyinari dunia tidak akan pernah terbalas. Seperti halnya ketulusan cintaku kepada Bima. Aku menghela nafas panjang.
   “Kenapa melamun?”
   Aku menoleh, tahu-tahu Ayah sudah duduk di samping kananku. Aku tidak menjawab. Kupandangi Ayah yang mulai tampak tua. Rambut putihnya terlihat jelas walaupun di bawah sinar bulan. Ayah yang sangat kusayangi. Ayah sekaligus teman tempat aku bercerita selain kepada Luna. Aku bersandar di bahunya. Entah, sampai kapan aku masih bisa bersandar di bahu yang telah tua dan renta ini.
   “Ada apa?” tanya ayah lembut. Diusap-usapnya kepalaku.
   Aku tidak tahu harus dari mana memulai ceritaku. Apakah Ayah akan percaya jika aku bercerita kepadanya, karena selama ini Ayah beranggapan kalau Bima adalah pemuda yang baik. Kupejamkan mataku sesaat, lalu menghirup nafas panjang sebelum memulai ceritaku.
   “Hari ini aku marah dengan Bima, karena aku dianggapnya Topeng Monyet.”
   “Topeng Monyet?”
   Kujelaskan pada Ayah dari awal hingga akhir apa yang terjadi di pesta ulang tahun tadi siang.
   “Ayah bayangkan. Selama ini aku dianggapnya Topeng Monyet karena menurut saja apa yang disuruhnya,” kuakhiri ceritaku.
   Ayah hanya diam, tak lama kemudian  dia berujar, “ Mungkin kamu salah dengar.”
   “Tidak Ayah, aku mendengar dengan jelas apa yang mereka katakan.”
   “Tapi bisa sajakan, kalau gadis yang dianggap Topeng Monyet itu bukan kamu?”
   “Tidak, tidak. Aku tidak mungkin salah. Bima menganggap semua kekasihnya baik yang dahulu maupun yang sekarang sebagai Topeng Monyet, dan aku adalah kekasihnya yang sekarang. Itu sudah jelas, Ayah!”
    Nada pada kata-kataku agak bergetar. Aku takut jika Ayah lebih memilih membela Bima daripada aku.
   “Tapi kamu tulus menyayangi Bima kan?”
   Mataku terbelalak lebar dengan pertanyaan Ayah. Sungguh aku tidak mengerti apa yang ada di benak Ayah.
   “Seandainya aku tahu akan disakiti, lebih baik tidak usah tulus,” kataku seraya mengusap butiran air mata yang mulai mengalir dari sudut mataku. Aku merasa bahwa Ayah memihak kepada Bima.
Bima yang bersikap sopan. Bima teman Ayah bermain catur. Bima teman berkelakar Ayah. Bima yang selalu memperbaiki motor Ayah bila mogok, mungkin hal-hal inilah yang merebut hati Ayah dariku.
Aku semakin terisak-isak saat Ayah merangkul pundakku dan berkata, “Jangan menangis. Ayah yakin ketulusanmu akan berbuah manis,” Ayah melepas rangkulannya, lalu katanya lagi, “Sekarang, lebih baik kamu istirahat.”
   Ku gelengkan kepala, “Aku masih mau disini, sebentar lagi.”
   “Baiklah, tapi jangan terlalu lama di luar. Nanti masuk angin.”
   Ayah meninggalkan kusendirian, yang termangu merenungi nasib. Mengapa Bima begitu tega melakukan hal yang sangat menyakitkan hati? Selama ini ia tidak mencintaiku.
   “Yanti.”
   Tiba-tiba suara Bima memanggil dari balik pintu belakang, ia menghampiriku.
   Aku beranjak dari duduk, hendak masuk ke dalam rumah. Namun ia menghadang. Tangannya yang kekar mencengkeram pergelangan tanganku.
  “Kamu kenapa?”
   Bima menatapku. Tatapannya yang dapat meluluhkan hati. Aku tak kuasa menatap mata itu hingga dengan sekuat tenaga aku berusaha melepaskan cengkeramannya.
   “Lepaskan tanganku, aku mau tidur!”
   “Tidak akan, sebelum kamu katakan apa salahku sehingga kamu pergi menghilang dari pesta, lalu kini berusaha menghindariku tanpa alasan yang jelas.”
   “Pikirkan saja oleh dirimu sendiri!” Kataku sambil terus berusaha melepaskan cengkraman tangan Bima.
   “Aku benar-benar tidak tahu, Yan?”
   Lama aku berdiam diri, berusaha mengontrol emosiku. Kalau saja tidak ada sisa cinta di hati ini, pastilah        Bima sudah kutendang seperti aku menendang kaleng kosong. Klontanggg … Kutendang jauh-jauh hingga aku tidak bisa melihatnya lagi.
   “Kesalahanmu adalah menganggapku sebagai Topeng Monyet.”
   “Topeng Monyet? Kamu bicara apa sih?”
   “Kamu jangan pura-pura tidak mengerti, Bim. Aku dengar apa yang kalian bicarakan waktu di pesta tadi siang. Sungguh tragis nasib semua kekasih kamu, dianggap Topeng Monyet. Sialnya, salah satu dari mereka adalah aku. Kamu sungguh keterlaluan!”
   “Tapi Yan....”
   “Apa?! Kamu mau bilang kalau aku ini memang Topeng Monyet sungguhan!!” Aku menghardik dengan suara keras
   “Maaf ... aku mengaku salah, tapi aku sungguh menyayangimu.”
   “Lantas kenapa kamu menganggapku Topeng Monyet? Sekarang pergilah. Anggap saja kita tidak pernah kenal.”
   Air mata yang sedari tadi kutahan, kini mulai mengalir membasahi pipi. Entah air mata buaya atau bukan, aku pun melihat butiran bening metes dari sudut mata Bima. Untuk pertama kalinya aku melihat laki-laki menangis. Bahkan aku tidak tahu dalam hal apa laki-laki akan menangis, yang aku tahu laki-laki tidak boleh menangis. Bima, lelaki yang egois dan keras kepala, menangis di hadapanku. Dia rangkul tubuhku.
   “Ku mohon berilah aku kesempatan. Aku terlanjur sayang padamu dan tidak mungkin membunuh rasa ini. Ku mohon, maafkan aku....”
   Aku tidak tahu harus berkata apa. Spontan tanganku membalas rangkulan Bima. Hidup ini memang aneh. Kesalahan yang dilakukan oleh seseorang terhadap kita, bisa menjadi api. Membara, berkobar membakar apa saja yang ditemuinya. Tetapi, dengan sederhana cinta mampu memadamkan api yang membara. Dengan mudah aku memaafkan Bima karena aku tulus mencintainya.*



+ Add Your Comment