By : Lily Husain, Hylla Shane Gerhana, Laila Syifa, Petra Shandi, Fitri Cook-Bomer, Risah Icha Azzahra
Gila! Cowok itu keren banget sih. Jadi pengen kenalan nih. Tapi gimana mulainya ya? Masa iya aku yang harus ngajak kenalan duluan? Tengsin dong, masa cewek semanis aku ngajak kenalan duluan. Tapi, kalau ditahan bisa-bisa aku nggak bakalan kenalan sama cowok cakep itu. Gimana ini?
Jasinda, gadis manis berkulit putih dengan wajah oriental itu sedang menahan perasaannya yang sedang cenat-cenut ketika melihat Shandi, si cowok cakep yang cool abis lewat di hadapan matanya. Ingin menyapa tapi gengsi, ingin dilewatkan takut menyesal. Jasinda, benar-benar sedang memutar otaknya agar bisa berkenalan dengan si cowok cakep bersuara bariton itu.
Jasinda benar-benar tak tahu. Dia sendiri gak tahu kenapa dirinya jadi terus menerus memikirkan Shandi? Padahal cowok itu terkesan angkuh dan begitu dingin kepadanya. Buktinya meski dia sudah berusaha bersikap baik dan kasih senyum segala, Shandi masih tetap saja bersikap kaku. Jangankan balas tersenyum ngomong ba, bi bu aja kagak.
Huufft! Kenapa dia tidak melupakan saja Pangeran Salju Shandi untuk kemudian memikirkan yang lainnya? Misalnya Andre yang tampan dan banyak disukai oleh kaum cewek. Bahkan, sepertinya Andre diam-diam suka kepadanya. Bukankah suatu kebanggaan tersendiri kalau dia menjadi pacar Andre yang selama ini menjadi idola kaum cewek. Tetapi di luar pun banyak cewek yang memuja dan berharap menjadi teman dekat Andre. Ah rasanya dia bukan cowok yang setia. Dan suatu kebanggaan tersendiri bisa bisa menakhlukan Shandi yang dingin dan sangat tampan itu.
"Dari tadi ngeliatin aku ya?" Shandi si Manusia Salju itu tanpa disangka ternyata memperhatikan sikap Jasinda yang sejak tadi melirik ke arahnya.
"Hmm, sapa yang kamu maksud. Saya?" kata Shandi sambil menoleh ke kanan dan ke kiri.
Ternyata di tempat itu tidak ada siapa-siapa lagi hanya mereka berdua. Ada beberapa yang tengah ngobrol di sudut kantin tapi mereka orang yang sama sekali belum di kenalnya.
"Hm..m..m..nggak kok," balas Jasinda gelagapan.
"Tapi pandangan kamu dari tadi ngarah ke saya," keukeuh Shandi."Artinya kamu dong yang merhatiin saya?”
Yes! setidaknya mulai ngomong..hehe,lirih Jasinda dalam hati sambil mutar badan segera meninggalkan TKP.
Shandi meraih pergelangan tangan Jasinda, menahannya untuk pergi.
Jasinda yang dari tadi malu-malu memberanikan diri memasang wajahnya. wajah indahnya itu tersenyum tepat ke mukanya. "Siapa nama kamu?" Bukannya menjawab, Jasinda malah terdiam ,mulutnya seperti terkunci untuk beberapa saat.Ya Tuhan.. bagaimana ini, katanya dalam hati.
"Jasinda, tunggu! Bisakah kita pulang bersama?" kata Shandi. Kata-kata tak terduga itu membuat debaran tak menentu.
Tak mungkin, ini semua tak mungkin, apakah aku salah dengar, ataukah sedang bermimpi ujar Jasinda dalam hati.
Jasinda katanya? kok dia tahu ya namaku? padahal aku belum sempat memberi tahu namaku. Tuhan, jantungku... bagaimana ini. Jasinda gugup setengah mati.
Jasinda menghentikan langkahnya, mau tahu. apakah dia akan datang menghampir?i. Kalau tidak, berarti itu cuma halusinasi perempuan itu. Makhluk indah itu perlahan menghampiri dan kini dia tepat berada di depan wajahnya.
"Darimana kamu tahu namaku?" kata Jasinda pelan. Shandi hanya tersenyum manis. Oh Shandi, jangan tersenyum terus. Senyummu itu buat aku tegang gak jelas seperti ini,batinnya.
"Emangnya cuma kamu aja yang suka merhatiin orang? aku juga suka dong merhatiin kamu, barusan aku tanya ke abang tukang bakso . katanya namamu Jasinda." Cowok itu tertawa kecil," Penggemar bakso ternyata"
Jasinda hanya tersenyum malu . Dan kamu penggila Skate board balas Jasinda dalam hati, setiap sore dia sering memperhatikan Shandi bermain Skate board di taman ini.
"Shandi." cowok itu mengulurkan tangan, memperkenalkan diri. Lagi-lagi Shandi tersenyum ramah.
Ah, aku sudah tau namamu tau, bisik Jasinda dalam hati.Namun tetap saja dia menerima ajakan jabatan tangan untuk perkenalan diri itu. Tangannya besar dan kasar, layaknya tangan cowok, lamun Jasinda. Jantungnya terasa berdegup semakin cepat.
Jasinda tidak menyangka bisa sedekat ini dengan Shandi. Semeter pun tidak, terlalu dekat dari yang dia targetkan sebelumnya. Ah, apakah ini mimpi? Kalo ini mimpi, kenapa aku bisa merasakan cubitanku sendiri di pinggang? perempuan itu tersenyum sendiri.
“Ey... ngelamun lagi.." Si Ganteng itu membuyarkan lamunan Jasinda." Gak sopan tau, cuekin orang yang lagi bicara" perempuan itu semakin salah tingkah. Nampak tidak jauh dari sini beberapa temannya menggoda Shandi.Ah.. malu, aku jadi pusat perhatian kawan-kawan Shandi,batinnya.
"Aku pulang dulu Shan," masih dengan gaya jaimnya.
"Eitsss, Jasinda tunggu ada yang kelupaan nih Hpmu." Alasan itu di manfaatin Shandi untuk kembali berlama-lama dengan gadis manis yang imut itu."Pulang bareng yuk aku anterin.”
“Jasinda.”
“Oh, eh, ya?”
“Ngelamun ya? Apasih yang di lamunin, kok bengong sembari memandangi aku begitu?”
“Maaf”
“Memang apa yang kamu pikirkan, pasti berpikir yang bukan-bukan tentang aku, yah?” tuduh Shandi.
“Enggak. Justru sebaliknya.”
“Maksudmu?”
“Jujur saja aku kagum padamu.” ujar Jasinda panas dingin. Oh Tuhan kenapa kata-kata memalukan itu bisa keluar dari mulutku. Aku ini wanita!, teriaknya dalam hati.
“Begitupun aku telah lama ingin dekat denganmu, Jasinda. Karena kamu bukan cuma cantik di luar saja, tetapi setiap saat aku melihatmu kamu begitu lembut dan tulus, sehingga banyak teman yang menyayangimu. Kamu selalu memperhatikan sesama , meski orang itu bukan siapa-siapa kamu.”
“Maaf, enggak ada recehan.”
“Ratusan ribu juga boleh. Mana aku punya?”Shandi tertawa “Kamu ini, di bilangin kok”
Sambil terus ngobrol Jasinda dan Shandi melangkah menyusuri trotoar dan koridor. Kesupelan Shandi yang semula di kira dingin itu membuat keduanya sudah akrab dalam waktu sekejap.
***
Waktu-waktu berlalu dengan pasti seperti guguran daun di musim kemarau, menghilang, menguap. Jasinda dan Shandi semakin akrab dan dekat seiring dengan lulusnya mereka dari bangku SMA. Hanya beberapa waktu terakhir, Jasinda terlihat murung,waktunya dengan Shandi tidak akan lama lagi, meski hatinya berharap bisa melewati waktu lebih lama dengan Shandi. Ah, perasaan apa ini? Mengapa hrs secengenng ini?Toh kami hanya sahabat. Hufh,mengucapkan kata sahabat ada sedikit perih di sudut hatinya. Mungkinkah?
“Hai Jas," Shandi mengagetkannya di sela-sela lamunannya.
"Ngagetin aja sih." Kata Jasinda, antara senang dan rasa kehilangan menggelayut di hatinya.
"Bukang ngagetin, abis kamunya ngelamun mulu sih." Shandi duduk di depan Jasinda."Lagi ngelamunin apaan?"
"Nggak ngelamun kok, situ aja yang ngeliatnya kayak lagi ngelamun."
Dengan gaya cuek, Jasinda berusaha untuk menutupi perasaannya dari Shandi, meskipun tanpa disadarinya, Shandi jelas tahu ada yang dia sembunyikan.
"Kamu menyembunyikan perasaanmu Jas, sama seperti aku." Kalimat itu membuat mereka berdua saling berpandangan. "Aku juga menyembunyikan perasaanku, dari seorang cewek yang sebentar lagi meninggalkanku."
"Siapa?" tanya Jasinda.
"Seorang teman kecilku, besok dia akan terbang ke Swiss, meninggalkanku."
Jasinda menunduk, dalam hati dia berharap wanita itu adalah dia, tapi kenyataan berkata lain.
Mereka berdua hanya bisa duduk termenung, memikirkan orang tercintanya yang sesaat lagi akan pergi.Shandi, air mukanya begitu sedih, belum pernah Jasinda melihatnya sesedih itu. Ingin memeluknya erat sekali.Tapi, ah.. dia takut emosinya tak terkendali.
"Kenapa kamu nggak bilang tentang perasaanmu padanya Shan?" Akhirnya Jasinda bersuara.
"Aku takut kehilangan dia, karena dia tak pernah punya perasaan apapun padaku selain sahabat, Jas." Shandi tersenyum. "Kamu? Kamu suka sama siapa?" tanya Shandi, membuat Jasinda terdiam.
Dia ingin mengatakan kalau lelaki itu adalah Shandi, tapi Jasinda tidak ingin merusak suasana terakhirnya bersama Shandi.
"Aku... " Jasinda hanya menutup wajah dengan jemarinya. "Gak tau lah Shan..." itu saja yang keluar dari mulut gadis cantik itu.
"Emang kamu mau lanjutin kuliah kemana?" Jasinda mencoba mengalihkan pembicaraan. Dia tidak berani menatap lelaki itu, yang dilakukannya hanya memainkan bunga yang sedang dipegangnya.
"Papa memintaku kuliah di Singapura, tapi aku gak mau" terang Shandi.
"Kenapa?"Jasinda keheranan
"Aku mau lanjutin di Jakarta aja, Toh banyak kampus hebat disana." terang lelaki itu. "Lalu kamu Jasinda?"
Jasinda hanya menunduk , tidak bisa menjawab pertanyaan yang diajukan Shandi. Tuhan, aku ingin sekali kuliah, tapi bagaimana? keluargaku tidak mungkin menyekolahkanku setinggi itu." Hm.. nanti kali ya? aku cari uang dulu setahun. Sapa tahu tahun depan aku ada uang buat kuliah" Jasinda menjawab penuh kemantapan. Itu hal yang disukai Shandi, seperih apapun jalan yang dihadapi Jasinda, perempuan itu penuh semangat untuk menghadapinya.
"Bisa.. kamu bisa Jasinda" Lelaki itu menggenggam erat jemari Jasinda yang dingin. Hangat sekali tanganmu Shan...
***
Empat tahun berlalu.. lambat laun nama Shandi seakan menghilang dalam diri Jasinda. Semua kenangan indah terkubur seiring dengan waktu dan persoalan hidup sehari-hari Jasinda
"sayang.. malam ini gilliran kamu manggung ya? jangan lupa pake baju yang seksi" ucapan nakal bossnya terdengar biasa saja di telinga Jasinda. ya memang seperti itu kehidupan di kalangan klub malam. Namun Jasinda masih bertahan, Selama imannya kuat. Dia pasti mampu.
Perempuan itu terpaksa bekerja di sebuah klub malam demi menyambung hidup keluarganya,Sang Ibu meninggal setahun lalu mengikuti ayahnya yang telah pergi sejak Jasinda masih kecil , penyakit TBC nya ternyata sudah tidak dapat disembuhkan lagi. Lagi-lagi beban Jasinda bertambah. Adiknya, kehidupan sehari-hari dan kuliahnya yang baru dia lakoni 2 semester ini.
"Jasinda sayang.. nyanyiin lagu yang hot donk" seorang lelaki hidung belang mencolek paha Jasinda."Iya Abang.. emang abang mau lagu apa?" balas Jasinda manja.
Dari kejauhan nampak seorang lelaki memperhatikan tingkah laku Jasinda. “Jasinda disini kamu rupanya,” ucapnya. Lelaki itu tidak lain adalah Andre, pemuda tampan yang selalu ditolak Jasinda saat SMU dulu.
Tidak disangka lelaki yang merayu Jasinda itu tengah mabuk, perempuan itu dipermalukan ditengah panggung. Dengan beringasnya dia ingin memeluk Jasinda. Jasinda ketakutan, "Aaahhhh!!" teriaknya. Namun lelaki itu memaksanya hingga pakaiannya robek.
Tanpa banyak berfikir Andre segera menghampiri sumber keributan dan memberi pelajaran pada lelaki hidung belang itu.
Dipukulnya lelaki berusia 40 tahunan itu hingga terjatuh ke lantai. Suasana klub mendadak gempar. Teriakan perempuan malam menghiasi perkelahian dua lelaki itu. Hingga akhirnya aksi mereka dipisahkan oleh security yang biasa selalu datang terlambat.
Saat kondisi mulai terkendali Andre menghampiri Jasinda yang hanya bisa terdiam di pojok panggung sambil menutup pakaiannya yang sempat robek gara-gara ulah lelaki hidung belang itu.
"Kamu gak apa-apa Jasinda? " Cahaya remang-remang mengaburkan pandangan Jasinda.Siapa dia? fikirnya.Lelaki itu memasangkan jasnya pada bahu Jasinda yang memang terbuka rendah karena sobekan itu lalu membawanya kebelakang menuju office.Ah.. siapa ini? Andre? cahaya yang terang membuatnya tersadar Andre lah yang telah menolongnya barusan.
"A.. Andre.." berbagai perasaan tumbuh disana.. senang, gugup, malu.. Tuhan, kenapa kau pertemukan aku dengan kawan sekolahku ditempat seperti ini, batinnya.
Andre tersenyum "Aku seneng kamu masih mengingatku Jasinda" Perempuan itu hanya bisa menundukan kepala."Kenapa? kamu gak seneng ketemu aku?"Andre terheran melihat perilaku Jasinda. "Tepatnya aku malu ketemu kamu Andre" terang perempuan itu apa adanya.
''Aku mengerti,” Andre tersenyum. “Sudah lama aku mencarimu Jasinda, baru 2 hari yang lalu aku bisa menemukanmu. Ternyata kau disini”.
"Hhaha.. Cari aku?? Buat apa coba? Habisin waktu aja" Jasinda hanya tertawa. "Tapi makasih banget, pertolongan kamu barusan bener-bener aku butuhkan" Jasinda pergi begitu saja.
"Jasinda...!! Jasinda" lelaki itu masih memanggil-manggil dibelakang. Jasinda tetap tidak peduli
"sampai kapan kamu terus menunggu Shandi??"
Deg!! Jantung Jasinda berdegup keras. Sudah 4 tahun dia tidak pernah mengucapkan nama itu.Dan kini, Andre malah mengingatkan dia padanya lagi.
Perempuan itu menoleh.. "Apa hubungannya dengan Shandi?"
Jasinda menghampiri Andre ."Apa maksud kamu? Memang kenapa dengan Shandi?? Dia sahabatku, gak lebih"
"Alah.. Jangan bohong.. Aku bisa baca matamu.. Kamu mencintainya.. Dan seharusnya Shandi menyadari itu."
Jasinda terdiam.
"Shandi yang bodoh, dia tidak pernah menyadari kenyataan yang sebenarnya" katanya . “Dan sekarang buat apa kamu menunggunya? Dia bukan seorang Shandi yang dulu lagi, melainkan seorang pecundang!”
“Andre!!, jaga mulutmu,” sentak Jasinda.
“Hahaha.. memang itu kebenarannya Jasinda. Lelaki itu sekarang jatuh miskin semiskin-miskinnya. Tidak ada lagi gaya elegan dari seorang Shandi”
Jasinda menatap Andre.”Andre, ada apa? apa yang terjadi dengan Shandi?” Perasaan perempuan itu goyah juga.
“Sudahlah, buat apa kamu cari tahu tentang dia, tidak ada untungnya. Memangnya kamu mau hidup sengsara dengannya?”
Plaak! Tamparan keras tertuju pada pipi kanan Andre.
“Aku, lebih baik hidup dengan seorang yang sengsara daripada hidup dengan orang bermateri tapi bermoral miskin seperti kamu. Bisa-bisanya kamu menghinanya disaat dia dalam keterpurukan? “ Jasinda meninggalkan lelaki itu sendiri. “ Oh iya, Dre..perilaku kamu itu benar-benar mengurangi kewibawaanmu sebagai seorang lelaki” Perempuan itu memandang rendah pada Andre.
Sementara Andre masih berdiri terpaku , tidak percaya dengan kata-kata yang keluar dari mulut Jasinda.Lihat jasinda, kamu akan membayar atas ucapanmu barusan, janji Andre dalam hati.
Tuhan dimana Shandi??
Ya Tuhan? Lindungi orang itu. Orang yang selalu bersemayam dihatiku , meskipun aku takkan pernah bisa memilikinya aku tapi tidak rela dia menderita seperti ini. Lindungi Shandi-ku , berilah ketegaran dan rezeki yang baik dari-Mu ya Tuhan. Aku mencintainya , selalu mencintainya.
Kata-kata itu selalu terucap dalam doanya setiap malam. Tidak ada yang bisa diakukannya selain berdoa, karena untuk mencarinya dia takkan bisa. Mungkin kini dia telah bersama dengan orang lain.
***
Minggu yang cerah, sengaja Jasinda mneghabiskan akhir pekan bersama adik lelakinya yang sudah beranjak remaja. Adik nya sangat tampan membuat Jasinda tersenyum sendiri membayangkan dirinya masih remaja dan pacaran dengan adiknya itu.
“Dika, kakak masih cantik gak? “
“Apaan sih.. “ Dika tertawa.
“Yah, kamu gak tau sih, waktu kakak seumuran kamu, kakak ini cantik banget. Banyak yang naksir kakak”
“Itu dulu.. kenyataannya kakak belum punya pacar sampai sekarang”
Jasinda terdiam.. pacar? Bagaimana aku bisa punya pacar? Aku terlalu sibuk dengan hidupku. Ah, bukan.. hatiku masih diisi Shandi. Perempuan itu tersenyum.
“Kalo kakak pacaran terus diajak nikah, emang kamu mau ditinggal kakak?” Jasinda menjitak kepala adik satu-satunya itu.
Jam makan siang mereka berada di sebuah restorant makanan cepat saji. Restorant ini baru buka sebulan yang lalu, membuat Dika penasaran ingin mencoba rasa Burger dan kentang goreng disana. Untung saja Jasinda menuruti kemauan adiknya. Sudah lama dia tidak mengajak Dika makan diluar.
Sementara sang adik mengambil makanan di meja kassa, Jasinda menunggu duduk disebuah meja yang cukup nyaman. Disana dia bisa menikmati taman diluar sana, taman saat pertama kali mereka bertemu.
Seorang lelaki berseragam kaos menghampiri dengan peralatan kebersihannya. Kebetulan meja yang Jasinda pakai masih tergeletak piring kotor bekas pengunjung sebelumnya.
“permisi Mbak..”
Seorang lelaki menyadarkan lamunannya.
Perempuan itu tersenyum saat menatap lelaki itu.
“Shandi…” seketika nama itu terucap begitu saja.
Dan lelaki itu membalas menatap wajah Jasinda.
Shandi terkejut, piring yang ada dalam genggamannya goyah hampir jatuh ke lantai.
“Jasinda…” kata itu terucap juga dimulutnya.
Antara senang dan tidak senang Jasinda bertemu dengan Shandi. Senang karena rindunya terobati dengan raut wajahnya yang tidak berubah, masih tampan seperti dahulu. Namun tidak senang dengan cara pertemuan mereka. Mengapa harus seperti ini Tuhan? Seorang pelayan restoran cepat saji? Berat sekali Kau memberikan ujian kepadanya, batin Jasinda.
Demi bisa bicara lebih lama, Jasinda rela menunggu jam istirahat Shandi sementara Dika disuruhnya untuk pulang terlebih dahulu. Perempuan itu tersenyum melihat gelagat Shandi saat bekerja. Seorang lelaki giat, murah senyum ,dan teliti. Sinar matanya sangat indah seperti membius para pengunjung perempuan termasuk dirinya sendiri.
“Maaf , buat kamu menunggu” Shandi menghampiri dengan setelan memakai jaket yang menutupi seragam kerjanya.”Ayo, kita keluar” tawarnya.
Mereka bicara di taman tempat pertama kali berkenalan. Disini 5 tahun yang lalu, Aku perempuan genit yang jatuh cinta pada seorang pemuda keren.batinnya
“Yey.. senyam-senyum sendiri” Shandi tertawa.
“Aku inget aja dulu, waktu pertama kali kenalan saat kita SMU, disini di taman ini”
“Kamu masih mengingatnya Jasinda”
Tidak akan aku lupakan Shan, perempuan itu tersenyum.
“Yah.. tapi Shandi yang ada sekarang bukan Shandi yang dulu lagi Jasinda” Terdengar nada kesedihan disana.”Aku cuma seorang lelaki miskin, tidak ada lagi kekayaan dan penampilan keren seperti dulu.”
Aku terdiam, ingin kuraih tangannya dan memberi semangat untuk bertahan.
“Seenggaknya, aku masih ada iman .. kalo tidak mungkin aku sudah gila seperti papaku”
“Papamu?”
Shandi mengangguk.
Perusahaan keluarga Shandi bangkrut dua tahun yang lalu terkena tipu oleh rekan kerja Ayah Shandi sendiri. Akibatnya perusahaan itu harus menanggung beban kerugian yang sangat besar dan terpaksa meminjam dana dari Bank untuk kegiatan operasional. Namun sayang kondisi perkonomian saat itu sangat buruk, Orang tua Shandi tidak sanggup membayar semua hutangnya pada Bank. Dan berakhirlah semuanya. Mereka perlahan jatuh sampai titik terendah, hingga membuat Sang Ayah menjadi gila.
Jasinda menangis setelah mendengar semua cerita Shandi. Tidak bisa dibohongi, Shandi pun terlihat ingin menangis, namun dia bertahan untuk tidak melakukannya di depan Jasinda.
“Kuliahmu bagaimana Shan?”
“ Hm.. aku akan lanjutkan setahun atau dua tahun lagi. saat tabunganku mencukupi” sejenak lelaki itu tertawa. “Dulu kalimat itu kamu yang ucapkan ternyata sekarang semuanya malah berbalik padaku.”
Jasinda tidak merespon gurauan tidak lucu itu.
“Lalu, siapa itu? Perempuan yang kamu kejar itu?yang sempat pergi ke Swiss?”
“Hahha.. mana mau dia denganku Jas.., kemarin saja saat aku bertemu dengannya, dia malah belagak gak kenal.”
Aku mau Shan.. aku selalu mau. Apapun kondisimu.
“Dan kamu sendiri Jas? Lelaki yang kamu suka itu? Sudah kamu dapatkan?”
“Sepertinya dia tidak menganggapku sebagai seorang perempuan”ucapan itu keluar begitu saja.”Hidup aku keras Shan, hidup berdua dengan adikku dan aku menyambung hidup sebagai seorang penyanyi klub agar bisa bertahan”
“Hidup kita berdua tidak jauh beda” ujar Shandi.
Perlahan lelaki itu meraih jemariku dan diremasnya erat. Dia menatap Jasinda dalam sekali.”Jas, boleh aku merasakan detak jantungmu?”
Jasinda tertegun saat mendengar permintaannya. Perempuan itu menuruti apa maunya,dia merekatkan jemari Shandi ke dadanya.Biarlah Shandi rasakan getaran ini , hingga dia tahu kebenarannnya, batin Jasinda.
Untuk beberapa saat jemarinya merekat di dada perempuan itu , terlihat pemandangan indah disana, Lelaki itu tersenyum,mata beningnya mulai berkaca-kaca.”Aku suka getarannya Jasinda”katanya lirih.
Kini Giliran dia yang meraih jemari Jasinda. Direkatkan jemari lembut perempuan itu pada dadanya.”Dengarlah Jasinda, apakah kamu merasakan debaran jantung kita bersahut-sahutan seirama. Berarti apa yang aku rasakan selama 5 tahun ini adalah benar adanya. Kamu mencintaiku dan aku sangat ingin kamu mengatakannya waktu itu. Aku tidak pernah memikirkan tentang sahabat kecilku yang berangkat ke Swiss itu, semuanya hanya untuk melihat reaksimu.”
Tanpa Jasinda Sadari air mata mengalir deras di wajahnya. Ingin sekali dia marah, kenapa harus disembunyikan selama ini? namun jika dia mengetahuinya dari dulu takkan pernah ada kisah indah hari ini.
Shandi mendekap erat Jasinda. ”Maafkan aku Jasinda, tidak pernah bisa memahami hatimu. Aku terlalu bodoh untuk tidak menyadari kesungguhanmu.”
Jasinda masih menangis dalam pelukannya.”Masih maukah kamu menerimaku sebagai seorang Shandi pemuda miskin? Bukan Shandi yang penuh pesona dan bergelimangan harta?”
Jasinda melepas pelukan Shandi. Ditatapnya wajah lelaki itu dengan sungguh-sungguh.” Dari dulu sampai sekarang, hatiku tidak berubah. Aku mencintai Shandi dengan semua pesonanya, dan pesona itu masih tetap ada dalam dirimu.”
“Terima kasih Jasinda”
Kita bersama-sama Shandi. Kita berjuang untuk hidup, mimpi, dan masa depan kita. Kita masih bisa mengubah dunia. Ada dirimu disampingku memberiku kekuatan dan kuharap ada aku disampingmu bisa membuatmu lebih tegar untuk berjuang lagi. Karena memang Tuhan menciptakan Jasinda hanya untuk Shandi.
-Tamat-