Siang itu Gara menepati janjinya untuk menemani Nadia menonton konser musik. Satu di antara band kesukaan Nadia akan tampil dalam konser tersebut.
“Ga, gw seneng banget. Thanks ya udah bela-belain ngantri buat dapetin tiket ini. Udah gitu mau nemenin gw lagi.” kata Nadia sambil menunjukkan tiket konser tersebut.
“Sama-sama Nad. Selagi gw masih bisa melakukan sesuatu buat lu, gw akan usahain itu. Gw akan jaga lu selagi gw mampu.” Gara tersenyum.
Mereka menempati kursi sesuai yang tertera dalam tiket yang mereka pegang. Konser musik ini terlihat lebih eksklusif karena jumlah penonton yang dibatasi dan diadakan di sebuah kafe ternama.
Nadia tampak sumringah ketika band favoritnya tampil membawakan lagu kesukaannya. Setelah band tersebut membawakan lagu single terbarunya, sebuah band indie tampil tak kalah memukau.
“Ah, gila! Itukan Yudha, teman gw waktu SMA Nad. Gak nyangka, dia eksis di musik sekarang.”
“Yang mana Ga?” tanya Nadia penasaran.
“Vokalisnya.”
“Wew, cakep juga ya Ga.”
“Mau gw kenalin?”
Nadia hanya tersenyum malu-malu mendengar ucapan Gara. Gara membelai rambut Nadia. “Ntar ya, gw kenalin ya.”
***
“Ga, tebak ini dari siapa?”
Nadia menghampiri Gara yang sedang asyik menyelesaikan novel-novelnya. Gadis itu tampak sangat bahagia hari ini. Matanya yang berwarna coklat itu berbinar.
“Ga... ” rengeknya sambil menggoyang-goyangkan tubuh Gara yang duduk membelakanginya. Sahabatnya itu tidak menoleh malah asyik melanjutkan pekerjaannya. Nadia menjadi kesal dan duduk di sofa di belakang Gara.
“Ya udah, ntar lagi gw pulang koq.” ancamnya.
“Nad, sorry deh sorry. Gw lagi dapat ide yang pas buat nyelesain novel gw.”
Gara beranjak dari tempat duduknya lalu duduk di samping gadis itu.
“Tadi bilang apa?” tanya Gara.
“Uuu..makanya kalau aku ngomong tuh didengerin.”
“Iya, maaf...”
“Emmm... ini bagus gak?”
Nadia menunjukan sebuah cincin bermata berlian pemberian Yudha.
“Bagus.”
Gadis itu cemberut. Gara menutup mulutnya, takut jika ia salah bicara.
“Cuma gitu doank tanggapan lu?” tanya Nadia kesal.
“Loh, emang mau jawab gimana lagi?”
“Tanya keq dikasi siapa?”
“Ok, ok.. Siapa yang kasih, Nadia?”
“Yudha. Sekarang Gw sama Yudha udah resmi jadian. Gw seneng banget.” jawab Nadia bersemangat.
“Selamat ya Nad. Gw turut bahagia.” Gara kembali ke tempat duduknya semula. Nadia terus bicara mengenai hubungannya dengan Yudha.
Malam itu langit mendung. Awan-awan hitam menghiasi angkasa. Petir menyambar, menakuti siapapun yang mendengarnya. Gara menatap rinai hujan yang membasahi kaca jendela kamarnya. Suara Sammy menemani malamnya yang dingin.
Seputih cinta ini ingin kulukiskan di dasar hatiku
Kesetiaan janjiku untuk pertahankan kasihku padamu
Bukalah mata hati, ku masih cumbui bayang dirimu di dalam mimpi
Yang mungkin tak akan pernah membawamu di genggamku
Dirimu di hatiku tak lekang oleh waktu meski kau bukan milikku...
***
Setahun berlalu...
“Ga, jaga Nadia buat gw ya.” ucap Yudha sesaat sebelum keberangkatannya ke Amerika untuk melanjutkan studinya.
“Ok, sob. Lu juga jaga diri baik-baik di sana. Jangan lupa buat ngabari kita di sini.”
Yudha mengangguk. Pria bertubuh tegap dan berambut cepak itu menatap sendu pada kekasihnya. Nadia tak mampu lagi menahan kesedihannya. Gadis itu menangis dalam pelukan Yudha.
“Gw takut Yudh.” ucapnya pelan.
“Takut apa Nad?”
“Gw takut kalau lu gak ada. Gw takut kehilangan lu.” ucap gadis bermata indah itu sembari memeluk kekasihnya erat.
Yudha meneteskan air mata. Pelukan Nadia semakin erat seakan tak ingin melepas pelukannya. Gara yang berada di tempat itu menjadi haru. Ia mengelus pundak Yudha.
Hari itu, Nadia melepaskan kepergian Yudha. Gadis itu menatap pesawat yang ditumpangi kekasihnya hingga hilang di balik awan.
***
“Apa? Pesawat yang ditumpangi Yudha kecelakaan? Lu gak main-mainkan Dre?” tanya Gara panik.
Gara menghempas handphone-nya ke lantai. Ia tampak sangat gelisah setelah menerima telepon Andre, adik Yudha. Pesawat yang ditumpangi Yudha mengalami kecelakaan. Semua penumpang pesawat meninggal dan belum dapat diidentifikasi mayatnya.
Gara tak tahu bagaimana ia harus menyampaikan berita buruk ini kepada Nadia yang sedang terbaring pucat di ruang ICU. Sesaat setelah Yudha menaiki pesawat, Nadia jatuh pingsan. Kesedihan yang dalam membuat kondisinya melemah. Nadia memang memiliki kondisi fisik yang lemah sejak kecil. Ia mengidap leukimia dan tidak ada seorang pun yang menyangka bahwa ia masih mampu bertahan hingga saat ini.
“Tolong, jangan ada yang menyampaikan berita ini pada Nadia. Usahakan Nadia tahu setelah dia benar-benar sembuh. Tolong.”
Kalimat itu terucap berkali-kali dari mulut Gara ketika ia menelpon semua orang yang mengenali Nadia dan Yudha. Gara dilema namun ia memutuskan untuk menyembunyikan berita kematian Yudha dari Nadia sampai gadis itu sembuh.
***
“Ga, gw kangen ma Yudha. Kenapa sampai sekarang dia gak nelfon gw ya?” tanya Nadia suatu sore saat dua sahabat itu sedang berada di rumah Nadia.
“Lagi sibuk kali Nad.”
“Tapi kan gak gitu-gitu juga Ga. Gw ini kan pacarnya, masa....”
“Udahlah Nad, jangan terlalu dipikirkan. Jaga kesehatan lu ya, jangan kebawa sedih lagi trus kayak dulu.” potong Gara.
Nadia diam. Ia merasa ada yang ganjil setelah kepergian Yudha. Nadia sudah bertanya berkali-kali tentang Yudha kepada siapapun yang ia temui. Namun semua orang menjawab hal yang hampir sama. Tidak tahu!
“Nad...” panggil Gara lembut. “Jangan melamun ya.”
“Ga, apa lu yakin kalau Yudha baik-baik aja di sana? Aku ngerasa kalau Yudha...”
“Yudha pasti baik-baik aja Nad. Percaya...”
“Tapi Ga...”
“Oya Nad, gw ada tiket nonton ni. Ntar malam mau gak nemenin gw nonton?”
“...”
“Nad...”
“Maaf, Ga. Lu bilang apa?”
“Nonton.”
“Iya, ntar gw temenin ya.”
Sepanjang perjalanan menuju bioskop, Nadia hanya termenung. Gara khawatir melihat keadaan Nadia. Gadis itu tidak bicara apapun sejak tadi.
“Nad, lu gak ikhlas ya nemenin gw?”
“Bukan gitu Ga, tapi gw masih belum bisa berhenti mikirin Yudha. Gw ngerasa ada sesuatu yang terjadi sama dia.”
Gara hanya diam. Dalam hatinya ia ingin sekali mengatakan bahwa Yudha telah tiada namun hasil tes kesehatan Nadia yang terakhir menunjukan hasil bahwa kondisi kesehatan Nadia semakin buruk. Leukimia itu terus menggerogoti tubuhnya. Gara tidak ingin menyakiti Nadia.
***
Musik klasik terdengar mengalun dari dalam kamar gadis itu. Sejak dua hari yang lalu, Nadia tidak keluar dari kamarnya. Ia tidak makan ataupun minum. Ia pun tidak bicara kepada siapapun. Seluruh anggota keluarganya sangat khawatir akan sikap Nadia tersebut. Ibunda Nadia menangis saat menelpon Gara untuk membujuk Nadia keluar dari kamarnya. Gara datang ke rumah Nadia dengan tergesa-gesa dan mencoba merayu Nadia.
“Nad. Buka pintunya ya. Gw mau bicara.”
Tidak ada jawaban. Gara terus mengetuk pintu kamar Nadia dan merayu Nadia. Namun gadis itu masih bersikeras. Gara kehabisan kata-kata untuk merayunya hingga akhirnya dengan terpaksa ia mengarang cerita bohong tentang Yudha.
Gadis itu membuka pintu kamarnya. Di wajahnya terlihat secercah harapan.
“Yudha?”
Gara mengangguk pelan.
“Dia nelpon lu Ga? Apa katanya? Ayo Ga, cepat ceritain ke gw.” Nadia tak sabar ingin mendengar kabar itu.
“Tapi lu janji, lu gak boleh kayak gini lagi. Setelah lu mandi n makan, gw akan ceritain ke lu.” tegas Gara.
“Iya.”
Nadia sudah rapi dan cantik meskipun matanya terlihat sembab. Ia mungkin saja menangis selama berada di dalam kamarnya.
“Gimana Ga? Apa katanya? Yudha ada nanyain gw gak?” todong Nadia.
“Iya. Dia rindu banget sama lu. Dia bilang mau pulang, tapi gak tahu kapan.”
“Kapan dia telpon Lu?”
“Dua hari yang lalu.”
Nadia terdiam. Ia seperti sedang berpikir. Gara pun diam. Pria itu merasakan sesak di dadanya karena harus membohongi gadis yang sangat ia cintai itu.
“Ga, gw mau ke bandara. Gw yakin, Yudha pulang hari ini.”
Nadia bergegas mengambil kunci mobilnya. Gara tak ingin hanya diam, ia tak akan membiarkan Nadia pergi seorang diri. Mereka tiba di bandara dan duduk sangat lama di sana hingga malam tiba.
Hari-hari berlalu sejak Gara membuat cerita palsu itu. Di dalam keyakinan Nadia terlanjur percaya bahwa Yudha yang telah tiada akan kembali. Dan sejak hari itu, Nadia selalu menyempatkan diri untuk menunggu di bandara setiap sore. Gara selalu setia menemani gadis itu sesuai janji yang pernah ia ucapkan.
***
Senja di bandara Soekarno-Hatta. Langit masih berhias siluet jingga namun mentari sudah lama pergi. Dua insan sedang duduk di sana. Seorang gadis berambut ikal sebahu menggunakan gaun biru yang kontras dengan warna kulitnya menatap jauh dengan tatapan kosong. Sedangkan pria di sebelahnya tampak gelisah.
“Nad, gw harus jujur sama lu.”
“Tentang?”
“Yudha, Nad.”
“...”
“Tapi lu harus janji kalau lu bakal terima semua dengan ikhlas.”
“Cepetan ngomong.” paksa Nadia.
“Yudha udah meninggal.” ucap Gara dalam kesedihan.
Gadis itu kembali diam. Tatap matanya kosong hanya tangannya yang terlihat gemetar. Ia tidak menangis saat mendengar penjelasan yang keluar dari mulut Gara. Satu persatu kalimat itu didengarnya dalam kebisuan.
“Nad, buat apalagi sih lu di sini? Percuma tahu gak sih?”
Nadia diam seakan tidak mendengar perkataan pria itu. Pria yang selalu setia menemaninya duduk berjam-jam di tempat ini. Pria yang mencintainya sejak awal pertemuan mereka di SMA. Pria itu berdiri tepat di depan Nadia.
“Lu dengar gw, Nad? Ini cuma kesia-siaan. Please Nad, bangun dari mimpi lu ini.”
“Gw gak minta lu temenin gw di sini kan Ga? Gak pernah kan Ga?”
Mata gadis itu mulai berkaca-kaca. Gara menjadi iba melihatnya. Gara duduk kembali di samping gadis yang ia cintai.
“Kalau lu mau pergi, gak apa-apa koq.” lanjut Nadia.
“Maafin gw Nad. Gw cuma mau lu sadar kalo Yudha udah meninggal. Please...”
Gara menggenggam tangan gadis itu. Namun Nadia menepisnya. Nadia berdiri dan menjauh meninggalkan Gara.
“Bohong!”
***
Tiga bulan kemudian...
Seorang gadis muda duduk dengan pakaian putih bersih menghadap tembok. Wajah cantiknya terkadang tersenyum dan terkadang tanpa ekspresi. Beberapa saat yang lalu ia menangis. Dari mulutnya, ia berkali-kali menyebut nama seseorang.
Gara mendekati gadis itu. Gadis yang sangat ia cintai. Gadis yang sangat ia kenal. Gadis itu Nadia. Kini Nadia telah berbeda. Ia harus tinggal di tempat ini. Rumah Sakit Jiwa. Gara tidak tega melihat kondisi Nadia. Betapa Nadia sangat mencintai Yudha dan merasa kehilangan saat Yudha tiada. Hanya saja cinta Gara pada Nadia tak pernah berubah.
“Nad, gimana kabar lu hari ini?”
Gadis itu memeluk Gara, memeluk Gara erat. Senyum manisnya menghias bibir tipis yang tidak lagi terpulas lipstik.
“Yudha,” ucapnya pelan. “..gw rindu.”
Air mata Gara menetes perlahan dari sudut matanya. Ia datang ke tempat ini hampir setiap hari dan baru hari ini Nadia mau menerima kedatangannya. Namun nama Yudha-lah yang disebut oleh gadis itu.
“Nad. Gw datang kesini mau nyanyiin lagu buat lu. Lu dengar ya?”
Gadis itu mengangguk perlahan. Tatap matanya kosong. Gara meraih gitar yang ia bawa.
Wajahmu dan hatimu
dan tentang dirimu
Selalu berada di dalam hatiku
Sejak awal bertemu aku tahu rasa itu
Namun tak mungkin aku untuk memilihmu
Dan tak mungkin untukku
Untuk gapai cintamu
Walau rasa di hati, ingin memilikimu
Cinta harus berkorban
Walau harus menunggu selamanya
Aku tahu, kau untukku