Tidak ada perasaan yang lain selain kebahagiaan yang dirasakan Rapiah. Wajah putihnya yang mirip seperti orang cina itu merona merah melihat angka-angka yang ada di dalam kalender. Puasa. Ya, Rapiah selalu merasakan kebahagiaan yang tiada taranya begitu bulan suci yang hanya datang satu kali dalam setahun itu sebentar lagi akan menyapanya. Lama Rapiah memandangi kalender itu. Kalender yang dia dapatkan dari salah satu calon anggota legislative saat berkampanye ke desanya. Ada beberapa angka di bulan-bulan dalam kalender itu yang dia coret kemudian menuliskan huruf kecil-kecil di bawahnya. Itu adalah tanggal-tanggal yang penting menurut Rapiah. Hanya dia yang tau mengapa tanggal-tanggal yang dia coret itu sebegitu pentingnya. Sambil meraba-raba kalender itu dia berharap akan datangnya keajaiban di bulan suci ramadhan tahun ini. Sebuah keajaiban dari harapan yang tak pernah memudar.
Rapiah tinggal bersama papuq[1]nya yang sudah berusia 70 tahun di sebuah desa di Lombok Timur. Desa yang kini perlahan-lahan hilang ketradisionalannya. Rumah-rumah berdinding anyaman bambu sudah berubah menjadi rumah berdinding beton dengan corak warna-warni. Disainnya pun modern-modern. Maka dengan mudah orang-orang bisa mengetahui yang mana orang kaya atau yang mana orang miskin.
Perubahan itu timbul sejak Saimah yang baru pulang dari bekerja di luar negeri sebagai TKW. Rumah bedegnya langsung menjelma menjadi rumah beton bertingkat dua. Itu baru ditahun pertama kepulangannya. Setelah kembali dari luar negeri untuk yang kedua kalinya, Saimah membawa harta yang lebih melimpah dan berubahlah kehidupannya. Saimah tidak lagi miskin seperti beberapa tahun yang lalu. Sekarang dia adalah orang yang paling kaya di desa itu.
Melihat perubahan Saimah yang begitu menggiurkan, banyaklah perempuan-perempuan maupun pemuda - pemuda desa yang ingin mengikuti jejak Saimah. Dengan iming-iming harta melimpah -`jika bekerja di luar negeri- pergilah mereka meninggalkan kampung halaman demi mengadu nasib. Apalagi setelah Saimah membuka PJTKI di desa itu, semakin mudah saja orang-orang desa itu pergi ke luar negeri. Nah, mereka yang sukses itulah yang berperan banyak mengubah desa ini. Mengubah rumah-rumah dan gaya hidup mereka. Bahkan sekarang gadis-gadis desa lebih suka menggunakan celana jins daripada kain dan mereka tidak seperti dulu lagi, meladang membantu orang tua mereka. Gadis-gadis modern dengan style trandi mana mau pergi ke sawah panas-panasan.
****
Siang itu seperti biasanya. Rapiah memeriksa kandang bebeknya yang berada di sebelah dapur. Rapiah menghitung berapa jumlah telur yang dihasilkan bebeknya hari ini. Senyumnya mengembang ketika tau bahwa bebeknya memberikannya telur melebihi perkiraannya. Berarti hari ini dia bisa menghasilnya uang lebih banyak dari kemarin. Perlahan tapi pasti Rapiah mulai mengambil telur-telur itu satu persatu.
“Rapiah, nteh aruan jok bangket[2]. Bareh lamun tengarian panas jelo benteng-nteng[3].” Suara parau itu menghentikan tangan Rapiah. Dia melihat papuqnya yang tengah duduk di berugaq[4] dari celah-celah kandang bebek.
“Enggih[5] papuq!” Rapiah keluar mendekati papuqnya yang sudah siap pergi ke bangket. “Rapiah toloq niki juluq leq dalem[6], Papuq.” kata Rapiah kemudian dia masuk ke dalam rumah untuk menyimpan hasil ternaknya hari ini. Rapiah kembali mendekati papuqnya. Dia memperbaiki kain yang dipakainya agar tidak jatuh ketika nanti dia mengeson[7] bakul makanan di kepalanya. Perjalanan ke bangket lumayan jauh. Namun bagi Rapiah perjalanan melelahkan itu adalah kesempatan yang paling bagus baginya dan orang tua yang dia sebut papuq itu untuk saling mendekatkan diri. Mereka akan mengobrol banyak dalam perjalalan. Saling mengawasi satu sama yang lainnya dan bagi Rapiah, ini adalah salah satu bentuk kebaktiannya kepada orang tua yang merawatnya sejak kecil itu.
“Papuq, sebentar lagi kan puasa.” kata Rapiah memulai pembicaraan. Rapiah selalu menggunakan bahasa halus ketika bicara dengan papuqnya yang tidak bisa bahasa Indonesia.
“Iya. Besok ingatkan papuq pas malam nisfu untuk menaikkan dulang[8] ke masjid. Papuq sudah mulai pikun sekarang.”
Rapiah mengangguk sambil tersenyum-senyum. Dia masih membayangkan bahwa puasa tahun ini akan sangat indahnya. Rapiah berkhayal tentang malam pertama sahurnya nanti dia tidak hanya berdua tapi bertiga. Kemudian waktu lebaran nanti dia akan menggunakan baju muslim baru yang dia beli bersama dengan orang itu. Orang yang sangat dia harapkan itu.
“Mungkin Inaq[9]mu tidak akan datang juga ramadhan tahun ini” kata papuq seakan tau apa yang tengah dipikirkan oleh cucu kesayangannya itu.
Senyum Rapiah berubah menjadi manyun. Matanya yang tadi berbinar menatap jauh tapi kosong. Rapiah mengerti bahwa papuqnya sudah terlalu lama menahan rindu dan saking lamanya rindu itupun berubah menjadi kekecewaan yang mendalam. Diapun takut kalau-kalau rindu yang ada di hatinya juga berubah menjadi kekecewaan seperti yang dirasakan oleh papuqnya. Apalagi jika rindu itu berubah menjadi benci.
****
Hari itu masih sore ketika hujan tiba-tiba datang tanpa memberikan kabar. Rapiah tak henti-hentinya menatap langit sambil komat-kamit. Dia meremas-remas tangannya hingga merah. Hari ini Raudah, teman mainnya berjanji untuk memberikannya kabar baik. Namun dia belum juga kunjung datang. Rapiah berharap hari ini dia akan mendengar kabar baik. Kabar yang memang ingin sekali dia dengar. Namun sampai malam tiba Raudah tidak kelihatan batang hidungnya. Rapiah mendongak menatap langit dan tanpa dia sadari air matanya mengalir.
Keesokan paginya Rapiah pergi ke rumah Inaq Saimah. Wanita pruh baya dengan wajah memelas itu menyambut Rapiah dengan penuh keramahan.
“Inaq Saimah, saya ingin tanya tentang Inaq saya.” kata Rapiah. “Katanya ada kabar dari Inaq. Kemarin Raudah yang bilang. Tapi, saya tunggu-tunggu Raudah tidak datang ke rumah. Makanya saya ke sini menemui Inaq Saimah.”
Wajah Saimah berubah tegang. Dia mengelus-elus pundak gadis kecil yang ada di depannya itu. “Memang ada. Inaqmu mungkin akan pulang Ramadhan ini.”
Rapiah tersenyum. Senyumnya mengembang.
“Tapi, inaqmu bilang mungkin. Masih belum pasti,” lanjut Saimah. Hatinya merasakan apa yang dirasakan Rapiah. Karena dia pun pernah merasakan jauh dari anak-anaknya. Tapi, Rapiah berbeda. Inaqnyalah yang tidak mau pulang untuk menemui anaknya. Kasian sekali dia.
****
Dan malam pertama Ramadhan pun seperti tahun-tahun yang lalu. Rapiah hanya berdua dengan papuqnya. Tak ada yang datang dari ujung pintu sambil memanggil namanya. Harapan itu hanyalah harapan semata yang mungkin tidak akan pernah bisa terwujud. Namun Rapiah tetap yakin kalau bukan hari ini, mungkin besok dan siapa tahu di hari raya Idul Fitri orang yang dinanti-nantikannya akan datang menemuinya.
“Sudah, jangan mencoret tanggalan lagi. Inaqmu tidak akan datang menemuimu.”
Rapiah kaget. Papuqnya sudah berdiri di belakangnya. Rapiah menyembunyikan spidol yang tadi dia gunakan untuk menandakan kalender.
“Apa papuq sangat membenci inaq?” tanya Rapiah
Papuqnya tidak menjawab. Wanita tua itu tau persis kemana arah pertanyaan Rapiah. Dia berbalik dan pergi meninggalkan Rapiah. Kesedihan Rapiah memuncak hingga membuat dadanya sakit. Dia hanya berharap dalam Ramadhan yang suci ini, dia bisa memeluk Inaqnya. Orang yang sangat ingin dia temui sepanjang hidupnya.
****
Pagi itu seperti biasanya, selesai sholat dan mengaji, Rapiah menyapu rumah dan halaman rumahnya yang cukup lebar. Setelah itu dia memberi makan bebek-bebeknya yang selalu memberinya rezeki setiap hari. Rapiah selalu bersyukur kepada ALLAH bahwa setiap harinya dia bisa menikmati rezeki yang halal dan hasil dari kerja kerasnya.
Namun, pagi itu menjadi tidak seperti biasanya ketika Raudah datang menghampirinya. Raudah berlari dan tersengal-sengal begitu sampai di depan Rapiah.
“Rapiah…Rapiah…” Raudah berhenti tepat di depan Rapiah. Dia mengatur nafasnya yang tersengal-sengal.
“Ada apa?” tanya Rapiah
“Di sana…di sana…Inaq Saimah…di Inaq Saimah…” jawab Raudah dengan tergesa-gesa sehingga kata-katanya berantakan.
“Ada apa di Inaq Saimah?” tanya Rapiah
“Ada Inaqmu, Rapiah!”
Rapiah kaget. Bakul berisi makanan bebek yang ada di tanganya terjatuh. Tak lama kekagetan itu menjamahnya. Karena sekarang dia tersenyum saking bahagianya mendengar berita itu. Rapiah memeluk Raudah dengan erat kemudian dia mengucapkan syukur kepada Sang Pencipta.
“Tapi,…”
“Tapi apa?” tanya Rapiah.
“Bukan Inaqmu yang pulang. Maksudku tadi…”
Senyum Rapiah memudar. “Lalu apa Raudah?”
“Ada kabar Inaqmu. Kata Inaq Saimah, kamu harus ke sana.”
Rapiah berdebar. Pikirannya tak menentu. Raudah langsung menarik Rapiah yang masih diam mematung menuju rumah Inaq Saimah. Di sana sudah banyak orang berkumpul. Rapiah bertanya-tanya dalam hati, ada apa gerangan? Orang-orang itu menatap Rapiah, Tapi Raudah terus menarik Rapiah sampai akhirnya Rapiah berhadapan dengan Inaq Saimah.
“Inaq Saimah, ada apa sebenarnya?”
Inaq Saimah memeluk Rapiah kemudian dia menyodorkan koran yang tadi dia pegang kepada Rapiah. “Mungkin sebaiknya kamu mengetahuinya sendiri.”
Rapiah tambah bingung. Hatinya mencelos ketika melihat foto yang ada di dalam koran itu. Rasanya dia tau siapa wanita malang yang wajahnya sudah tidak berbentuk itu. Rapiah beralih menuju huruf-huruf yang seakan terasa seperti ribuan belati yang menyayat-nyayat jantungnya.
Perempuan itu di ikat kemudian di rendam selama tiga hari di kamar mandi. Setelah itu diperkosa oleh 3 pria seperti binatang. Kemusian setelah puas, dia dicampakkan setelah sebelumnya seluruh kulitnya disayat-sayat silet dan di siksa hingga nafas terakhirnya. Perempuan itu berakhir di jalanan tanpa sehelai kain menutupi tubuhnya yang penuh luka. Perempuan itu, orang yang selama ini ditunggu Rapiah telah pergi dengan menggenaskan. Perempuan itu pergi meninggalkan dunia tanpa mengatakan apa – apa padanya.
Rapiah menangis sejadi-jadinya seperti orang yang kesetanan. Dia merobek-robek koran yang ada di tangannya dengan semua kekuatan yang dimilikinya. Hatinya hancur. Dia terus menangis. Berteriak. Hingga akhirnya dia terjatuh ke lantai tak sadarkan diri.
Ramadhan tahun ini Rapiah masih tetap berdua bersama papuqnya. Takkan ada yang datang dari balik pintu itu sambil memanggil namanya.
***
Ampenan, 5/10/10
Untuk Dia yang selalu menunggumu
Datanglah dan temui dia
Sbelum semuanya terlambat.
Footnote:
[1] nenek
[2] Ayo cepetan kita ke Sawah/ladang
[3] Nanti kalau siangan terlalu panas
[4] Berugak adalah sebutan oleh suku Sasak untuk sebuah bale-bale yang memiliki sebuah lumbung di atasnya dan beratapkan alang-alang.
[5] Iya
[6] Taruh ini dulu di dalem
[7] Membawa bakul di atas kepala
[8] Makanan yang diantar ke masjid menggunakan talam. Biasanya dilakukan pada maulid, nispu sa’ban,dan isra’ mi’raj.
[9] Ibu