Kiat menulis untuk pembaca remaja
Oleh: O. Solihin
Aktivitas menulis termasuk salah satu dari sekian banyak aktivitas yang bisa menyenangkan. Menulis tidak saja menyenangkan, tapi juga sekaligus menyegarkan semangat hidup. Betapa tidak, menulis menumbuhkan kebahagiaan tersendiri bagi penulisnya karena sudah bisa berbagi apa saja dengan pembacanya. Itu sebabnya, agar informasi itu bisa sampai ke pembaca dengan baik, benar, dan menghibur diperlukan kiat-kiat khusus yang sebetulnya bisa dipelajari melalui latihan rutin. Sebab, menulis itu adalah bagian dari keterampilan, maka jika kita terus melatih diri untuk mengembangkan kemampuan, insya Allah akan banyak peluang untuk melakukan inovasi terhadap tulisan yang kita buat.
Tulisan paling asyik menurut saya adalah tulisan yang bisa mengena di hati pembaca kita. Itu sebabnya, segmentasi sangat diperlukan. Karena memang kita tidak bisa menjangkau semua lapisan pembaca dengan gaya tulisan tertentu. Tulisan-tulisan saya lebih banyak diarahkan untuk konsumsi remaja. Tentunya ada alasan. Pertama, karena pasar remaja sangat besar. Kedua, ingin berbagi ilmu dan pengalaman dengan teman-teman remaja, mengingat mereka adalah generasi harapan di masa depan. Berbagi ilmu dan pengalaman ini sangat penting, karena sebagian besar teman remaja memang membutuhkannya. Apalagi di tengah gempuran budaya asing yang tak bisa dengan mudah dihindarinya. Pendek kata butuh bimbingan dan arahan. Alasan seperti inilah yang membuat saya lebih fokus mengarahkan tulisan untuk konsumsi remaja.
Bermesraan dengan remaja
Jangan bayangkan Anda bisa lebih mudah mengelola remaja. Sebab, remaja itu banyak maunya. Bahkan sangat cepat berubah-ubah. Cuma satu yang tak berubah dari remaja: Ceria! Ya, masa remaja identik dengan ceria. Seolah begitu mudah melupakan masa-masa sulit. Belajar saja sering cuma jadi tempelan, karena di sekolah pun mereka lebih banyak meghabiskan waktunya untuk sosialisasi dengan temannya dan membicarakan beragam pernak-pernik kehidupan mereka. Jujur saja, itu pun pernah saya rasakan.
Sebagai penulis yang akan menyampaikan informasi sebagai sarana pendidikan kepada remaja, kita perlu merinci apa saja yang membuat mereka tertarik terhadap sebuah produk, khususnya tulisan. Sejauh pengalaman saya dalam menulis artikel nonfiksi untuk remaja, menemukan hanya dua icon yang tak boleh dilepaskan dari dunia remaja: ringan dan ngemong.
Kenapa harus ringan dan ngemong? Setidaknya memang ini analisis saya. Ringan artinya tema yang disodorkan kepada teman-teman remaja harus ringan. Atau jika pun masalah tersebut berat, harus dipaksakan dibuat sesederhana mungkin dalam menyampaikannya. Buku saya, Jangan Jadi Bebek, pernah dikomentari Pak Adhiyaksa M Dault (sekarang menjadi Menpora), waktu beliau menjadi panelis bersama saya dalam acara bedah buku tersebut. “Tema-tema yang dibahas di buku ini sebetulnya cukup berat bahkan beberapa memang berat, tapi penulisnya mampu mengkomunikasikannya dengan gaya bahasa yang ringan.” Saya tidak bermaksud memuji diri sendiri, tapi kenyataannya memang demikian. Ini sekadar berbagi pengalaman saja.
Kemudian unsur kedua adalah ngemong. Teman remaja paling nggak suka kalo membaca tulisan yang kesannya menggurui, apalagi mungkin menghakimi. Mereka lebih senang diajak ngobrol. Bertutur apa saja sehingga tanpa terasa ajaran dan ilmu-ilmu Islam yang kita sampaikan masuk ke alam pikirannya tanpa ada kesan didoktrin. Memang ini tidak semua remaja demikian, tergantung latar belakang pendidikan dan budaya mereka. Tapi rata-rata (bahkan dengan jumlah yang mayoritas), mereka adalah remaja yang tak suka didoktrin.
Dua kunci ini saya jadikan patokan untuk membimbing remaja lewat bacaan hasil tulisan saya. Maka, ketika buku pertama saya masuk ke penerbit, saya meminta dengan setengah memaksa, bahwa gaya bahasa dalam tulisan saya tak boleh diubah. Biarkan seperti apa adanya. Karena memang remaja lebih suka pake EYD (ejaan yang dipaksakan). Lebih suka bahasa gaul. Lagi pula, ini hanya sekadar jembatan untuk mengkomunikasikan pesan saja.
Jangan lupakan isi
Sobat muda muslim, meski kita konsentrasi kepada gaya bahasa yang “gaul” dan ringan khas remaja. Tapi kita jangan lupakan isi dari tulisan kita. Karena isi justru inti dari pesan kita. Untuk pembaca remaja, saya punya dua kebijakan. Pertama, menyampaikan gagasan dalam bentuk wacana saja. Kedua, gagasan yang bersifat solusi praktis.
Wacana, saya mengenalkan Islam sebagai solusi. Itu sebabnya dalam buku Jangan Jadi Bebek, Jangan Jadi Seleb, dan Jangan Nodai Cinta lebih terkesan “brainstorming” karena memang saya ingin mengubah persepsi terlebih dahulu sehingga mampu membentuk kerangka berpikir yang utuh bagi pembaca tulisan saya. Diharapkan pula bahwa persepsi ini akan menumbuhkan pola pikir yang stabil dalam menilai setiap persoalan, dan cuma Islam yang bisa dijadikan solusi sistemik dan praktis.
Mengenai solusi praktis, saya juga mulai memunculkannya di buku Bangkit Dong, Sobat! (insya Allah sebentar lagi akan terbit). Semoga dengan dua kebijakan tersebut bisa saling melengkapi untuk tercapainya pesan yang utuh.
Sobat muda muslim, untuk masalah isi ini kita harus tegas, meski harus dihindari kesan arogan atau menekan. Asal bisa menyampaikannya dengan gaya bahasa ringan dan rileks, insya Allah masih tetap diminati remaja. Dengan demikian, isi dan gaya bahasa menjadi faktor yang tak boleh diabaikan.
Nonfiksi-fiksi; depan bisa belakang bisa!
Tak jarang orang yang sudah terbiasa menulis nonfiksi akan sangat kesulitan menuliskan gagasannya dalam bentuk karya fiksi. Begitu pun sebaliknya. Memang, fokus dalam satu jalur itu cukup bagus. Bahkan akan sangat membantu proses penguatan citra diri dan menambah pengembangan kemampuan menulisnya. Tapi, tak ada salahnya, tak ada dosanya, dan juga tak ada ruginya jika akan menjajal kedua-duanya.
Ada beberapa kiat yang pernah saya coba praktekkan, siapa tahu bisa juga dijadikan pertimbangan untuk dicontek (dan dimodifikasi lagi) sama teman-teman:
Menyesuaikan porsi bacaan. Saya meyakini bahwa jenis bacaan sedikit atau banyak akan mempengaruhi pembacanya. Harus saya akui bahwa saya lebih sering tertarik dengan bacaan yang memerlukan analisis dan berita, sehingga ini mempengaruhi model tulisan saya yang memang lebih banyak nonfiksi. Jadi, untuk yang ingin menulis nonfiksi, silakan lebih banyak melahap bacaan atau informasi yang bersifat analisis-berita dengan porsi lebih ketimbang fiksi. Begitu juga sebaliknya.
Untuk nonfiksi, seringlah berlatih menggunakan kata-kata yang tak bersayap. Tegas, jelas dan harus rela “menghilangkan” unsur bahasa sastra. Untuk fiksi, tentu harus berlatih dan mengkoleksi kata-kata kiasan, dan lebih banyak mengumpulkan bahasa sastra.
Daya imajinasi pada tulisan nonfiksi dibatasi dengan realita dan hukum tertentu. Pada fiksi, seringkali harus mendramatisasi kenyataan. Jadi, silakan mengasah daya imajinasinya masing-masing untuk kedua jenis tulisan ini.
Latihan yang cukup. Mengubah kebiasaan itu tak mudah memang. Tapi silakan berlatih menulis untuk jenis tulisan yang belum dikuasai dengan porsi lebih banyak ketimbang jenis tulisan yang saat ini dikuasai.
Paling utama adalah menancapkan tekad dan niat dengan kuat. Ini yang paling sulit dibentuk, tapi jika sudah nyetel, juga paling sulit dihentikan.
Selamat mencoba. Karena yang terpenting bukan untuk didiskusikan saja, tapi wajib dipraktekkan. Go! Menulis Go!
Wallahu’alam[]
Betul sekali, apabila tulisan asyik maka pembaca akan tertarik, tapi masalahnya bagaimana apabila masyarakat kita pada hakekatnya malas membaca. Bagaimana cara mengatasinya? ini perlu langkah konkret dan berkesinambungan, salah satunya dengan menyediakan bahan bacaan yang cukup. Untuk mengetahui lebih lanjut bisa baca di artikel ini http://mnurulikhsansaleh.blogspot.com/2012/06/meningkatkan-budaya-baca-masyarakat.html