7 Kelemahan Online Self Publishing Sistem Print on Demand (II)

Sebelum Memilih Online Self Publishing

Dari sejumlah referensi yang saya jadikan rujukan selama menulis artikel ini, saya menyimpulkan bahwa ideal tidaknya online self publishing sistem print on demand (PoD) bersifat kasuistis. Itu tergantung pada kebijakan masing-masing situs penyedia jasa layanan online self publishing (kadang saya berpikir layanan ini hanya sedikit modifikasi dari online printing services atau digital printing services ).

Dengan pengalaman selama 8 tahun di bisnis ini, dan telah mengoperasikan 6 versi situs internasional; Inggris, Perancis, Jerman, Italia, Spanyol dan Belanda. lulu.com relatif sudah mapan. Mereka memiliki sumber daya berupa jaringan cetak global dan delivery service keseluruh dunia, hingga bisa menjangkau pembaca global. Tak heran, jika mereka mampu menambahkan sekitar 20.000 judul buku kedalam catalog mereka setiap bulannya. Tentunya kapasitas lulu.com tidak bisa dibandingkan dengan situs sejenis didalam negeri, yaitu nulisbuku.com, yang masih dalam taraf pengembangan,

Artikel ini merupakan kelanjutan dari artikel sebelumnya; 7 kelebihan online self publishing sistem print on demand. Masih dengan nulisbuku.com sebagai contoh kasus dominan. Maka, daftar 7 kelemahan yang sempat saya inventarisir dibawah ini, semoga bisa menjadi masukan berguna bagi pengelola situs bersangkutan. Khusus buat anda, para penulis, saya harap analisa ini bisa membantu menakar secara lebih berimbang, sebelum menentukan sikap.

1. Kualitas editing dipertanyakan

Salah satu konsekuensi biaya murah yang ditawarkan oleh situs penyedia layanan online self publishing, adalah ‘meminta’ penulis sekaligus merangkap editor bagi karyanya sendiri. Kehadiran editor yang kompeten berkontribusi besar pada mutu terbitan. Penulis yang memaksa dirinya menjadi editor harus paham bahwa editing bukan persoalan EYD belaka. Butuh skill khusus untuk mengedit. Coba saja bandingkan mutu buku yang anda edit dengan buku produk penerbit mainstream yang ditangani oleh editor professional. Memakai jasa freelance editor atau editor partikelir otomatis menuntut biaya tambahan. Padahal anda memilih penerbitan format PoD, salah satunya karena faktor biaya minim, bukan ?

2. Biaya promosi dan distribusi tidak ditanggung

Bila anda jeli, sebenarnya fasilitas cepat, mudah dan murah yang ditawarkan situs penyedia layanan online self publishing, tidak seindah yang anda dibayangkan. Mengapa royalty penulis di jalur penerbitan mainstream sacara umum berada di kisaran 8 -10 % ? Itu karena biaya promosi dan distribusi dimasukkan kedalam ongkos produksi. Sistem PoD hanya mengirim buku bila ada pesanan, dimana ongkos kirim ditanggung pembeli –harga membengkak-. Nah, loh ? Sekedar memajang buku anda di marketplace situs nulisbuku.com misalnya, itu juga bukan promosi, Jadi kalau berharap buku anda bisa terjual signifikan, anda perlu mengeluarkan biaya ekstra untuk promosi online & offline.

3. Wilayah pemasaran buku terbatas

Print on demand berarti tidak ada buku yang didistribusikan ke tempat manapun sebelum ada pemesan. Dengan kata lain, buku anda tidak terlihat di pasar. Anda mungkin bisa mengakali dengan cara membeli buku anda sendiri, kemudian anda menitipkannya disejumlah titik penjualan. Bila memang anda punya modal, seorang kawan saya, penulis buku indie, menyarankan agar anda sekalian saja mencetaknya sendiri (self publishing model konvensional). Royalty 100 % menjadi milik anda.

4. Menyita waktu lebih banyak

Tanpa alokasi waktu ekstra untuk menerapkan marketing strategy yang anda susun, buku anda kemungkinan besar akan berakhir sebagai naskah soft copy di hard disk percetakan, atau foto sampul buku semata di online store. Bukan berarti penulis yang dinaungi penerbit mainstream tidak melakukannya. Hanya saja akses mereka ke pembaca (promosi) umumnya mendapat dukungan penuh dari pihak penerbit.

5. Harga jual lebih mahal

Saya pernah memesan buku produk self publishing dari medan, yang butuh ongkos kirim Rp 20.000 untuk sampai di Makassar. Harga tersebut hampir setengah dari harga bukunya. Seandainya saja saya tidak menggemari tulisan-tulisan dari penulis tersebut sebelumnya, pasti saya tidak akan tertarik membelinya.

6. Ketimpangan bagi hasil

Saya pikir, angka 40 % fee bagi pihak nulisbuku.com relatif besar. Praktis sebenarnya pihak nulisbuku.com hanya menyediakan mesin cetak dan online store. Saya belum tahu, apakah nulisbuku.com juga mengambil untung dari usaha percetakan tersebut, atau tidak ? Sementara online store-nya saya yakin tidak lebih efektif ketimbang penulis bersangkutan memasarkannya lewat blog pribadi atau rekannya, atau memenfaatkan akun jejaring sosial dunia maya yang profil pasarnya sudah dikenal baik. Seorang kawan yang menerbitkan buku di nulisbuku.com mengungkapan kepada saya bahwa, ada 50 eksemplar bukunya terjual lewat usahanya sendiri, dan hanya 3 (mungkin termasuk satu yang dibelinya sendiri) yang terjual lewat online store nulisbuku.com.

7. Apresiasi masyarakat masih minim

Pasar ideal bagi produk yang mengaplikasikan sistem PoD adalah pembelanja online. Kondisi ideal ini akan terwujud bila sebagian besar masyarakat kita mulai familiar dengan transaksi online. Dan faktanya anda tahu sendiri. Selain itu, konsumen buku saya asumsikan sebagai orang yang kritis, paham bahwa, faktor kecepatan, kemudahan, dan biaya murah menerbitkan buku lewat situs layanan online self publishing, mestilah berdampak signifikan pada mutu buku yang dihasilkan.

Bila anda kebetulan pernah menerbitkan buku lewat jalur online self publishing sistem print on demand (PoD), saya harap anda tidak menganggap analisa ini sebagai masalah pribadi. Biarkanlah buku anda membuktikan mutunya sendiri, dengan parameter antara lain.tingginya minat pembaca untuk membelinya.

Copyright @2011 Rusdianto
sumber : indonovel.com

+ Add Your Comment