CINTA QONITA

Aku baru saja menyelesaikan tangisku, dan sekarang ingin mulai tertawa. Tapi sayangnya aku lupa bagaimana caranya tertawa. Sudah kucari ke semua buku-buku yang sering kubaca, tapi tak satupun ada yang isinya mengajarkan tentang bagaimana cara tertawa, lalu harus bagaimana aku memulainya?
Hemmh ... sungguh aku tak ingin larut dlm kesedihan dan tenggelam di lautan air mata.  Mungkin aku bisa belajar pada matahari dan hujan.  Keduanya begitu kontras namun selaras. Senyum matahari akan muncul di balik hujan.  Tapi bagaimana caranya?  Sedang mengenal matahari saja aku tidak. Dan belajar pada hujan akan membuatku terus mengingat lelehan air mata yang baru saja habis tertumpah. Aku ingin tertawa, tertawa yang lepas dan bebas.
Aku tak suka kondisi seperti ini! Ada apa denganku?  Mengapa aku begitu lemah?
Kemana semangatku yg begitu menggebu meningkahi keceriaan hari-hariku yang telah lalu?
Oh...
 Semuanya karena dia, karena pinangan yang telah diucapkannya dan telah kuterima dengan mata berbinar-binar.  Lalu pinangan itu terkoyak begitu saja ketika kusaksikan dengan kedua mata ini dia memilihkan gaun pengantin untuk orang lain. Dan mata yang sempat berbinar-binar karena pinangan yang indah itu, kini harus bercucuran airmata.  Hati ini rasanya terkoyak.
Ini bukan hal mudah bagiku. Aku sakit.  Tercabik-cabik.  Aku ingin menuntut!  Aku ingin marah! Tapi pada siapa??  Bukankah ini bagian takdir yang telah Dia tuliskan untukku? Tapi mengapa sesakit ini ya Allah..
Aku beristigfar berkali-kali. Begitu banyak rasa bercampur aduk dalam hati. Aku tak boleh terlalu larut dalam rasa seperti ini. Maka kuputuskan untuk mengambil tas selempangku, keluar dari rumah, berjalan-jalan menyusuri setiap tempat yang pernah kulewati dengannya. Dengan hati yang masih sedikit perih.
Aku berhenti, terpaku menatap bangku kosong di taman. Kami biasa datang kemari, membeli es rumput laut dan jamur goreng. Berkelebat bayangan-bayangan indah beberapa waktu yang lalu.  Senyum bersahajanya, ramah suaranya, tatapan sayangnya, ah aku seperti di tampar-tampar.
Lalu sosok itu muncul tak jauh dari pandanganku.  Dia bersama wanita yang sama dengan yang kulihat tadi.  Airmataku akan menetes lagi.  Tapi aku mencoba menahannya, aku harus tegar.  Aku menjaga jarakku dari mereka. Aku berdiri di balik semak-semak sambil memperhatikan mereka. Mereka duduk, di sana, di bangku tempat kami sering membagi makan siang kami berdua.  Kudengar dia berucap lirih pada wanita di sampingnya.
"Sungguh terima kasih atas saran-saran yang telah kau berikan, gaun itu sangat cantik. Dan akan jauh lebih cantik bila dia kenakan nanti."  Aku tertegun mendengar ucapannya, apa maksudnya?
“Lo, kok sendiri neng?  Calon suaminya mana?”
Aku melihat ke arah penjual es serut yang baru saja menegurku dan tersenyum, sambil mencoba menyembunyikan gelombang dalam hatiku, sekaligus mencoba menjernikahkan pikiranku terutama setelah mendengar kalimat yang baru kudengar dari balik semak-semak.
“Sedang ingin sendiri bu” jawabku pada si penjual es serut.  Si Ibu kemudian pergi setelah menyapaku.
Aku kembali memperhatikan mereka, kudengar wanita itu menjawab,  "sama-sama, aku yakin gaun itu sangat anggun dipakai olehnya. Oh ya, siapa namanya ..." wanita itu menggantung kalimatnya.
"Qonita, namanya Qonita," aku tertegun, sekali lagi tertegun karena pembicaraan mereka berdua. "Namanya Qonita, dia gadis yang patuh pada keluarganya, dan semoga dia menjadi istri yang taat pada suaminya."
Lagi-lagi, aku tertegun. Yang disebutnya itu, namaku, bukan nama wantia lain selainku.  Dan aku tak hanya terkejut, aku juga tersenyum. Kurasakan sekitarku berubah menjadi taman bunga warna-warni lengkap dengan kupu-kupu kecil menari-nari.
"Qonita?" Tanyaku dalam hati.  Lagi-lagi aku tersenyum.  Aku ingin sekali muncul di hadapan mereka dan berkata, aku akan menjadi istri yang baik.   Tapi aku mengurungkan niatku. Aku masih ingin mendengar pembicaraan mereka.  Aku masih penasaran pada wanita itu, siapa dia?   Kenapa dia yang harus membantu memilihkan gaun pengantin untukku? Bukankah aku masih mampu untuk memilih sendiri.
Hmm ... Aku jadi salah tingkah, antara gembira dan tanda tanya.  Tapi walau bagaimanapun, aku lega bahwa akulah wanita yang terpilih yang akan menjadi pendamping dari laki-laki seperti dia.  Aku sungguh bersyukur.
"Semoga pernikahan kalian menjadi pernikahan yang sakinah, mawaddah, warohmah." Aku mendengar wanita itu bicara,  aku diam seribu bahasa kala suara wanita tadi keluar tiba-tiba. Ahh ... aku jadi semakin penasaran siapa dia sebenarnya.  "Semoga pernikahanmu nanti tidak seperti pernikahan mba yang harus kandas di tengah jalan, dan terkoyak jadi reruntuhan yang tak bisa disatukan lagi."
Jadi wanita itu kakaknya?  Yang selama ini ia cari?  Tapi setidaknya ia menceritakan hal itu padaku.  Bukannya membiarkan aku berpikir negatif tentangnya.  Ah, aku harus percaya dia, aku tak ingin hari-hari menjelang hari pernikahan kami berubah jadi sesuatu yang tidak mengenakkan.
"Qonita...." tiba-tiba ia memanggilku.   Aku tersentak kaget, ternyata ia menyadari keberadaanku.  Ia menghampiriku, "Apa yang kamu lakukan di sini?" Ia bertanya. 
"Eh, anu ... Aku ingin melihat bunga-bunga di taman," jawabku gugup. Rona wajahku memerah.  Kutundukan saja kepala, agar ia tak bisa membaca kebohongan di raut wajahku. Ya Allah, maafkan hamba berkata bohong.
"Ayo, kuperkenalkan dengan mbak ku," katanya seraya tersenyum.
"Baiklah."  Kuangkat wajahku dan tersenyum padanya, lalu menunduk lagi, malu.
Tak butuh lama untukku dan mba' Zuhra jadi akrab.  Dia memperlakukanku layaknya seseorang yang telah ia kenal lama.  Kusesali rasa curiga yang sebelumnya hadir di benakku tentangnya. Ternyata ia adalah wanita yang lembut dan keibuan. Mungkin itu sebabnya Mas Alif begitu menghormatinya karena aku pun mulai mengagumi pribadi yang ada di depanku ini.  
Tiba-tiba aku merasa kecil di hadapan Mas Alif ketika dia menertawakan tingkah bodohku.    "Apakah kamu merasa cemburu dengan Mba Zuhra?" Pipiku merona. Entah perasaan apa yang kumiliki hingga membuat aku merasa tak boleh ada orang yang berusaha dekat-dekat dengan Mas Alif.  "Aku telah menjatuhkan pilihanku padamu Qonita" ucapnya yang membuat pipiku semakin merona.   Aku kehabisan kata-kata sangking bahagianya.
Sementara Mba Zuhra masih saja tersenyum.
"Baiklah, Mba rasa cukup dulu ya pertemuan kita,  Mba masih ada urusan."  Suara Mba Zuhra memecahkan kebisuanku.  "Lif, jangan sia-siakan gadis pilihanmu ini.”  Lanjutnya sambil mengedipkan mata.
Mba Zuhra melangkah pergi meninggalkan kami berdua, aku masih memamandangi kepergiannya. Tersenyum geli, karena aku telah salah meyangka.
"Kenapa tersenyum sendiri?" Lagi-lagi Mas Alif mengagetkan aku.  Kali ini aku tidak malu lagi mengungkapkan perasaanku, setelah aku tahu hati Mas Alif hanya untukku.
"Mas, maafkan aku.   Selama ini aku mengira kalau kamu sudah memiliki pilihan yang lain. Tadinya aku mengira kalau Mbk Zuhra ...." Ha ha ha, Mas Alif memotong kalimatku dengan tawanya yang renyah.
          "Kau ini ada-ada saja." Aku tersenyum, mendengar ucapannya itu membuatku malu, "sesungguhnya, kau adalah pilihan hatiku yang pertama dan insya Allah yang terakhir. Tentang Mba Zuhra, maafkan karena aku tak pernah menceritakannya sebelumnya, tapi tenanglah dia bukanlah orang lain yang mengusik hari-hariku dan membuatku berubah pikiran untuk meneruskan niatku menikahimu. Karena sungguh di hatiku kaulah bidadari yang insya Allah akan selalu menemani langkahku." Hatiku teduh mendengar ucapan mas Alif, sungguh aku bahagia mendengarnya.  Terima kasih, ya Allah. Engkau telah mempertemukan aku dan Mas Alif. Seperti halnya Engkau mempertemukan Adam dan Hawa.  Sekali lagi senyumku mengembang, bagai bunga yang sedang mekar.
"Qonita, aku ingin meminta sesuatu padamu, bolehkah?" Aku hanya mengangguk. "Aku ingin kau mempercayaiku, dan bila rasa ragu datang menghampirmu, maka katakan padaku." Aku tersenyum dan sekali lagi mengangguk.  "Sekali lagi aku ingin bertanya, apakah engkau bersedia menjadi pendampingku?"
Di hatiku ada sejuta senyum yang ingin kuhadiahkan untukmu, wahai lelaki yang telah meluluhkan hatiku. Semoga kau bisa memegang kepercayaan yang telah dan akan terus kuberikan padamu. Karena sungguh, aku tak ingin kau menelantarkan setiap kepercayaanku di tempat yang tidak semestinya.
"Aku bersedia, sungguh bersedia." Dengan mantap kukatakan jawabanku, lebih mantap bahkan daripada ketika mas Alif melamarku beberapa waktu yang lalu.
"Lalu, apakah engkau benar-benar mencintaiku, jika ya, katakan alasan nya," tanya Mas Alif lagi.
"Akan kukatakan setelah kita menjadi sepasang suami istri. Karena jawaban atas pertanyaanmu itu bukanlah kalimat rayuan yang akan melambungkan anganku dan anganmu." Mas Alif tersenyum mendengar jawabanku, dan kubalas dengan senyuman yang lebih manis lagi.
"Qonita, rasanya aku tak perlu lagi mendengarkan jawabannya. Angin telah mengatakan tentang ketulusan hatimu," kata Mas Alif penuh arti.
Aku tersanjung, sungguh tersanjung. Andai saja kami berdua telah resmi, aku akan memeluknya saat ini juga. Sayangnya kami harus menunggu, setidaknya sebulan lagi.
"Ayo, sekarang kita pulang. Aku antarkan kamu,"  aku melangkah mengikuti Mas Alif, berjalan di sampingnya. Ya Allah, semoga saja ia senantiasa menjadi imamku, aku selalu berjalan mengiringi langkahnya, begitupun dengan dia.
Namun,  adilkah ini untuk dia? Mas Alif bisa membuatku tersenyum. Lalu bagaimana aku?  Bisakah aku membuatnya tersenyum? Dengan semua kekacauan hidup dan penyakit yang menderaku. Aku tidak mau ya Allah. Aku tidak mau sedikitpun menyusahkan mas Alif. 
"Kenapa kau terdiam seperti itu?"  Rupanya Mas Alif mmperhatikanku.  Aku hanya menundukan kepala. "Qonita, pandang aku," ucapnya lembut.   Aku takut penyakit turunan itu mewaris kepadaku.  Aku sungguh takut. 
“ Qonita, jujur saja padaku, ada apa?"  Suara Mas Alif menyadarkan lamunanku.
"Ah ... gak ada apa apa kok."  Semoga senyumanku bisa menghapus rasa penasarannya padaku.
Hari demi hari kian terlihat badanku yang mulai susut, tulangku seperti hanya berbungkus kulit yang makin pucat, dan rambutku yang rontok walau tidak disisiri.  Belum lagi rasa sakit dan ngilu yang bersarang beberapa waktu ini. Akupun mulai mengeluh sakit pada bagian persendianku. Oh Tuhan, aku tak tahu penyakit apa lagi yang kini menderaku. Aku tak mau membuat mas Alif cemas dan sedih jika tahu kondisiku seperti ini.
Sengaja beberapa hari aku tidak menemuinya. Aku tidak mau Mas Alif melihat keadaanku yang seperti ini. Kami hanya kontak melalui telepon.
Aku pergi memeriksakan diriku, hasilnya aku positif terkena leukimia.  "Ya, Allah, mengapa penyakit turunan ini harus terjadi padaku,"  kataku pelan sambil menitikan airmata,  "apakah aku juga akan menjadi gila seperti bibi, nenek, dan adik eyangku?"  Tidak....!! Aku tidak mau penyakit ini menjadikan aku seperti mereka, aku harus berusaha.
Aku tak ingin gila karena tak mampu menanggung beban, hidup penyakitan.  "Sabar ya Mbak." Aku mengangguk lesu mendengar ucapan dokter di hadapanku. Aku segera pulang ke rumah. Sepanjang jalan aku hanya merenungi diriku sendiri, sampai-sampai aku tak sadar ada becak yang melintas di depanku, aku hampir tertabrak.
"Astagfirullah,  Qonita."  Penumpang di dalam becak ternyata Mas Alif. Ia segera turun. Aku pura-pura tidak tahu, melangkah pergi meninggalkannya.
"Hei, Qonita tunggu!"  Aku semakin mempercepat langkahku. Aku tak ingin Mas Alif melihat kondisiku. Tapi, aku tak mungkin menghindar darinya. Mas Alif menghadangku.
"Ada apa dengan mu? Aku menelepon, tapi tak dijawab. Aku merindukanmu, jangan katakan kalau kamu membatalkan pernikahan kita." Aku tak mampu mengangkat wajahku, tenggorokanku tercekat, mataku mulai panas.  Aku menangis.
"Kau kenapa sayang? Apa yang terjadi denganmu?" Pertanyaan Mas Alif membuatku semakin bingung untuk mengungkapkan yang sesungguhnya terjadi. Aku mengangkat wajahku, memandang Mas Alif.  "Qonita ... Apa yang terjadi?"  Tanya Mas Alif,  menelusuri raut wajahku.  Aku membuang muka, tak mampu melihat pandangan Mas Alif.
"Kamu sakit?" tanya Mas Alif lagi.   
"Qonita ... kau dengar suaraku?”  Suara Mas Alif membuat rongga dadaku sesak, aku seakan tak mampu untuk berucap.   Tiba tiba, kepalaku pusing, wajah Mas Alif semakin samar terlihat dan semuanya kini terasa gelap.
“Qonita... Qonita... Kamu sudah sadar?”  Perlahan kubuka mataku,  kulihat Mas Alif menitikkan airmata di hadapanku.
"Dimana ini?" Kataku lemas. 
"Kamu di rumah sakit sayang. Tadi kamu pingsan di jalan."  Katanya. Ya Allah, apa mungkin dia sudah tahu kondisiku?
"Kenapa kamu menyembunyikan semuanya dariku?"  Tanya Mas Alif dengan suara pelan.
"Mas, maafkan aku ..." kata-kataku terputus, kepalaku sakit sekali.
"Kamu istirahat saja dulu. Mas akan mengurus semuanya agar pernikahan kita bisa dipercepat.  Mas ingin menemanimu, memelukmu, dan mencium keningmu saat kau lemah”
"Tapi Mas, aku leukimia.  Tidak mungkin kita ..." Mas Alif memintaku tenang.
"Qonita, kamu harus tabah. Percayalah aku masih tetap mencintaimu, dan tidak akan merubah pilihanku," kata Mas Alif meyakinkanku.
Aku hanya terdiam, benarkah ucapanmu itu terlahir dari lubuk hatimu yg paling dalam. Atau kamu berpikir aku wanita yang patut dikasihani karena penyakit yang menggerogoti tubuhku.  Apa kamu tahu hidupku tidak akan lama? Aku masih diam dengan pikiranku yang rancu. Kemudian aku tertidur lagi, pingsan.
***

Kulihat di depan sebuah padang luas yg nampak berkabut.  Kemudian sedikit demi sedikit timbul cahaya yang menyilaukan mata. Tampak dua sosok saling menggenggam tangan. Begitu dekat, begitu akrab. Aku seperti pernah melihatnya. Sosok yang satu itu sangat ku kenali. Pasti itu mas Alif. Tapi siapa sosok yang di sebelahnya itu. Dia terlihat anggun dengan gaun pengantin yang pernah diperlihatkan Mas Alif padaku.  Bayangan itu terlihat samar, tapi lama kelamaan terlihat jelas. Ya Allah, aku melihat wanita itu adalah aku. 
Kami berdua berjalan menuju titik terang.  Semakin jauh dan akhirnya menghilang.
Kau dan aku akan bersama ... kini dan nanti . Kita akan melaluinya bersama ke titik terang itu."  Itu seperti suara Mas Alif.
Aku terjaga dari pingsanku. Kudapati Mas Alif yg dengan setiannya menjagaku.
"Alhamdulillah, akhirnya kamu sadar," kata Mas Alif seraya tersenyum lembut.
"Mas, Kamu...."
"Sssst, istirahatlah Qonita, dan cepatlah sembuh. Ingat, seminggu lagi hari pernikahan kita," kata Mas Alif memotong kata-kataku.
”Mas, dengarkan aku...."
"Tidak Qonita,  kamu tidak perlu berkata apa-apa lagi,"  sela Mas Alif lagi.
“Tapi aku sakit mas, di saat seperti ini Mas masih memikirkan pernikahan?”  Kataku dengan suara parau.  Mas Alif terkejut dengan reaksiku. 
Kami akhirnya terdiam. Disela-sela diam ini,  aku berusaha mengumpulkan tenaga dan keberanian, Allah bantu aku ... “Mas Alif, batalkan saja pernikahan kita” 
"Qonita, aku mohon. Kamu jangan berputus asa, aku sudah tahu segalanya. Tentang kondisimu, tentang keluargamu.  Lalu apakah aku salah, jika aku tetap mencintaimu dan ingin menikahimu."  Aku diam tak menjawab. 
"Baiklah, aku batalkan pernikahan kita."  Aku menatap wajah Mas Alif lekat-lekat.  Aku terkejut dengan reaksinya. Sakit hatiku ya Allah. Namun meski begitu, aku mencoba untuk tersenyum, "kalau menurutmu ini yang terbaik untuk kita. Tapi jangan salahkan aku, bila suatu hari kamu melihatku telah berubah.”  Aku hanya diam mendengar ucapan Mas Alif  “Sakit hatiku menerima penolakan ini. Karena kamu tahu? Bukan hanya kamu yang menderita." Lelaki itu bergegas pergi meninggalkanku.
"Tapi satu hal yang harus kamu ketahui, aku batalkan pernikahan kita, namun selamanya aku akan menantimu, hingga engkau mau menjadi istriku."  Kata Mas Alif di ambang pintu keluar. 
***

Kata-kata itu sampai kini masih kuingat. Meski telah tujuh tahun lamanya kami berpisah dan aku tak lagi pernah berjumpa dengannya.  Sejak kepergiannya,  aku berjuang melawan penyakitku sendiri.  Namun dia tidak penah lupa untuk terus menyemangatiku meski hanya lewat sms.
Aku masih ingat, kala itu aku menatap wajah Mas Alif lekat-lekat, untuk yang terakhir kalinya.   Mas Alif, setulus itukah cintamu?  Mau menantiku sampai kapanpun.  Tak tahukah engkau, betapa inginnya aku bersamamu, melewati hari-hari bersama, tertawa bersama, dan membagi air mata bersama.  Namun, aku tak mau membuatmu bersedih, tak mampu mengajarimu untuk tetap tersenyum,  disaat aku berpikir penyakit itu akan terus menggerogotiku, dan merenggut nyawaku.
Alhamdulillah, penyakitku telah sembuh. Keajaiban luar biasa dari Allah melalui seorang dokter muda baik hati.  Karena dia aku tertarik di dunia pengobatan , aku ingin sekali merawat orang-orang yang bernasib seperti aku dulu, miskin dan berpenyakit.  Di rumah sakit inilah aku bekerja sebagai seorang perawat mendampingi Dokter Fauzan.
Dan tentang Mas Alif, aku sudah tidak pernah mendengar kabarnya lagi. Semoga dia hidup dengan kebahagiaan tercurah dari Allah,  jauh di lubuk hatiku dia adalah tetap kekasihku, kekasih abadiku.
"Terimakasih dok, berkat perawatan anda saya bisa pulih kembali," kataku pada suatu senja.
"Berterimakasihlah kepada Allah, karena hanya Dialah yang Maha Penyembuh," kata Dokter Fauzan penuh sahaja.  Aku mengangguk pelan sambil melayangkan pandanganku ke langit senja yang berwarna merah.  Dan dalam setiap diamku, aku selalu mengingatnya  "Mas Alif, akankah kita bertemu kembali?" tanyaku dalam hati.

Di saat jam istirahat ...
"Qonita, saya ada job tambahan untukmu."   Dokter Fauzan membangunkanku dari lamunanku.
"Apa dokter?"  kataku senang
"Ada seorang pasien pria, keluarganya meminta seorang perawat privat. Lalu saya berfikir orang yang tepat untuk tugas ini adalah kau Qonita, suster yang sangat lincah dan cekatan.”  Dengan wajah tersenyum ceria, aku menerima tawaran Dokter Fauzan.  Kupikir, dari uang hasil tabunganku itu, aku bisa membeli mobil suzuki untuk diobyekkan jadi angkutan umum, biar orang-orang yang kurang pekerjaan di luar sana bisa bekerja dengan menarik angkot.  Ah, masih sempat saja aku memikirkan masalah itu.

Aku menemui pasien itu, dan aku tak menyangka ternyata pasien itu adalah Mas Alif, Subhanallah.  Namun Mas Alif sekarang bukanlah Mas Alif yang dulu. Bayangan wajah tampan berbadan tegap itu kini sirna digantikan bayangan lesu, wajah pucat dan badan kurus. Mas Alif terkena stroke 6 bulan yang lalu. Ya Allah, cobaan apa lagi yang akan Engkau berikan kepada kami?  Aku menghampiri tubuh yang terbaring lemah itu.
"Assalamualaikum," sapaku seraya tersenyum manis. Senyum yg pernah kuberikan hanya pada Mas Alif.  Kulihat perlahan matanya terbuka.  Meski kaget dia mendapatiku berada di hadapannya, Mas Alif tetap menjawab salamku.  Tak tampak kesedihan di matanya. Meskipun secara fisik Mas Alif kuakui sudah berubah, namun tatapan lembutnya tujuh tahun lalu mampu meluruhkan hatiku tak pernah jua berubah.
"Bagaimana bisa kita bertemu di sini?" tanyanya lemah.
"Semunya karena Allah Mas," jawabku lembut.
"Aku pernah berpikir kita memang akan dipertemukan lagi Qonita. Namun aku tak pernah berpikir kalau pertemuan kita ini dalam keadaan yang sebaliknya dengan tujuh tahun yang lalu."
"Tuhan yang telah mengaturnya."
          "Rawat aku Qonita, sebagai ganti kepergianmu selama 7 tahun." Aku menunduk,  tersenyum malu-malu.
          "Aku akan merawatmu mas,  dengan sepenuh hatiku."  Kudengar Mas Alif mengucapkan kata Hamdalah, sementara hatiku sedang bergemuruh kencang.  Inikah pelabuhan cintaku?.  Aku ikhlas Allah,  menerima calon suamiku yang seperti ini.  Akan kurawat dia agar bisa menjadi Mas Alif yang dulu. 
Penantian ini begitu lama namun semuanya tidak sia sia. Semuanya begitu Indah.
***

 Aku mengenakan gaun pengantin yg dulu pernah dipilihkan Mas Alif untukku, hari ini adalah hari pernikahanku. Hari yang telah lama ku nanti-nantikan sebagai seorang perempuan, menjadi pengantin tercantik di dunia.
"Kamu benar2 cantik memakai gaun itu,"  aku menoleh ke arah mba Zuhra, yang sedari tadi mengamatiku. 
"Terima kasih mba, telah memilihkan gaun untukku." Mba Zuhra menghampiri dan memeluku.
"Mba senang, akhirnya cinta kalian berdua bisa bersatu." air mataku berderai, tapi kali ini adalah tangis bahagia seorang pengantin. 
Mas Alif pasti sedang duduk di depan penghulu dan menunggu kedatanganku,  hari ini adalah hari pernikahan kami.  Setelah menjalani terapi berbulan-bulan lamanya, Mas Alif sedikit demi sedikit kembali pulih, belum sepenuhnya memang tapi dia sudah sedikit lebih baik dari ketika aku bertemu lagi dengannya setelah perpisahan 7 tahun lamanya.
 Mas Alif, sungguh kau adalah cinta yang susah didapatkan.  Terima kasihku ya Rabb, karena telah memberiku kesempatan untuk bisa terus bersama Mas Alif.  Aku berjanji akan merawatnya dengan penuh cinta, dan tak akan ada hari dimana dia merasa kekurangan cinta dariku.  Aku akan terus berada di sampingnya, sampai ajal memisahkan kami.

=== The End ===

=========================================================

Terimakasih kepada :
Nilaqonita Sudan, Ikhsan ‘kidnep’ Effendi, Surip Riyanti, Lailaa Syifaa’, Rahma Esti, Petra Shandi, Teguh Kyuiichi, Deva del Amor,  dan Pameta Fisabilla.
Mohon maaf bila ada nama yang telah ikut menyumbangkan ceritanya tapi tidak saya sebutkan  (semata-mata karena saya kurang teliti).
Dan mohon maaf bila ada yang merasa  sumbangan idenya saya edit sedikit.

2 Person has expressed his thoughts, Now you turn guys!

  1. hida

    penantiannya lamaaaa... tapi happy ending, ya Mb...^^

+ Add Your Comment