Burung Bersayap Patah


By: Hylla Shane Gerhana



Burung itu melintas di depan mataku. Di tengah hamparan rumput taman yang hijau. Mengelilingi bunga-bunga segar bermekaran. Bulu-bulunya putih halus. Seperti kulit bidadari dalam dongeng-dongeng yang kubaca ketika kanak-kanak. Dan, lihatlah! Kepak sayapnya begitu indah. Gemulai terayun. Seperti bidadari sedang menari. Membuatku terpukau.
                                                   


"Tangkapkan burung itu untukku," bisikku kepadamu. Dengan kemanjaanku, kusandarkan kepalaku ke dadamu. Kulekatkan telingaku, mencoba menyimak deru kejujuran perasaanmu. Nafasmu memburu, membaur dengan gemericik darah yang mengalir dalam sel-sel tubuhmu. Matamu memandang ke arah yang kutunjuk dengan jemariku.

Burung itu! Dia kembali melintas di depan mataku. Menggodaku dengan kerling genit matanya yang bundar dan bening. Kicaunya begitu merdu. Seperti nyanyian bidadari yang sering menina-bobokanku ketika kanak-kanak.

Berkali-kali ia mengerling dan tersenyum kepadaku. Lalu mengepakkan sayapnya yang indah, terbang membubung ke langit tinggi. Mendung pun tersibak. Langit menjadi begitu bersih. Biru sejuk. Matahari memadamkan baranya, dan mengguyurkan cahayanya yang teduh. Seperti cahaya mata para bidadari.



"Tangkapkan burung itu untukku," bisikku kepadamu. Dengan sepenuh kesungguhan cintaku, kurebahkan kepalaku di atas pangkuanmu. Kucoba menelusuri kesungguhan cintamu, lewat kehangatan jemari yang membelai rambutku.

Matamu memandang ke arah yang kutunjuk dengan jemariku. Burung itu! Dia kini terbang merendah, melintas di depan mataku dengan kepak sayapnya yang indah. Lalu bertengger di atas rumput di tepian sungai. Paruhnya yang kuning, berkilau seperti medalion para bidadari, mencecap air sungai. Keruh pun menepi. Bening air sungai berkilauan, seperti bening airmata bidadari.

"Tangkapkan burung itu untukku," bisikku kepadamu. Kini, kusandarkan punggungku ke punggungmu. Tentu tak bisa kulihat, ke arah mana matamu memandang. Tapi, kurasakan udara menebarkan suaraku ke dalam aroma nafasmu.

Lalu kulihat burung itu melintas lagi. Tetap seperti sengaja menggodaku. Menyanyi, mengerling dan menari. Dari paruhnya, ia jatuhkan sekuntum melati di pangkuanku, sebelum terbang kembali dengan kepaknya yang gemulai. Embun menetes dari kuntum-kuntum melati itu, menumbuhkan damai di penjuru lorong hatiku. Wangi pun menebar.

"Tangkapkan burung itu untukku," bisikku kepadamu, dengan perasaan mulai gundah dan tak sabar. Kembali kusandarkan kemanjaanku ke dadamu. Kulekatkan telingaku, mencoba menelusuri suara hatimu. Apakah kau bersedia menangkapkan burung itu untukku? Apakah di dalam detak jantungmu, ada detak yang benar-benar ingin kaubagi untukku?

Matamu masih memandang ke arah yang kutunjuk dengan jemariku. Memandang burung itu, yang kini bertengger tenang di sebatang dahan flamboyan, di antara jingga bunga yang tengah bermekaran. Angin pun bertiup sepoi. Semilir mengibarkan anak-anak rambut di keningku.
"Tangkapkan burung itu untukku. Hanya burung yang di dahan itu. Yang berbulu halus dan putih. Yang bersayap indah. Yang berkicau merdu, dan menebarkan kebahagiaan pada seluruh hari sepanjang hidupku. Aku tak ingin yang lain," bisikku lagi kepadamu. Suaraku mulai tersendat. Kutatap matamu dengan sepenuh kesungguhan cintaku. Kau pun menatapku. Begitu dalam. Kauusapkan hangat jemarimu pada rambutku.


"Tentu, akan segera kutangkapkan burung itu untukmu, jika itu memang bisa menebarkan kebahagiaan pada seluruh hari sepanjang hidupmu," janjimu.

                                                                            * * *

Kau pun Beranjak. Merekahkan tangan, dan menengadahkan muka ke dahan flamboyan itu. Burung itu masih bertengger dengan tenang.

"Ah, terlalu tinggi! Aku harus memanjat!" serumu.

"Ya, memanjatlah. Tapi hati-hati, ya! Di pohon itu tentu banyak semut. Bahkan, di balik keindahan bunganya, mungkin ular siap melilit dan mematuk. Jangan sampai kau digigitnya," sahutku juga, mencemaskanmu.

"Wah, banyak sarang lebah juga. Ranting-rantingnya juga mencurigakan. Sepertinya kokoh, tapi ternyata kering dan rapuh!" serumu lagi.

"Jadi, apakah kau tidak bisa menangkap burung itu dan membawanya untukku?" sahutku sedih.

"Tentu akan tetap kutangkap, sayang. Bukankah kaubilang kau pasti akan bahagia jika berhasil mendapatkan burung itu? Baiklah, kupanjat pohon ini sekarang.""Oh, hati-hati, ya!" aku semakin mencemaskanmu.

Kau pun mulai memanjat. Tubuhmu terayun-ayun di balik daun ketika kakimu menginjak ranting kering. Terkadang tanganmu sibuk menggaruk dan menepis sesuatu dari tubuhmu. Lalu memanjat lagi. Terayun-ayun lagi. Hingga dengung lebah pun mengepungmu.

Bahumu terguncang! Tak berani kuarahkan mataku untuk memandangmu. Aku berlari menjauh, bersembunyi di antara rumpun asoka, menunggumu dengan debar yang menderas.Lalu kudengar suara berdebum dan berderak. Disusul suara 'aduh'. Juga cericit merdu dan kepak sayap yang menjauh.

"Ah, burung itu lepas!" keluhmu kecewa. Di persembunyian, kugigit bibir menahan debar yang kian menderas. Tak kan kubiarkan kecengengan menodai jerih payahmu, meskipun kesedihan datang menebas saat kudengar burung itu lepas.

"Ia terbang ke semak. Akan kukejar dia, dan kutangkap!' serumu. Kudengar langkahmu yang bergemirisik, menyibak rimbun semak ilalang di tepi sungai. Semakin menjauh. Lalu sepi. Dan terdengar lagi langkah gemerisikmu yang mulai mendekat, beberapa waktu kemudian.

"Syaharani! Lihat, burung itu berhasil kutangkap untukmu! Ia sekarang berada dalam pelukanmu. Syaharani, di mana kamu?!" kamu berseru memanggil-manggilku.

Ketakutanku surut. Debarku pun menyusut. Dengan kebahagiaan melimpah, aku keluar dari persembunyianku di rerimbunan bunga asoka, menyambut kedatanganmu. Kau tersenyum bangga menunjukkan seekor burung dalam pelukanmu. Tapi langkahku seketika terhenti ketika kauulurkan burung itu padaku.

"Kenapa bukan burung berbulu putih halus dan bersayap indah itu yang kautangkap untukku? Hanya burung itu yang kuinginkan. Bukan burung bersayap patah ini," suaraku lirih, dalam gigil dan getar.

"Burung inilah yang kauinginkan. Burung inilah yang kautunjuk dengan jemarimu, dan bertengger di atas dahan flamboyan. Pandanglah yang benar, Syaharani. Lihat bulunya yang putih halus ini. Dengar kicaunya yang merdu. Belai sayapnya yang indah."

Kau bersikeras bahwa burung itulah yang kuinginkan : Burung berbulu putih halus yang bertengger di dahan flamboyan! Tapi aku menggeleng sedih. Aku tetap tak mau menerima burung yang kautangkap itu. Kau pun mulai marah dan mencampakkan burung itu ke tanah!

Sejenak, burung itu terdiam. Tak berdaya. Lalu menggeliat lemah. Sepasang matanya memandangku dengan sedih dan muram. Paruhnya terbuka, lalu terdengar kicau paraunya. Lirih. Seperti merintih. Sayapnya bergerak, seperti ingin berkepak. Tapi sayap itu patah. Jatuh terkulai.

Dengan leleh hangat yang kini benar-benar mengalir dari mataku, kuraih burung itu. Kuangkat dia dari kesia-siaan dan amarahmu. Kubelai bulunya yang hitam kusam. Kulekapkan ia dalam pangkuanku. Dalam pelukanku. Senja pun menenggelamkan langkahmu yang meninggalkanku.

                                                                * * *

Dia, dengan langkah kecilnya, berlari mendekatiku. Pipi ranumnya memerah, terpanggang matahari. Berbutir peluh menyembul dari balik poni di keningnya. Rambut hitam lebat berkibar di punggungnya. Menggeriap. Berkilau. Seperti riak air sungai yang jernih.

"Bawa dia padaku, Bunda," bisiknya kepadaku. Mata beningnya menatapku penuh asa. Ia sandarkan kemanjaannya ke dadaku. Ia lekatkan telinganya ke detak jantungku, seperti ingin menelusuri dan menyimak aneka warna yang membercak di lorong hatiku. Warna yang mungkin sudah semakin kelam, karena aus dan tergerus waktu selama lebih delapan tahun tinggal di pulau pengasingan. Pulau perkampungan nelayan.

"Bawa dia padaku, Bunda," bisiknya kepadaku. Jemari mungilnya yang gemuk kekanak-kanakan menggaris-garis pasir pantai. Sementara mata polosnya memandang jauh ke laut lepas. Ke perahu-perahu nelayan yang sibuk menengah dan menepi. Ke burung-burung camar yang terbang di atas kami.

"Bawa dia padaku, Bunda," bisiknya. Ada isak tertahan yang bisa kutangkap dari manik matanya. Mata yang kini menatap sedih seorang teman sepermainannya, yang tengah bercanda berperahu di atas ombak bersama ayah dan ibunya, sambil berburu ikan.

Kuikuti arah pandang matanya. Kuajak mata dan hatiku berlayar, jauh ke seberang. Ke sebuah keramaian kota yang telah delapan tahun silam kutinggalkan dengan diam-diam. Juga ke sebuah taman, di mana seekor burung pernah kaucampakkan. Wajahmu pun melintas. Wajah yang selalu membangkitkan dendam dan kebencian.

"Ayo, Bunda, bawa dia padaku. Agar Teman-temanku tak mengejekku lagi sebagai seekor burung bersayap patah. Karena, karena, di sayapku hanya ada Bunda. Tak ada dia," bisiknya kepadaku. Kepala mungilnya jatuh tertelungkup di pangkuanku. Ia tersedu.

Ombak pun membuncah. Amis bau ikan menguar. Matahari memanggang laut dan bumi. Burung-burung camar saling bercericit, gelisah terbang melintas di atas kami. Perahu-perahu menepi. Pasir pantai beterbangan. Menebar. Karang dan tebing menggeletar. Badai menghempas. Kedamaianku tercabik dan menggelepar.

Dengan jiwa gemetar, kubelai kepala mungilnya. Kubawa dalam kehangatan pelukan dan cintaku. Kuajak mata dan hatiku berlayar, jauh ke seberang. Ke sebuah keramaian dan hiruk-pikuk kota yang telah lebih delapan tahun kutinggalkan dengan diam-diam. Juga ke sebuah taman, di mana seekor burung pernah kaucampakkan.

Wajahmu pun melintas. Wajah yang selalu membangkitkan dendam, kemarahan dan kebencian.
Sekuat rasa, kubungkam dan kusembunyikan tangis dan luka yang setiap saat menggores hatiku. Kutatap lembut ia. Lalu kataku :

"Baiklah, sayang. Ayo sekarang kita terbang. Lihat, sayap Bunda juga patah. Telah ia buat patah. Ya, kita adalah burung bersayap patah. Tapi, kita akan terbang tinggi, meninggalkan tempat pengasingan ini. Ayo, sayang, bersiaplah."

Kugenggam tangan mungilnya. Menyatu. Lembut dan erat. Lalu dengan sekali hentakan, kuajak ia terbang. Beberapa saat, sayap kami yang patah membuat titik keseimbangan penerbangan kami tak berarah. Maka kugenggam lebih erat lagi tangan mungilnya. Menyatu. Lembut dan erat.

Dia tertawa-tawa. Bahagia. Menari-nari. Bertepuk tangan. Penuh suka cita. Menghentakkan kaki. Mengepakkan sayap patahnya. Sigap.

Kami pun terbang melesat. Tinggi. Semakin tinggi. Semakin pesat. Semakin melesat.
Ya, meski kami bagai burung bersayap patah, kami akan terbang tinggi. Semakin tinggi. Pesat. Dan melesat.      
                                                                    ***




+ Add Your Comment