Maria, Maria Hanya Maria



By: Nda Puteri Madhan


Siswa rambut rebonding dengan highlight berwarna kemerahan di bagian bawahnya itu Maria Kanazawa. Maria siswi pindahan dari SMK Internasional yang apabila ingin masuk ke sana harus melewati beberapa jalur tes superketat. Aku kurang mengetahui pasti apa alasan Maria rela pindah ke SMK kami yang sangat biasa ini. Dengan fasilitas seadanya, siswa yang sederhana, prestasi pun biasa-biasa saja, semua serba biasa. Tapi entah kenapa Maria masih tetap memilih sekolah ini. Sementara aku dan ketiga temanku, Diana, Salsa dan Echa selalu merasa kami terjebak disini.
Sabtu pagi yang lalu, ketika aku hadir ke sekolah jauh lebih awal dari biasanya, aku memergoki Maria tampak seperti roti selai yang sedang dikerumuni beberapa semut perempuan. Mengobrol apa mereka sepagi ini?  Kulihat Maria bercerita dengan semangat yang luar biasa. Sementara semut-semut perempuan yang baru kutahu dua hari kemudian merupakan siswa kelas satu, super antusias menyimak cerita Maria. Sesekali obrolan mereka dijeda dengan beberapa pertanyaan para semut perempuan. Awalnya aku ingin sekali ikut bergabung, tapi karena niatku datang lebih awal adalah untuk piket kelas, maka kusimpan saja keinginan itu. Toh, nantinya masih ada kesempatan buat mengobrol dengan Maria di kelas.
☻☻☻☻

Genap satu minggu Maria di sekolah ini, kulihat teman-temannya semakin banyak saja. Diana dan Echa yang awalnya tidak menyukai kehadiran Maria, sekarang lebih sering meninggalkanku sendirian di kelas demi menemani Maria nongkrong di kantin bersama ‘gerombolannya’. Salsa juga begitu, kemarin rambutnya yang lucu, keriting di mana-mana, hari ini disulap menjadi long hair yang super girly.
“Bagaimana, Virda? Apa komentarmu tentang penampilanku hari ini?” Salsa memamerkan rambutnya. Aku tersenyum. “Kamu tampak lebih cantik.” Aku tidak bisa berbohong karena Salsa memang tampak lebih cantik dengan rambut seperti itu. Mukanya tampak lebih ramping karena layer panjang yang dia pilih.
Salsa tertawa kecil “Saran Maria benar-benar ampuh ya. Sudah lebih dari lima orang yang mengatakan kalau penampilanku hari ini lebih cantik”.
Maria. Maria. Maria. Hanya Maria yang dibicarakan mereka. Di otakku  juga hanya Maria yang kupikirkan. Apa salahku  sehingga hari-hariku dikutuk dengan bayang-bayang Maria? Begitu luar biasanya perempuan itu bisa mengubah jati diri teman-temanku. Terlebih lagi Echa yang awalnya mengenakan kacamata minus empat, kini beralih ke contact lense. Sehingga bola matanya yang berwarna hitam tampak kecoklatan . Begitu indah, komentar teman-teman. Aku hanya mengiyakan saja dengan senyuman.
Diana juga seperti terhipnotis oleh seorang Maria. Akhir-akhir ini dia mulai datang terlambat demi mempermanis penampilannya. Bila kutanyakan bisakah datang seperti dulu tanpa telat? Diana selalu menjawab dengan beberapa jawaban yang berbeda. Di hari pertama dia hanya tersenyum seperti tanpa salah. Di hari kedua dia mengatakan dia masih datang seperti dulu hanya saja sedikit mengubah porsi waktu, waktu sarapannya dialihkan untuk menge-roll rambut lurusnya. Padahal aku berharap sekali kami bisa seperti biasanya menikmati sarapan pagi bersama sebelum bel berbunyi.
Dihari ketiga, Diana mengatakan kalau aku cewek basi yang pernah ada. Aku satu-satunya manusia di kelas ini yang tidak mau mengenal arti sebuah perubahan. Aku satu-satunya manusia yang menutup diri dengan Maria. Satu-satunya orang yang tidak menyukai Maria! Mendengar semua perkataan Diana yang tanpa jeda, perasaanku galau. Aku terpojok. Aku tidak terima dengan ucapannya itu tapi aku juga tidak mau hubunganku memburuk dengan teman seperjuanganku itu sejak awal masuk sekolah ini hanya karena seorang Maria.
Satu hal lagi yang membuatku ingin melakukan satu hal agar Maria dapat pergi dari kehidupanku dan teman-temanku, setelah dia kacaukan hubungan baikku dengan ketiga temanku, lalu aku dicap sebagai manusia aneh yang super gagu dan basi dengan moderenisasi, Maria membuatku terasing dan kebingungan setengah mati dengan keadaan ini.
Setiap hari, setiap Maria menghampiri otakku. Terkadang aku berkhayal menjadi Maria yang bak Miss Universe di sekolahku, lalu melayang-layang di awan, lalu ke bulan, lalu ke matahari dan di sanalah jasadku terbakar semu. Aku menangis, bingung dan kesal. Sebuah pertanyaan kuteriakkan begitu saja, mengapa Tuhan tidak adil?? Mengapa Tuhan tidak adil padaku?! Tanpa aku peduli bahwa semua orang mengatakan bahwa Tuhan Maha Adil. Namun tak berdaya aku tergugu, tak bergeming di atas perasaanku yang abstrak, kucoret-coret saja kertas putih seperti harimau mengoyak mangsanya.

☻☻☻☻

Di hari ke empat, secara tidak sengaja kutemukan ‘Dream Book’ Diana di loker mejanya. Iseng kubaca pada halaman 151.

Dir,
Kata Maria, sohib baru ku di awal semester ini, hidup adalah sebuah cerita yang berwarna. Hari baru adalah cerita baru. Harus selalu ada perubahan sekecil apapun. Berwarna karena kita remaja! Itu kata Maria. Setelah ku renungkan (seperti kata Virda Aulia sohib lamaku sejak Masa Orientasi yang selalu merenung demi melakukan satu tindakan) perkataan Maria amat sangat benar!! Dan ku yakini semua tips dan trik yang diceritakan Maria kemaren akan terlaksana sampai akhir smester…
1.      Memodifikasi penampilan
2.      Shopping weekend, wajib!
3.      Lahab habis ‘tabloid cewek gaul abis’
4.      Hang out bareng temend
5.      Gaul diinternet
6.      Punya selusin gebetan


Beberapa detik aku terdiam saja memegangi ‘Dream Book’ Diana. Aku tidak memikirkan satu hal pun, karena aku tidak tahu pengaruh Maria itu positif ataukah negatif bagi Diana. Yang aku pikirkan hanya satu nama di otakku. Maria, begitu hebatnya dirimu.
Dan hari ini, hatiku kian galau. Setelah satu bulan Maria mengacau hidupku dan teman-temanku. Hari ini untuk ketiga kalinya dia tidak masuk sekolah. Kursi di sudut ruang kelas itu tampak sunyi. Tak ada kerumunan semut perempuan menghampiri sepotong roti selai. Tak ada lagi obrolan dan canda tawa setiap pergantian jam. yang ada hanya bunyi detak jam dinding yang menghitung waktu seperti hitungan mundur yang mengerikan, 3, 2, 1…..
Iya, bukannya aku berbahagia dengan ketidakhadiran Maria di ruang kelas kami. Di sekolah kami yang sederhana ini, tapi aku takut Maria mendapati korban yang lain seperti Salsa, Diana dan Echa yang kini sangat berduka cita dengan target akhir semester di Dream Book mereka. Mungkin Maria salah. Mungkin juga benar. Tapi mungkin juga aku salah. Mungkin juga aku benar.
☻☻☻☻

+ Add Your Comment