CATTELYA (3) : RUMAH IMPIAN

By: Petra Shandi


Pagi yang indah.   Aku bersemangat sekali berangkat kerja hari ini.  Ada perasaan senang, bangga, puas, terkait dengan kesuksesan kami di Proyek Taman Cattelya. Aku yakin dengan banyaknya orang penting yang hadir kemarin akan berpengaruh ke perusahaan kami. Yah, semoga saja proyek baru  bernilai lebih besar akan kami dapatkan.
Aku sudah tiba di depan kantor, tak sengaja aku memandang Gedung Bank Mulya tepat di seberangku. Beberapa saat senyumku berkembang, ingat kencan dadakan kami semalam. Kira-kira Carla mengingatku tidak ya pagi ini? Atau aku telepon  saja? Tapi... Sial! Aku lupa minta no teleponnya.
Di Kantor suasana riuh sekali, banyak rekan kerja yang menyalamiku.
            "Bi...selamat ya?"
"Wei... jadi nih nanti malam kita makan makan."
"Bi .. ntar gue mau bikin rumah elu yang desain ya?” Dan banyak kata kata sambutan lainnya  saat aku memasuki ruangan. Aku tersenyum..
"Loh, ini kan hasil kerja keras kita. Bukan gue sendirian." Kataku.
Senangnya, semoga setiap hari suasana kantorku seriang ini. Tidak seperti beberapa bulan yang lalu, proyek Taman Cattelya buat kami seperti workaholic.
            Ryan memasuki ruanganku dia memandangku penuh kecurigaan
"Semalam kemana aja lu?" katanya, aku hanya tersenyum  tak menjawab pertanyaannya, biar saja dia bertanya-tanya sendiri.  "Lu ada kencan ya?" Senyumku semakin melebar. "Aaahh... sialan lu!" Lelaki itu tertawa..." Elu enak enakan, lah gue pusing setengah mati di Taman Cattelya cari-cari elu.."
"Alah, lu sendiri bisa atasi, ngapain juga nyari-nyari gue." Kataku sambil meyiapkan kopiku dekat dispenser. "Lagian ini kan proyek kantor, bukan proyek pribadi."
Tidak sengaja tatapanku tertuju ke jendela yang menghadap langsung ke arah gedung Bank Mulya.  Kembali aku tertegun.
"Wei.. itu bukan air panas, salah!" Aku tersadar...
" Ooops.." aku  ganti posisi cangkir kopiku ke bagian air panas.
"Kenapa sih elu? Kayak ada pikiran gitu?" aku tersenyum pada diriku sendiri.
"Elu tau gak kemarin gue jalan sama siapa?" Ryan menggelengkan kepala.
"Namanya Carla gue gak sengaja ketemu dia di acara kemarin," terangku.
"Terus?"
"Ya, kita akhirnya jalan, ,mkan  sama nonton." Ryan tertawa.
"Gila, jadi itu alasan elu ngilang kemarin? sialan lu!"
"Dia kerja di sebelah," kataku.
"Dimana? di Bank Mulya?" Aku mengangguk lalu menyeruput kopi ku.
"Wah dekat dong, jam istirahat suruh maen kesini gitu?" Aku menggeleng.
"Itu dia masalahnya, gue lupa minta nomor Handphone nya" Aku nyengir kuda.
"Haduuhh... bisa ya? Padahal menanyakan no telepon itu hal yg biasa, kok elu bisa lupa sih?"
"Elu gak tau sih gimana kondisinya kemaren. Boro-boro nanyain no Handphone gue aja kelimpungan nurutin maunya tuh cewek." Ryan menatap heran pertanda tidak mengerti. "Yah pokoknya tuh cewek unik, gak biasa, antara nyenengin dan jengkelin," aku tertawa. "Sedikit Hyper.." bisikku.
"Haa.. wow cewek kayak gitu bagus tuh di ranjang.." Ryan semakin antusias
Haduh mulai gak nyambung pembicaraan kami, aku bergegas meninggalkan ruanganku, biar  saja dia berceloteh sendirian.
            Benar juga, efek proyek Taman Cattelya mulai terasa hari ini. Telepon kantor dan Hanphone  berbunyi silih berganti tidak terkecuali aku,  beberapa klien menghubungiku langsung ke Handp Phoneku. Ada satu klien yang membuatku tertarik. Sepertinya dia pengusaha muda yang baru atau akan menikah. Dia memintaku dibuatkan desain rumah untuknya. Hm... rumah impian, begitu pun aku. Aku ingin segera membangun rumah impian untuk keluargaku kelak.
            "Bi..menurut elu gimana maket[1] desain rumah gue?" Ryan menghampiri dengan membawa maket rumah desainnya.  "Ini cocok mungkin ya buat klien kita?"
Aku memperhatikan  maket rumah sederhana nan modern itu.
"Minimalis?" aku mengernyitkan dahi.
"Yup, menurut gue orang kota kayak dia pasti milih rumah rumah bergaya minimalis seperti ini," terangnya.
Aku membandingkan dengan maket desain rumahku sendiri. Sengaja desainku bergaya Art Deco, sedikit mewah sih tapi aku suka desain desain rumah gaya eropa jaman dulu.
"Menurut elu gimana desain rumah gue?"
"Sudah lah, itukan rumah impian elu, jangan diberikan ke orang lain," katanya. Aku tersenyum, memang benar rumah ini adalah rumah impianku, rumah yang suatu saat nanti akan kuberikan pada seorang wanita yang merenggut hatiku hingga ke akar-akarnya.
"Kapan kita ketemu klien kita itu?" tanyaku.
"Rencananya besok dia mau ke sini, sengaja sekalian jenguk calon istrinya,"
Aku mengangguk tanda mengerti.

Tidak terasa waktu sudah menunjuk ke arah jam makan siang.   Aku masih tenggelam dengan pekerjaanku.
"Bi ... ada tamu tuh," kata temanku.
"Siapa? klien gue?" Tumben ada klien datang, biasanya aku sendiri yang ketemu langsung mereka di luar.
"Kayaknya bukan, ini cewek." Hah? Perempuan? Aku bergegas ke ruangan depan.

"Selamat siang."
"Arbi!!!" suaranya menggegerkan karyawan seisi kantor.
"Carla!" aku tersenyum, senang sekali melihat wajahnya, cantik, segar, menyegarkan hariku.
"Sengaja aku datang, pingin ajak makan siang," katanya.
"Owh... sudah masuk jam makan siang ya?" kataku.
Karena permintaan Carla kami memesan delivery service untuk makan siang kami. Dia ingin melihat kantorku dan segala kesibukannya di sini.
"Banyak mainan rumah-rumahan ya di sini? " candanya itu membuat aku tersenyum.
"Yah gitulah kerjaan kita, bikin rumah-rumahan buat dibangun jadi rumah beneran." Carla terus saja melihat lihat beberapa maket di ruanganku.
"Ih ini bagus sekali." Katanya saat menunjuk desain milik Ryan. "Buatan kamu?"
"Nope" aku menggelengkan kepala." ini desain kawan aku, Ryan." Carla mengangguk.
"Kalo yang ini gimana? Kuperlihatkan desain rumah impianku." Carla memperhatikan desain rumahku.

+ Add Your Comment