KUPINANG ENGKAU DENGAN AR-RAHMAN

By: Sabil Ananda



Idealnya persiapan pernikahan minimal tiga sampai enam bulan, tapi tidak dengan pernikahanku. Awal ta’aruf ia meminta penikahan berlangsung seminggu saja dari prosesi lamaran. Namun ayah dan keluarga tidak setuju sama sekali, mengingat aku anak sulung dari delapan bersaudara, belum pernah ada yang menikah dan agar tak terjadi fitnah di masyarakat nantinya.

Ayah menyarankan idealnya, ia meminta untuk disegerakan, apalagi menikah merupakan kebaikan untuk menyempurnakan sebagian iman. Acara lamaran dilaksanakan sabtu, 29 Agustus 2008, senangnya tak bisa terlukiskan, kesepakatan yang tercapai pernikahanku dilangsungkan sebulan dari sekarang. Keesokan hari kami bersama keluargaku pergi mencari masjid untuk akad nikah dan At-tin yang kupilih sebagai tempat ijab kabul.

Seperti tak ada waktu untuk menunggu mempersiapkan segalanya, seharian penuh kami berkeliling mencari tetek bengek lainnya, karena hari kosong di masjid At-tin adalah tanggal 24 September, tak sampai sebulan. Lumayan hasilnya, meski baru beberapa saja. Ia memutuskan memberi kepercayaan penuh pada keluargaku untuk mengurus, malamnya harus segera pamit untuk pulang ke Kendari memberi tahu kabar gembira ini dan mempersiapkan keluarga di sana.

Relung batinku tiba-tiba terasa hampa, merasa kehilangan yang amat berarti, entah apa.


Padahal, baru saja aku mengenalnya melalui ta’aruf, baru saja kami sibuk mempersiapakan ini itu, baru saja aku merasa bahagia dan deg-degan, tapi mendengarnya pergi perasaan rindu menyelinap masuk tanpa permisi. Apa ini yang dinamakan cinta? Apa ini rasanya jatuh cinta layaknya anak ABG?

Indah.. Sungguh, belum pernah aku merasakannya, sebab aku ingin menjaga kesucianku untuk
suamiku kelak. Beruntungnya aku tak pernah pacaran dan merasakan debaran begitu hebatnya untuk satu-satunya orang terpilih dari Allah untukku. Ah, tak ingin aku melupakan momen penting ini, akan kujaga perasaan yang begitu membahana di seluruh tubuh.

***

Gemuruh suara hati bukan main memporak-porandakan ketenanganku, sejak terdengar derit pagar yang dibuka oleh seseorang. Segera kulangkahkan kaki melihat tamu yang datang, memang kami menunggu kedatangan tamu dari jauh. Dua orang lelaki yang datang dan salah satunya kukenal dengan baik, beliau adalah suami dari dosenku saat kuliah dulu. Seorang lagi membuat ketidakwajaran berguyur dalam gemetar yang sangat hebat dan detak jantung lebih cepat dua kali.

Bukan membuka pintu mempersilakan mereka masuk, aku malah berlari ke dalam kamar Murabbiku, mba Dewi. Nafasku tidak karuan, keringat yang bercucuran dan pucatnya wajah membuat bingung mba Dewi melihat kedatanganku.

“Ting Tong, Assalamualaikum..” bunyi bel masuk.
Kontan mba Dewi bergegas melihat siapa yang datang, masih dalam keadaan tak menentu hati ini bukan main kacaunya.

“Masih ingin terus di dalam kamar nih? Tamu yang ditunggu sudah datang lho!” goda mba Dewi mengusir ketakutanku.

Di ruang tamu, kami berempat duduk dalam diam. Makcomblang (Pak Deni) memulai sesi perkenalan ta’aruf memecah keheningan, beliaulah yang mengenalkanku dengan ikhwan di sebrang meja. Saat ta’aruf berlangsung 2,5 jam, pertanyaan demi pertanyaan saling diajukan dan saling menilai. Termasuk menilai sosoknya di mataku, sederhana dan biasa saja. Tak ada hal yang biasa kutemui seperti ta’aruf sebelumnya, tak ada dari sisinya yang ingin ditonjolkan, semua tampak begitu alami.

Jika harus kugambarkan secara detail, masih hafal di luar kepala penampilannya saat itu. Namanya Syaiful Putra, anak ke-4 dari enam bersaudara, satu-satunya lelaki dalam keluarga dan yang belum menikah. Visi dan misi berrumah tangga juga diungkapkan, rasanya waktu begitu cepat berlalu, ada yang menelusup dalam kalbu entah apa. Sepertinya tadi beliau mengerlingkan mata pada sang calon dan deg-degan itu terasa kembali.

“Bu Emma bagaimana kalau malam ini kami berkunjung ke rumah untuk mengenal keluarga Ibu lebih akrab?” tanya pak Utsman.

“Boleh, silakan saja Pak,” jawabku spontan tanpa berpikir dulu seperti biasanya. Padahal, sebelum-sebelum ini jika ada yang ingin ta’aruf lebih jauh aku meminta waktu dua hingga tiga hari untuk pertimbangan.

“Apa ini yang dinamakan “klik” seperti cerita teman-temanku yang sudah menikah? Kenapa degup jantung semakin cepat dan pipiku semakin bersemu merah?” batinku.

***

Derai air mata yang mengalir di pelupuk mata begitu tak tertahankan, membasahi kegersangan batinku selama ini. Alhamulillah, imanku sudah sempurna saat dilafalkannya surat Ar-rahman oleh sosok yang selama ini kunantikan, imam kehidupanku kelak. 78 ayat mengalun syahdu saat prosesi akad nikahku pagi ini, sebagai mahar yang kupinta darinya.

Tak hanya aku yang merasakan getaran yang begitu dahsyat dalam kalbu, bahkan Anna, adik terkecilku, mendengar surat Ar-rahman bulir-bulir di sudut mata jatuh dengan pasrah. Atmofer rahman dan rahim-Nya mengikat kalbu semua yang menyaksikan dan mendengarnya. Imamku tak keberatan sama sekali memberikan mahar yang dipinta, hanya gurat kebahagiaan yang terpancar dari wajah saat melafalkannya.

Bahagianya aku menyayangi-Mu ya Rabb..
Mengingat semua itu hanya bisa mengucap syukur, kini tiga buah hatiku sudah tumbuh semakin cerdas, mereka menjadi permata hati yang terus terasah dengan keimanan pada-Mu ya Rabb. Bukti rasa syukurku telah engkau satukan kami dalam ikatan nan suci yang Engkau ridhoi.


Sabil Ananda (seperti yang diceritakan kakak pertamaku, Emma)

Oops! there was only one comment.. come on speak up!

  1. niatku untuk meminag dia sudah pudar dan ga tau bisa kembali lagi seperti dulu atau tidak.

    Dia sekarang lebih milih mantannya yang dulu daripada aku yang hammpir 2 tahun bersamannya, aku mati-matin untuk minta maaf dan ingin merubah semua kelakuannku untuk minta maaf tapi tidak bisa.

+ Add Your Comment