TREESHREW

By: Erlinda Jilly Madhan



Tectona grandis berjajar di sepanjang jalan setapak menuju sebuah dusun. Tubuh mereka yang besar dan lurus dapat tumbuh mencapai tinggi 30-40 meter. Mungkin karena itu aku kurang menyukai bermain-main di sana, terlalu tinggi. Seperti kata manusia, sepandai-pandainya tupai melompat, pasti akan jatuh juga. Sebenarnya akulah tupai terbodoh, aku takut ketinggian sehingga perumpamaan manusia itu menjadi nyata.

Daun-daun kering berhamburan tertiup oleh angin. Aku masih duduk termenung di dahan pohon rengas. Di seberangku, ada sebuah dusun kecil, Pagar Jati namanya. Aku sangat menikmati pemandangan di hadapanku, perahu warga dusun yang hilir mudik dari talang ke dusun atau dari dusun ke talang. Ini adalah panorama khas sungai Benakat yang melingkar di sepanjang dusun Pagar Jati di siang hari. Beberapa kerbau berendam di bagian sungai yang landai, berpasir putih seperti pantai dan surut tanpa takut ada buaya yang melahap mereka.

Menurut mitologi para tetuah dusun, setiap tahunnya akan muncul kuda nil yang mereka sebut gajah mine di bawah pohon rengas tempat aku bernaung ini. Itu pertanda akan ada seseorang yang meninggal karena dilahap buaya putih. Meskipun itu hanya mitos, semua warga mempercayainya karena hal itu sering terjadi.

Bila sore hari, aku bisa melihat sekelompok gadis dusun yang turun ke bong untuk mandi. Bong adalah tempat mandi sekaligus toilet yang mirip rakit terbuat dari papan dan diikat dengan tali tambang ke sebuah pohon di tepi sungai. Bong ini akan hanyut ke tengah sungai bila air sungai sedang deras. Maka akan berteriaklah para gadis itu. Lalu, seseorang dari mereka memberanikan diri menarik tali tambang hingga kembali mendekati tangga.
Siang yang terik ini terasa sangat sejuk dengan hembusan semilir angin sungai. Beberapa tangkai buah rambutan seolah ingin melepaskan diri dari rantingnya, terombang-ambing oleh tiupan angin.



“Moliii!” teriakan Selly mengagetkanku. Adikku itu memang suka mengagetkanku. Dia muncul dari balik pohon perdu yang rimbun membawa sekeranjang buah kopi dan setoples semut ganggang yang sering bergerombol di pohon jambu air.
“Ini untukmu,” dia menyerahkan setoples semut kepadaku. Aku tersenyum. Siang hari memang sangat pas menikmati camilan serangga kemerahan ini. Ini merupakan makanan favoritku. Apalagi kalau ada sup laba-laba dan keripik lalat pedas. Selly sering menjulukiku kantong semar bocor karena aku terlalu lahap mengkonsumsi berbagai serangga. Sedangkan Selly, dia lebih suka menikmati buah kopi.
“Terima kasih, Selly. Kebetulan aku sedang lapar.” Selly tersenyum manis, memperlihatkan deretan giginya yang seperti biji ketimun. Aku baru menyadari kalau Selly adalah gadis tupai gunung yang sangat cantik.

Bulunya yang lembut berwarna hijau khaki berpadu dengan bintik-bintik kemerahan halus. Tubuh bagian bawahnya merah bungalan dengan bulu bagian dalam abu-abu. Dia seperti menggenakan gaun bermotif polcadotte. Sungguh tupai gunung yang cantik!
Berbeda denganku yang hanya memiliki satu warna di tubuhku, coklat tua. Aku pasrah ketika orang-orang saling menyamakan aku dengan bajing, padahal tupai dan bajing kekerabatannya jauh berbeda. Tupai masuk dalam bangsa insektivora, sedangkan bajing termasuk rodentia atau hewan pengerat, lebih mirip tikus.

Sebenarnya Selly bukan adik kandungku. Beberapa bulan yang lalu, Selly dan ibunya tersesat di hutan jati dan diserang sekelompok anak dusun dengan ketapel andalannya. Dengan sigap aku berusaha menyelamatkan mereka. Tapi sayang, ibu Selly terpeleset dan jatuh dari atas pohon ketika hendak melompat dari satu pohon ke pohon lain. Sekelompok anak itu mengerumuninya lalu memasukkan ke dalam karung. Meskipun ibu Selly masih terus memberontak, semua usahanya sia-sia. Aku dan Selly hanya bisa melihat karung itu dipikul anak dusun dan dibawa pergi entah kemana.

Selly menangis. Aku tahu dia sangat kehilangan ibunya. Tapi apa yang bisa kuperbuat selain menghiburnya. Lambat laun dia bisa melupakan kesedihannya. Sekarang aku menganggap dia seperti adikku sendiri, melindunginya dan mengayominya.

Pluuuukkk
Sebutir buah kenari menghantam kepala Selly.
“Aw!” dia meringgis
“Kamu tidak apa-apa, Selly?” tanyaku. Aku mengusap kepalanya pelan. Tidak ada benjolan, hanya sedikit memerah. Selly memandang ke atas.
“Ini pohon apa, sih? Sakit, nih.” Selly menunjuk jidatnya. “Untung buahnya kecil,” dia memungut buah kenari. Lalu memperhatikannya dengan seksama. Seolah berkata, inikan buah kenari?
“Ini pohon rengas, Selly. Bukan pohon kenari.” jawabku.
“Terus buah kenari ini darimana?” Selly mendekatkan buah kenari ke wajahku. Aku langsung teringat Billy dengan kacamata minusnya.
“Mungkin itu ulah Billy. Dia kan suka menjahilimu,” kataku menduga-duga. Billy adalah tupai tanah yang tampan tapi nakal. Dia sering menggoda Selly dan gemar menjahiliku.
Aku dan Selly melihat ke sekeliling pohon rengas. Tidak ada Billy di sini. Mungkin Billy bersembunyi. Billy dikenal pandai melompat dari satu pohon ke pohon yang lain tanpa butuh menarik napas, seperti olahraga parkour yang pernah kulihat di kota. Padahal Billy hanya seekor tupai tanah dengan kacamata minus yang tebal.

Pluukk….
Buah kenari kembali mengenai kepala Selly.
“Aww, sakit!” teriak Selly. Aku menjadi kesal.
“Hei, Billy! Kalau kau berani, hadapi aku secara jantan.” Bukannya bertambah tegang, tapi Selly menertawakanku.
“Kau bukan jantan, Molly. Kau tupai perempuan yang lembut hati.” Aku ikut terkekeh.
Pluukkk….
Untuk ketiga kalinya buah kenari dilemparkan ke arah kami. Kali ini tepat mengenai jidatku. Kalau saja buah itu sebesar buah pinang, mungkin aku sudah jatuh pingsan.
“Brengsek!” umpatku. “Billy! Kami tidak suka leluconmu,” aku mulai naik pitam. Selly merapikan poniku yang berantakkan.
“Kau tidak apa-apa, Molly?” tanyanya. Aku menggeleng.

Pluukkk….pluuukkkk…
Buah kenari bertubi-tubi menghujani tubuh kami. Selly mengerang kesakitan.
“Billy! Hentikan!” teriakku. Buah kenari terus menghujani kami. Tubuhku terasa ngiluh.
“Selly, tiarapp!!” suara Billy mengejutkan kami. Billy menyembulkan kepalanya dari semak-semak. Mataku membulat. Ternyata bukan Billy yang melempari kami. Anak-anak itu! Aku melihat sekelompok anak dusun dengan ketapelnya mendekat. Tanpa henti mereka menembakkan buah kenari dengan ketapel.
Aku memeluk Selly, mencoba melindungi. Dia terlihat sangat tak berdaya. Dedauan pohon rengas tidak cukup melindungi kami. Lalu aku berusaha menggendong Selly, ingin membawanya pergi dari pohon rengas. Ternyata aku tidak cukup kuat untuk menahan berat tubuh Selly.
“Billy, tolong kami!” teriakku. Billy naik ke atas pohon rengas, membantuku menyelamatkan Selly. Sementara buah kenari masih menghujani kami.
“Molly, cepat lari. Biar aku yang mengendong Selly,” kata Billy. Aku melihat ke sekeliling, hanya ada pepohonan jati. Aku bergidik. Tidak, aku tidak bisa! batinku.
“Molly, apa yang kau pikirkan? Ayo, lompat! Kita tidak punya banyak waktu.” kata Billy dengan suara baritonnya.
“Aku tidak bisa, Bil.” kataku.
“Kita tidak punya banyak waktu, Mol. Mereka semakin mendekat. Apa kamu mau nasib kita seperti para ibu kita?” Billy terlihat menahan amarah. Aku memandang Selly yang semakin melemah. Gadis kecilku yang malang, batinku. Aku tidak ingin dia menjadi korban seperti ibunya dan ibu-ibu kami yang ditangkap para anak dusun, lalu dibawa pergi entah kemana.
“Cepat Molly!” Billy mendesakku. Aku melompat ke atas pohon jati. Dari satu dahan ke dahan dengan berhati-hati. Tapi anak-anak itu seakan tak pernah lelah membidik kami, pluukkk….pluukkk… buah kenari mengenai kami. Aku harus bertahan, gumamku.
“Molly!” teriak Billy. Oh tidak! Kacamata Billy jatuh dan dia terpeleset.
“Molly, tolong kami.” Billy ketakutan. Satu tangannya berpegang erat pada dahan jati sedangkan Selly masih di punggungnya tak sadarkan diri.
“Tenang Billy, aku akan menolong kalian.” teriakku. Aku turun menuju dahan tempat Billy dan Selly bertahan. Aku bergidik ketika melihat ke bawah, ternyata pohon ini cukup tinggi. Anak-anak sudah siap siaga di bawah pohon dengan sebuah karung besar seperti menunggu detik-detik emas jatuh dari langit.
“Cepat, Molly. Aku sudah tidak kuat,” suara Billy melemah.
“Bertahanlah,” aku menyemangati.
“Molly, cepat!” ulangnya. Aku mengulurkan tanganku pada Billy.
“Billy, ayo berpegang dengan tanganku! Billy menggapai-gapai jemariku. Dia terlihat gagu tanpa kacamatanya. Kudekatkan tanganku, kudekatkan dan kudekatkan terus. Dia hampir meraihnya, lalu……….
Bluuukkk….. keduanya terjatuh. Suara tawa anak-anak dusun itu bergema. Seketika tubuhku melemah. Aku gagal lagi. Bahkan kali ini aku gagal menyelamatkan keduanya. Mereka pergi menjauh, meninggalkanku dan membawa Billy dan Selly.
***

Aku menyembulkan kepalaku dari keranjang buah rambutan yang telah kosong. Selembar daun rambutan menutupi mataku. Aku dimana? batinku. Aku ingat, tadi pagi aku berhasil mengikuti sekelompok anak dusun yang menculik Billy dan Selly.
Setelah terlibat obrolan panjang, mereka menyerahkan Billy dan Selly kepada seorang laki-laki berjaket kulit hitam dan berkacamata hitam di sebuah Kalangan Kamis. Oh, tidak! Dia Jafar yang merawatku dulu. Kulihat Jafar menyerahkan sejumlah uang kepada seorang anak.

“Masih hidup, bos.” kata anak itu.
“Bagiku hidup atau mati tidak masalah.” Jafar memasukkan karung ke dalam bagasi mobilnya. Aku yakin ada Selly dan Billy di dalamnya. Beberapa menit kemudian Jafar telah melaju dengan mobilnya.
“Hati-hati, bos!” teriak anak dusun bersamaan. Lalu diiringi gelak tawa bahagia mereka.
Aku harus mengikutinya, tekatku. Buru-buru aku masuk ke dalam keranjang rambutan di sebuah motor yang ada di sampingku. Aku tahu motor yang memiliki dua keranjang gandeng di kiri kanan joknya itu akan dibawa ke pasar besar yang ada di kota.
Sekarang aku telah sampai di kota. Aku melompat dari keranjang buah. Aku mau kemana? pikirku. Aku mulai kebingungan dengan suasana pasar yang dipadati berbagai jenis manusia.

“Dimana kalian?” gumamku. Aku mulai putus asa. Rasanya sangat tidak mungkin bisa menemukan Selly dan Billy di sini. Dulu aku pernah tinggal di kota, hanya sebulan. Aku dirawat oleh Jafar karena ekorku terlindas mobilnya. Tidak parah, tapi dia memutuskan membawaku ke rumahnya. Awalnya aku sangat senang bisa dirawatnya karena kukira dia penyuka binatang. Rumahnya dipenuhi berbagai jenis binatang. Tapi ternyata aku salah, aku hanya dimanfaatkan oleh Jafar. Dia akan menjualku. Tanpa pikir panjang, aku kabur dengan menyelinap ke dalam bagasi mobilnya ketika dia hendak ke Kalangan Kamis dan kembali ke asalku tepi sungai Benakat yang selalu mengundang rindu.

Byuuuurr….
Tubuhku disiram air beraroma anyir menyengat. Seorang perempuan bongsor berteriak.
“Lari kau, tikus busuk!” suara menggelegarnya membuatku lari terbirit-birit. Aku tidak melakukan apa-apa, aku hanya menumpang tidur di antara tumpukkan buah dukunya. Sebutirpun aku tidak memakannya.
“Dasar tikus curut!” umpatnya.
“Aku bukan tikus!” teriakku berulang kali. Percuma, dia tidak mengerti bahasaku.
Aku terus berlari dengan tubuh yang basah. Bulu-buluku terlihat sangat menjijikkan. Aku tidak pernah seburuk ini. Tiga hari aku tidak membersihkan diri.
“Aaaaarrrghh…” puluhan buah mangga menggelinding. Aku telah menabrak tumpukkan mangga yang tersusun rapi.
“Oh, tidak!” sebuah mangga menghantam tubuhku. Lalu sebuah tangan menarik telingaku.
“Tikus cecurut!” Blukkk, dia melemparku begitu saja ke atas tumpukkan sampah.
Ppsssstttt…” aku menutup hidung. Aroma sampah organik yang membusuk menusuk-nusuk penciumanku.

Miaaww……
Aku kaget, hampir saja aku terpelanting masuk ke dalam parit. Ternyata seekor kucing jantan.
Miaaww……..miaaawww…..
Matanya menatapku tajam. Aku tahu dia ingin menerkamku.
 “Kenapa? Kau ingin menggigitku? Silahkan! Silahkan gigit.” kataku pasrah. Pikirku, mungkin ini cara untuk menebus kesalahanku pada Selly dan Billy.
“Kamu kenapa?” tiba-tiba wajah garangnya berubah sangat manis, membuatku bertambah kaget.
“Kau bisa bercerita denganku. Mungkin aku bisa membantu.” Aku menatapnya nanar. Tawarannya sangat berarti di saat seperti ini. Aku menceritakan semuanya, tentang peristiwa aku, Selly dan Billy alami.
Tanpa kuduga, dia merangkulku. Aku menangis haru, dia juga ikut menangis. Katanya, dia merindukan keluarganya yang hilang entah kemana.
“Baiklah, aku akan menolongmu, Molly. Aku tahu sebuah tempat penjualan hewan illegal di sekitar sini.” kata Boy, si kucing jantan.
“Ayo! Ikuti aku, Molly.” dia berlarian. Aku mengikutinya.
***

Aku menangis, rasa bersalahku sudah tidak dapat dibendug lagi. Kata Boy, aku terlambat beberapa hari. Andai saja aku masuk ke tumpukkan sampah lebih cepat, mungkin Boy akan mempertemukkan aku dngan Selly dan Billy.
Berulang kali aku memastikan kalau yang terpajang di etalase itu bukan Selly dan Billy. Tubuh mereka telah kaku tak bernyawa.
“Mereka telah diawetkan, Mol.” kata Boy pelan. Dia mengusap air mataku.
“Perjalanan hidup kita masih panjang,” kata Boy kemudian.
“Moving on, tupai manis!” Boy tersenyum untukku. Satu-satunya yang mempercayaiku seekor tupai dipertemuan pertama….
***

Keterangan
Tectona Grandis  :   nama ilmiah pohon jati.
Talang               :  ladang
Treesrhew          :  tupai, yang arti harfiahnya cerurut pohon (tree pohon, shrew cerurut) meskipun tidak semuanya hidup di pohon (arboreal)

+ Add Your Comment