MANUSIA KELELAWAR

By: Muhammad Arif Budiman



Semenjak aku ditugaskan untuk mengajar mata pelajaran kesenian, aku telah mencium bakatnya. Ia berbeda dengan teman-temannya. Anak laki-laki itu teramat istimewa bagiku karena ia hanya memiliki satu buah telapak tangan yaitu bagian kanan. Alfat kerap kali menggambar manusia kelelawar dalam setiap gambarnya. Pernah suatu pagi ketika pelajaran menggambar, aku bertanya dengan nada basa-basi.
“Alfat, kamu menggambar apa, Nak?”
“Manusia kampret, Pak.” Dengan senyum lebar, ia mengatakan manusia kelalawar dengan sebutan manusia kampret. Aku pun hanya tersenyum.
Disaat imajinasi teman-temannya masih berkutat pada pemandangan alam; gunung, sungai, sawah, dan laut, ia lebih suka menggambar manusia kelelawar. Namun manusia kelelawar yang ia gambar bukanlah super hero semacam Batman seperti yang ada di tv-tv. Yang ia gambar murni tubuh manusia, hanya saja berkepala kelelawar.
Ia anak yang unik. Terkadang ketika jam istirahat tiba, ia tak pergi ke warung jajan seperti teman-temannya. Ia memilih makan makanan yang ia bawa dari rumah. Tak jarang ia membawa jambu, pisang, pepaya yang telah dipotong-potong, dan biasanya ia juga berbagi dengan teman-temannya. Ah, ia benar-benar anak yang istimewa.

***

Pada mulanya aku tak begitu memperhatikan tentang kepribadiannya yang suka terhadap kelelawar. Namun setelah beberapa bulan aku mengajar di kelasnya, aku mulai menemukan jawabannya. Hampir disetiap buku miliknya, ia gambar manusia kelelawar. Namun untuk mencari jawaban yang lebih pasti, pada suatu pagi ketika jam istirahat tiba, aku menemuinya di ruang guru.
“Kamu menggambar kampret lagi, Alfat.” Tanyaku dengan tersenyum.
“Iya, Pak Guru.”
“Kenapa? Bukankah Bapak tadi menyuruh kalian untuk menggambar pemandangan alam?”
“Entahlah, Pak. Saya tak bisa menggambar pemandangan alam. Bisanya hanya menggambar itu.”
“Mengapa kamu selalu menggambar itu?”
“Karena manusia kelelawar itu yang kerap datang dan menyelinap ke rumah saya pada malam hari, Pak.”
“Benarkah? Kamu melihatnya?” Ia mengangguk.
“Biasanya Emak yang membukakan jendela untuknya, disaat saya telah terlelap tidur. Manusia kelelawar itu masuk melalui jendela dan langsung menyelinap ke kamar Emak.”
“Lantas, apa yang mereka lakukan?”
“Entahlah, Pak. Terkadang saya terbangun dan hanya mendengar mereka sedang berbincang. Ketika menjelang pagi, ia pergi entah kemana.”
“Kamu sempat menemuinya?” Ia menggeleng.
“Kenapa?”
“Saya takut, Pak”
“Lantas mengapa kamu menyimpulkan bahwa ia adalah manusia kelelawar?”
“Pernah suatu malam saya melihatnya, Pak. Ketika itu saya belum terlelap tidur. Ia datang melalui jendela dan mengenakan jubah kain sarung. Saya lihat sekilas wajahnya sangat buruk. Buruk sekali. Wajahnya hitam dan gosong, matanya merah, dan mulut nya manyun seperti kelelawar.”
Kini aku mengerti mengapa ia selalu menggambar manusia kelelawar. Rupanya ada rahasia di balik semua itu. Meski jarak rumahku dengan rumahnya tak terlampau jauh, namun aku tak begitu paham dengan seluk-beluk keluarganya, juga perkembangan kampungku karena hampir tujuh tahun aku tak berada di rumah.
***

Tak seperti biasanya malam ini aku ingin pergi ke masjid. Biasanya aku lebih kerap sembahyang isya di rumah. Meski jarak masjid lumayan jauh, namun keinginan hatiku untuk pergi ke masjid tak dapat dibendung lagi. Selesai sembahyang isya, aku tak bergegas pulang dan memilih untuk duduk-duduk di teras masjid. Aku terkaget ketika sesosok bayangan laki-laki dengan jubah kain sarung dengan langkah cepat menyelinap ke rumah Alfat yang jaraknya hanya tiga rumah dari masjid. Laki-laki itu secepat kilat dan menghilang di balik jendela. Angin malam itu membawa aroma tubuhnya yang tengik hingga menusuk hidungku. Batinku bertanya; apakah laki-laki itu yang diceritakan Alfat?
Jam dinding di masjid menunjukkan angka sepuluh. Setelah menunggu lama, bayangan laki-laki itu tak kunjung keluar dari rumah Alfat, maka kuputuskan untuk pulang. Dalam perjalanan pulang, kucium aroma kopi tubruk dari kedai Mbok Darmi. Aku tergiur aroma kopi itu dan kuputuskan untuk mampir. Ternyata di sana masih ada Wak Bisri dan Kang Karto yang sedang asyik berbincang. Aku pun bergabung dengan mereka dan memesan segelas kopi.
Di sela-sela perbincangan kami, kuberanikan diri untuk bertanya seputar keluarga Alfat. Tanpa sungkan, Wak Bisri pun menceritakan dengan gamblang. Katanya, Amat, Bapaknya Alfat dahulu adalah seorang pedagang kelontong yang sukses. Barang dagangannya selalu laris karena hampir sebagian besar warung-warung kecil di desa kami kulak di warungnya. Namun konon kesuksesan itu berkat ia mengambil modal besar dengan berhutang pada seorang rentenir. Maka hampir tiap awal bulan pasti datang beberapa orang debt collector untuk menagih hutang padanya.
            Namun petaka datang padanya kira-kira tiga tahun silam. Kala itu usahanya mulai limbung. Banyak orang yang berhutang dagangan padanya, namun tak kunjung membayar. Dan pada akhirnya ia yang terkena imbasnya. Setelah beberapa bulan menunggak pembayaran hutang, rentenir itu kehilangan kesabaran.
Pada suatu malam. Saat itu hujan seharian tak ada tanda-tanda reda. Menurut keterangan istrinya Amat. Rentenir itu datang bersama empat anak buahnya. Tentu saja kedatangannya dengan tujuan untuk menagih hutang. Karena Amat tak punya uang, ia hanya memberi janji-janji saja. Namun kesabaran rentenir itu telah habis. Ia menyuruh anak buahnya untuk menghajar Amat hingga babak belur.
Setelah Amat tak berdaya,  lantas rentenir itu menyiram tubuh Amat dengan bensin dan tanpa ampun menyulutnya dengan korek api. Tak ayal, tubuhnya langsung terbakar. Dalam kekalutan itu, Amat berlari menuju halaman rumah. Beruntung hujan masih turun deras dan halam rumah tergenang air. Ia pun langsung menggulingkan diri hingga api yang membakar tubuhnya padam. Setelah api padam, ia bergegas melarikan diri dan menghilang dikegelapan malam.
Semenjak peristiwa itu, Amat tak terdengar kabar beritanya. Sebagian orang mengatakan ia telah mati. Sebagian lagi mengatakan ia masih hidup dan sekarang bersembunyi disebuah gua di dalam hutan. Orang-orang menyebutnya gua lawa atau gua kelelawar karena di sana merupakan sarang berbagai jenis kelelawar.
***

Entahlah. Pagi ini aku merasakan ada hal yang berbeda. Sepintas aku mengalami de javu. Tapi kapan? Kurasakan jantung ini terus berdegup kencang. Mumpung hari libur, pagi ini putuskan untuk pergi ke hutan untuk mencari keberadaan gua itu. Rupanya rasa penasaranku tentang Kang Amat, telah menuntunku untuk menemukan tempat persembunyiannya.
Berbekal dari cerita Wak Bisri, aku melintasi kebun warga serta menyusuri beberapa anak sungai untuk sampai ke hutan. Setelah sampai di tepian hutan, kulihat dikejauhan ada sebuah lubang besar yang menganga pada tebing batu. Aku simpulkan lubang besar itu adalah gua lawa seperti yang disebutkan Wak Bisri. Namun niatku untuk menuju gua itu aku urungkan. Untuk mencapai ke sana, aku harus menerobos rimbunnya semak-semak hutan dan menyeberangi beberapa anak sungai lagi yang cukup dalam. Maka, kuputuskan untuk pulang.
***

Pagi ini aku mengajar di kelas Alfat. Ah, anak itu. Aku berharap ketika ia mengumpulkan PR menggambar yang kuberikan padanya, ia akan menggambar dengan topik yang berbeda.
Tiba saatnya untuk mengumpulkan hasil gambar. Satu persatu anak kupanggil untuk memperlihatkan hasil karyanya. Alfat mendapat giliran pertama. Ia menunjukkan hasil gambarnya yang kali ini berbeda. Ia tak lagi menggambar manusia dengan wajah kelelawar. Ia menggambar dirinya sendiri yang sedang berpelukan dengan seorang laki-laki berjubah sarung dan berwajah tampan.
“Kamu bertemu dengannya?” tanyaku dengan nada penasaran.
“Saya membuntuti Emak dua hari yang lalu.” Jawabnya.
“Kamu memeluknya?”
“Tidak. Saya melihatnya dari kejauhan.”
“Dan kamu ketahuan?” Ia mengangguk.
“Tapi saya berlari pulang.”
“Ya sudah. Kamu boleh duduk.”
Aku iba dengannya. Rupanya ia sangat rindu dengan sosok Bapak yang telah lama pergi dari pelukannya.
***

Malam ini bulan separuh indah sekali. Kuputuskan untuk duduk-duduk di teras rumah. Kudengar cericit kelelawar berebut jambu biji di atas dahan. Seekor kucing belang berlari mengejar tikus sawah yang muncul di jalan. Bunyi jangkrik yang tak putus-putusnya mengerik. Semuanya membuat hatiku terhibur. Namun suasana mendadak berubah ketika sesosok bayangan hitam muncul secara tiba-tiba dari balik pagar tembok.
“Mas Budi.” Ia menyapa. Aku terperanjat.
Sampean lupa dengan saya ya?” tanya bayangan itu. Kemudian bayangan itu mendekat.
Sampean siapa?” tanyaku.
“Aku Bapaknya Alfat.”
“Kang Amat?”
            “Iya, Mas. Saya Amat.”
Kami pun bersalaman. Ia langsung duduk di sampingku. Aroma tengik langsung menusuk hidungku, persis seperti ketika malam itu aku melihatnya menyelinap ke rumahnya.
“Jadi benar kata orang-orang bahwa sampean itu masih hidup?”
“Iya, Mas. Setelah malam pembakaran saya yang dilakukan rentenir itu, saya memilih hidup di hutan untuk meninggalkan jejak. Selain itu saya juga khawatir terhadap keselamatan anak saya jika saya pulang. Asal Mas Budi ketahui, rentenir itu dulu pernah menyuruh beberapa algojo bayaran untuk memotong telapak tangan bagian kiri anak saya dengan harapan saya pulang ke rumah. Beruntung nyawa anak saya dapat tertolong lantaran istri saya berteriak minta tolong dan warga berhamburan ke rumah kami untuk menolongnya.”
“Apa yang dapat kubantu, Kang?”
“Tak banyak, Mas. Saya hanya minta tolong untuk mendidik anak saya hingga tamat SMP. Agar dia benar-benar menjadi anak yang berguna. Meski kini saya sadari ia telah cacat.”
“Aku akan berusaha, Kang.”
Matur nuwun, Mas Budi.”
Aku hanya menggangguk. Ia beranjak untuk pamit. Kami kembali bersalaman. Kemudian ia menghilang di balik kegelapan dengan meninggalkan aroma tengik yang kembali menusuk di hidungku. Ia pergi bersama cericit kelelawar yang terbang dan menjatuhkan sisa-sisa biji jambu di halaman.

+ Add Your Comment