BAPAK

By: Petra Shandi



Bapakku orang kampung. Orang yang dipandang sebelah mata oleh orang lain. Pekerjaannya hanya berladang di belakang rumah dan membuat kerajinan anyaman boboko yang kemudian beliau jual di pasar. Dengan ditemani aku yang duduk dibelakang , ayah menggenjot sepedanya, sementara aku memegang erat boboko yang sudah dia buat. Lumayan lah satu buah Boboko berharga lima belas ribu rupiah . Cukup membantu Emak memenuhi kebutuhan dapur dan biaya sekolahku.

Suatu saat pernah bapak mengajarkanku menganyam boboko,dia sedikit membual dalam ceritanya. *“Jang… bapak teh hiji-hijina anu kasohor di kampung ieu baheula. Euweuh nu bisa nyieun boboko nu alus siga bapak” aku yang masih polos hanya bisa berdecak kagum.

“ Ajarkeun pak!” kataku dengan antusias

Maka mulailah bapak mengajarkanku membuat sebuah Boboko berukuran mini, mulai dari membelah bambu ,memahatnya, membelah tipis-tipis hingga proses menganyam. Aku tertawa girang dengan boboko hasil karyaku sendiri, sampai-sampai aku pamerkan ke semua temanku di sekolah.

*“ Asep.. cing bapak hoyong terang… hoyong jadi naon?”
“ Asep *hoyong jadi tukang Boboko pak!” Bapak tertawa keras sambil mengusap kepalaku.
Aku kebingungan menangnya kenapa dengan mimpiku itu?
“ Asep… Bapak gak mau kamu hidup kayak bapak, hidup melarat kayak gini”

Aku terus memperhatikan nasehatnya, raut wajahnya , ekspresinya, kerutan di wajahnya.
“ Bapak pingin Asep jadi apa?”tanyaku
“ Terserah , asal halal jeung bisa angkat derajat kita”
Aku hanya bisa mengangguk kepala walaupun masih tidak mengerti.

***



Aku beranjak remaja. Kehidupan masa remajaku tidak seindah masa remaja yang seharusnya. Aku harus membantu bapak mengurus ladang singkongnya , dan mengambil beberapa potong batang bambu tua untuk kuanyam menjadi Boboko. Itu sebabnya aku harus bangun pagi-pagi sekali untuk berangkat ke hutan bambu, sehingga tidak mengganggu waktu sekolahku.

Jujur saja, aku bosan dan lelah dengan hidupku. Bangun pagi bantu bapak , siang sekolah, sore jualan Boboko , malam menganyam. Dimana waktu istirahatku? Aku juga ingin seperti teman-teman satu geng ku , main ke kota hanya untuk melihat teteh-teteh berbaju ketat di Pertokoan pusat kota.

“Hayu ah Sep… urang ka kota.?” Kata Ujang sahabatku
“* Teu bisa ayeuna, Si bapak ke kumaha di imah?”
“ *Ah.. maneh mah.. siga kolot wae”

Seperti orang tua? Benarkah aku seperti orang tua? Kupikir-pikir lagi makna dari ucapan temanku itu. Dengan keseharianku seperti ini hidupku tidak jauh beda seperti bapak, Mang Sule, Kang Jaja. Lalu kubandingkan hidupku dengan Ujang, Tono. Sekolah, main bola di sore hari, Berenang di sungai, Main ke kota. Benarkah aku seperti orang tua?

“ Jangan pikirkan mereka , Sep. Mereka bukan orang seperti kita.Kita butuh perjuangan untuk hidup. Sedangkan mereka sudah hidup berkecukupan”
“ Tapi Asep juga anak seumuran mereka Mak. Asep juga pingin senang kayak mereka”
Gerutuku
“ Siapa yang larang? Sok weh kamu seneng-seneng . Tapi inget waktu. Ada waktu buat senang-senang ada waktu buat ikhtiar”
Aku mengangguk sambil menundukan kepala.

“ Emak bangga pisan ka Asep” Beliau membelai rambutku“ Asep bageur, pinter, nyaah ka Bapak sareng Emak.”
Aku tersenyum dengan mata berkaca-kaca

“ Emak bangga, Asep sudah bisa dewasa tanpa harus dibimbing keras, bisa lihat situasi Emak sama Bapak. Dimata Emak Asep itu lelaki dewasa”

Aku pandang wajah Emak. Perempuan dengan kilau mata yang jernih, penuh ketulusan dan kasih sayang. Emak pasti cantik sewaktu muda dulu.

“ Sep, jadi gak kita ke kota minggu depan? Kita nonton bioskop, biasa paket seribu lima ratusan”
Aduh, aku pingin sekali ikut mereka. Apalagi mereka ajak aku nonton bioskop . Yah walaupun itu paket hemat seharga seribu lima ratus dengan banyak adegan yang dipotong tidak apalah. Aku ingin merasakan nonton bioskop.

Karena rayuan teman-teman yang begitu dahsyat akhirnya kuanggukan tanda setuju. Tapi bagaimana dengan Bapak? Apakah bapak akan mengijinkanku?
Sepanjang perjalanan aku terus berfikir alasan apa yang tepat supaya Bapak mengijinkanku pergi

“ Ya sudah, kalo emang mau belajar bersama , Bapak izinkan hari minggu kamu gak dirumah”
Kata –kata bapak membuatku senang
“ Paling nanti kerjaan Bapak dibantu kang Jaja, tapi haloream ngaburuhanna” keluhnya
“ Nuhun pak..” aku tersenyum puas padanya.

***

Hari Minggu pun tiba. Aku yang jarang pergi ke kota sudah bergaya ‘ngota’ dengan kemeja dan sepatu pinjaman dari Ujang.

“ Hayu ah… “ Ujang sudah bersiap dengan kacamata hitamnya.

Kami menaiki Bis ekonomi jurusan ke kota. Penumpang bis sangat padat hingga aku harus rela berdiri dan berdesak-desakan serta bau yang tidak sedap dimana-mana .Sesekali kami terdorong ke depan saat mobil berhenti, atau terdorong ke kiri saat mobil belok. Tapi aku menyukainya.

Hanya saja saat aku tiba di kota perasaanku tidak enak. Perutku mual , apakah karena mabuk ? segera aku cari toilet umum untuk memuntahkan isi perutku. Kepalaku pusing Ya Allah.Sesaat aku beristirahat sejenak di depan Masjid tidak jauh dari terminal.

“ Jang… kenapa ya saya gak enak perasaan kayak gini”kataku lemah
Si Ujang hanya tertawa … “ Maneh mah.. dasar orang kampung, pergi ke kota aja sampai mabuk kayak gitu”
Bukan, bukan itu masalahnya. Aku tiba-tiba tidak bersemangat,maunya ingin pulang saja.

Aku utarakan saja maksudku ke si Ujang
“ Yang benar aja atuh Sep! kita baru nyampe ke sini. Masa balik lagi ke desa?”Keluh Ujang.
“ Bukannya gitu, saya inget Emak sama Bapak di rumah”
“ Emang ada apa? kamu kan sudah ijin sama Bapak kamu?”
Aku tak menghiraukan kalimat Ujang itu. Pokoknya aku harus pulang, titik.

“Ya sudah kalau begitu saya pulang sendiri saja.” Aku berlari mencari Bis jurusan ke desa.
“ Aseepp!! Tunggu!!” Ujang mengejarku dari belakang.

Akhirnya mau tidak mau Ujang pun ikut pulang denganku. Ya Allah, ada apa gerangan? Perasaanku semakin tidak menentu. Apakah bapak? Aku menggelengkan kepala. Tidak! Naudzubillah! Tidak akan ada apa-apa dengan Bapak. Sepanjang perjalanan aku hanya menutup mata sambil membaca ayat kursi.

Saat tiba di desa aku berlari menuju rumah. Dalam perjalanan seseorang memanggil namaku
“ Asep..! Asep! Kamana wae?? Itu bapak! “ ujar lelaki itu
“ Bapak? Bapak kunaon Kang? “Kataku penasaran
“ Itu bapak Jatuh ka Jurang”

Serasa Halilintar menyambar kepala ini. Aku pusing . Kucoba bertahan sambil mengusap-usap wajahku.
“ Bapak dimana sekarang? tanyaku
” Masih dirumah”
Segera aku berlari secepat mungkin. Bapak… rintihku dalam hati. Maafkan Asep Pak… aku terus memanggil namanya dalam lariku.

Tiba halaman rumah nampak segerombolan warga disana. Aku segera menghampiri
“ Bapak?? Mana bapak?? “ kataku
Aku dibawa masuk oleh tetanggaku

Nampak Emak menangis disana.
“ Bapak!!!” Tangisku meledak disana.
Segera kupeluk Bapak dengan hati-hati.
“ Emak!! Kunaon Bapak??” teriakku
Emak tidak bisa menjawab. Hanya tangisan pilu dan menyayat hati yang kudengar.
Aku memeluk emak sekedar menghiburnya
.
Pengobatan Bapak terlambat , seharusnya saat kejadian itu Bapak langsung dibawa ke rumah sakit dan menjalani operasi. Dengan Berat hati aku hanya bisa melepaskan Bapak.

Batinku menjerit Allah. Aku hanya anak remaja yang masih butuh bimbingan seorang Bapak. Kenapa Kau ambil beliau terlalu cepat? Aku belum sempat bahagiakan dia, aku belum sempat perlihatkan prestasiku, aku belum sempat naikkan derajat keluargaku . Allah kembalikan Bapak!!

***

Aku termenung sendiri di Toko besar ini. Baru saja aku membuka cabang ke limaku . setelah kemarin aku buka toko di Ciamis, Pandeglang, Karawang, dan Subang. Usaha kerajinan Tradisonalku berjalan dengan mulus.

Aku menatap Boboko Mini hasil perdana karyaku yang kupajang di meja kerja. Tersenyum , mengingat Bapak.

Bapak, aku berhasil Pak. Aku bisa mencapai cita-citaku dan mengangkat keluarga kita. Emak sekarang hidup enak dirumah mengurus cucunya ditemani istriku. Kuharap Bapak juga tenang ya disana.

Aku hanyalah orang kampung yang bercita cita ingin menjadi “ Tukang Boboko”


Note :

*Boboko:Bakul wadah Nasi yang terbuat dari anyaman bambu
*Jang… bapak teh hiji-hijina anu kasohor di kampung ieu baheula. Euweuh nu bisa nyieun boboko nu alus siga bapak: Nak, bapak itu satu-satunya yang terkenal di kampung dulu. Gak ada yng bisa bikin Boboko yang bagus kayak punya Bapak.
*“ Asep.. cing bapak hoyong terang… hoyong jadi naon?”: Asep coba bapak pingin tahu, kamu
pingin jadi apa cita citanya?
* Hoyong: Pingin
*Teu bisa ayeuna, Si bapak ke kumaha di imah?: Gak bisa sekarang, Bagaimana bapak dirumah?
*Ah.. maneh mah.. siga kolot wae”: Ah kamu tuh seperti orang tua saja.

+ Add Your Comment