MELATI ITU TIDAK MATI

By: Hylla Shane Gerhana



      "Sebaiknya kamu menikah lagi,"kata rekan-rekan kantorku. Pandang mata mereka menyorot penuh iba dan prihatin. Hampir tiap hari kudengar nasehat senada.
           Sementara itu yang lebih bijak memilih berkata, "Kasihan anakmu tumbuh tanpa seorang ibu. Menikahlah lagi Gilang." Semua orang menyuruhku menikah, padahal aku masih beristri walaupun tidak lagi bersama.
           "Poligami sampai saat ini masih sah berlaku di negara ini. Pengadilan agama manapun pasti membenarkan alasanmu memiliki istri baru," kata mereka berusaha menggerus sikap dan pendirianku.
            Tapi aku tidak penah mau mendengar apalagi menuruti. Bagiku cinta adalah kesetiaan dan kesetiaan adalah cinta. Keduanya bagai dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan.
Sudah lebih dari dua tahun istriku menjadi penghuni rumah sakit jiwa. Seminggu sekali, di akhir pekan aku setia membesuknya. Sebuah bangku di bawah pohon rindang di samping bangsal, laksana kerajaan bagi kami berdua.
            Serasa seperti mengulang masa pacaran, indahnya cinta pertama kisah indah yang pernah kita nikmati. Dalam menit-menit yang singkat itu kami beradu pandang dan berbincang, meski aku tidak paham kata-kata yang dia ucapkan. Dan aku yakin diapun tidak paham apa yang aku kisahkan.
            Kubawakan buku-buku yang dulu pernah menjadi favoritnya. Kubacakan halaman-demi halaman sambil sebentar-sebentar berhenti untuk menatap wajahnya.
            Aku juga membawa segenggam melati, bunga kesukaannya.
Dia duduk dengan kedua tangan rebah di pangkuan. Dalam balutan gaun putih panjang. Rambutnya hitam tergerai meski tak serapi dan secemerlang dulu.
           Kadang mahkota indah itu berkibar-kibar terkena angin yang meniup lembut. Kurasa desiran halus di sepanjang aliran darah saat kumemandangnya. Ekspresi dan bahasa tubuh begitu sempurna, kuterpesona dan kembali jatuh hati lagi padanya.
           Tapi semua tahu, dia hidup dalam dunianya sendiri. Alam pikirannya berkelana menyusuri jalan setapak yang enggak pernah bertaut dengan kenyataan.
           Aku masih tetap terpesona, pesis saat pertama jatuh cinta. Jemari Allah SWT yang telah membimbing kami bertemu dan menyatu, meski di mata orang lain tidak lebih dari perjodohan kedua orang tua.
         Lima tahun lalu kami menikah. Melati nama istriku. Sinar wajahnya kemilau memancarkan aura para dewi. Sebuah kebaya putih dengan anggun membalut sosoknya yang berjalan lalu duduk penuh santun dalam singgasana pernikahan.
         Aku bahkan tidak kuasa menahan rasa terpesonaku di hari itu, juga hari-hari sesudahnya. Kami berdua anak-anak manusia yang lemah oleh nafsu, tapi menjadi kuat oleh mimpi dan harapan, tersatukan dalam imaji surgawi tertinggi.
        Pandang mata dan lirik malu-malu saat bertemu adalah kenangan terindah yang terbingkai rapi hingga ajal nanti.


                               ************

         Pernikahan kami selamanya baik-baik saja andai tidak terjadi bencana kematian itu. Anak kedua kami saat berusia dua bulan meninggal di pangkuan istriku. Tubuhnya pucat kaku dengan puting payudara istriku masih terkulum di bibir mungilnya yang membiru.
          Berjam-jam bayiku mereguk air kehidupan, sekaligus menemui ajalnya berlahan-lahan. Karena istriku terlelap kelelahan dan payudaranya menutup jalan nafas bayi kami.
          Rosa, anak kami, adalah satu-satunya buah cinta yang mendampingiku mengisi kisi-kisi hari yang sunyi.
Kini dia tumbuh menjadi gadis kecil yang cerdas dan kritis, di usianya yang tiga tahun hampir tiap hari selalu menanyakan keberadaan ibunya.
          "Ayah, apakah aku punya ibu?" tanyanya nyaris setiap saat. Pertanyaan itu meluncur laksana lonceng kiamat menggema di telingaku.
          Pertanyaan pertama selalu ku jawab dengan anggukan. Sedang pertanyaan kedua hanya kujawab dengan isyarat gelengan.
          "Apakah Rosa bisa bertemu ibu?" Kedua matanya yang bening terpaku penuh konsentrasi mengamati setiap gerak bibirku.
          Aku menatapnya dengan senyum getir. "Tentu saja, Sayang. Suatu saat nanti kamu akan bertemu."
          "Kapan, Ayah?" tanyanya penuh harap. "Kalau Rosa sudah besar nanti." Aku mulai kehabisan jawaban. Esok hari, juga masa-masa berikutnya, dia akan terus bertanya tentang ibunya.
          "Apakah Rosa sekarang sudah besar, Ayah?" tanyanya lagi. "Belum, Sayang. Kalau nanti sudah sekolah berarti Rosa sudah besar."
           "Kalau begitu Rosa ingin sekolah hari ini juga," Katanya mantap seolah tidak ingin menyisakan ruang batahan atau penolakan. Tapi urusan sekolah tidak semudah itu. Kalau di lihat dari umurnya bahkan belum layak masuk taman kanak-kanak.
            "Tahun depan Rosa pasti sekolah," jawabku menghibur. "Tapi Rosa mau hari ini juga!" suaranya mengeras nyaris berteriak. Matanya berkaca-kaca, sambil kakinya dihentak-hentakan di lantai. Perlahan sinar wajahnya menyurut padam, bersama surutnya harapan untuk bertemu ibunya.
             Di saat-saat seperti itu ingin rasanya kuiyakan permintaan Rosa. Tapi sekejap kemudian ingatanku berkelebat, sesuai dengan istriku yang kulihat dua minggu yang lalu.
             "Melati mati! Melati mati! seorang perempuan berteriak sambil tertawa-tawa menunjuk ke udara. Gelak tawanya terus bergema. Perutnya mengejang menahan tawa yang tiada berhenti, hingga tubuhnya berguling-guling di atas tanah. Pakaiannya tersingkap tak karuan memperlihatkan auratnya.
             "Melati mati," katanya lagi.Tawanya kembali meledak, tapi sekejap kemudian berubah menjadi derai air mata. Setengah jam kemudian tangisnya mereda. Tapi bibirnya terus menerus menyebut nama Melati yang mati. Matanya sayu menatap udara kosong di hadapannya.
             Itulah pemandangan terakhir yang tersaji sebelum dua orang perawat mencekal dan membawanya ke dalam bangsal. Segenggam melati di tanganku ikut luruh bersama perginya perempuan itu dari hadapanku.
             Mataku terus menatap bangsal, setengah berharap perempuan itu akan keluar lagi berlari dan memeluku dalam tabur tangis keharuan. Atau paling tidak menemaniku bercengkrama. Dan tersenyum seperti biasa, di bawah pohon rindang samping bangsal.
             Bunga-bunga melati berceceran di sekitar kakiku. Samar menebar wangi surga. Tidak lama kemudian kelopak yang putih berubah cokelat, layu. Wanginya sirna bersama langkahku keluar dari rumah sakit jiwa. Entah hingga kapann aku terus merenda mimpi.

                             *******************

         "Akhir-akhir ini Rosa terlihat murung," Mama memberitahukan hal yang sudah jelas kuketahui, seperti sedang menyindirku.
        "Kelihatannya ingin bertemu ibunya."
         Aku menghela nafas panjang, merasa tak tahan terus menerus ditekan. "Sampai  kapan Mama akan menyuruhku menikah lagi? Bukankah aku masih beristri?"
        "Gilang, sampai kamu tidak egois lagi."
        "Aku? Egois?" kataku tidak percaya."Tolong Mama jelaskan di mana letak keegoisanku."
        "Kamu egois karena tak persuli dengan derita anakmu yang tumbuh tanpa kasih sayang seorang ibu. Apa yang kalian dapat selama ini adalah egomu."
       "Cinta dan kesetiaan bukan omong kosong, Mama. Lagi pula, aku pernah berjanji pada diriku untuk menikah hanya sekali."
        "Tapi di mana cinta untuk anakmu? Anakmu butuh kasih sayang. Berapa banyak waktu kamu luangkan untuk anakmu? Bukankah pekerjaan yang selama ini banyak mengubur waktu luangmu?"
         "Anakmu hidup dalam kesunyian, Gilang. Tinggalkan prinsip Utopis liarmu. Setidaknya demi Rosa, bila kau sudah tak memikirkan dirimu dan keluarga."
         Aku terdiam. Anak bagi sebagian orang menjadi perisai rasionalisasi untuk mencari pasangan lagi. Padahal di hati mereka sesungguhnya terpendam alasan yang jauh dari mulia. Aku hanya tidak ingin seperti itu. Aku tak serendah itu.

                             ********************

         "Ayah, lihat! seru Rosa suatu hari saat menonton TV. Kualihkan perhatianku sejenak dari buku yang sedang kubaca. "Ayah, bayi kecil itu sedang di susui ibunya. Apakah Rosa waktu kecil dulu juga disusui seperti itu oleh ibu?"
        Aku terenyuh mendengarnya. Aku mengangguk sambil memendam rasa perih, sebagai jawaban pertanyaannya. Kulihat dia tersenyum senang. Mungkin imajinasinya membawanya berkhayal menuju saat-saat dirinya masih bayi dan bisa menatap wajah ibu saat disusui.
       Malam itu, seperti malam biasanya, aku menemaninya sebelum tidur. Lalu kubacakan cerita-cerita pendek sebelum akhirnya kucium keningnya saat dia tertidur pulas. Tapi malam itu dia tidak tidur secepat biasanya. Dia malah berceloteh dengan riang, menceritakan kembali kisah-kisah yang dilihatnya di TV. Tentang bayi, tentang anak-anak dan tentu saja tentang ibu mereka.
        Kata 'ibu' tidak pernah luput di ucapkannya saat berkisah tentang dunia yang di simak dan dipelajarinya tiap hari. Kata itu lengkap dengan untaian emosionalnya, melekat erat dalam benak Rosa hingga terus digemakan setiap saat lewat bibir mungilnya.
       "Kalau ibu ada, apakah ibu mau membacakan cerita untukku?" tanya Rosa penuh harap usai bercerita. Aku tersenyum."Tentu dengan senang hati ibu akan melakukannya." Bibirnya tersenyum bangga.
        "Ayah, kalau Rosa berjanji tidak nakal lagi, apakah ibu mau bertemu dengan Rosa?" Segenap asa dan khayalannya tertuang dalam pertanyaan terakhir.
         Kali ini aku tak kuasa menjawab. Aku tak tahu jawaban apalagi yang harus kuberikan untuknya. Terlalu sering aku berjanji pada Rosa.
        Pada akhirnya dia akan lelah dan menagih janji-janji itu. Karena itu aku bertekat mengabulkan keinginannya. Dan untuk terapi istriku aku bermaksud mengambil bayi adopsi sebagai pengganti Melati. Sabarlah, sayang. Sebentar lagi akan kubawa engkau bertemu ibumu, bisikku malam itu.

                       *****************

           "Kita akan bertemu ibu hari ini, Ayah?" tanya Rosa sedari tadi. Meski telah kujawab berkali-kali, pertanyaan itu terus muncul dari bibirnya yang tidak berhenti tersenyum riang.
            Setelah Melati yang baru kuadopsi dan baby sister siap maka kitapun meluncur ke RS Jiwa tempat istriku di rawat. " Masih jauhkah tempatnya, Ayah?"
           "Tidak. Sekitar lima kilometer lagi." Rosa tak mengerti jarak tapi melihatku tersenyum, Rosa mengangguk-angguk seolah mengerti. Dia percaya jarak itu tidak terlalu jauh lagi. Berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun dia menunggu saat ini.
              Hitungan jam dan kilometer tak berarti lagi. Dia hanya tahu tentang waktu yang sebentar, yaitu saat dia bertemu dengan ibunya.
               Sebuah bangunan bercat putih kusam dengan arsitektur gaya kolonial yang mengesankan kokoh dan megah, sekaligus kesunyian tampak menjulang di hadapan kami berempat.
               Aku tidak berniat bercerita pada orang tuaku atau yang lain. Biarlah dahaga rosa terpuaskan tanpa terganggu celoteh orang-orang usil di luaran sana.
               Kami berjalan menyusuri koridor yang panjang dan sunyi, dengan atap tinggi yang angkuh pada setiap makhluk yang lalulalang di bawahnya.
              "Ayah, tempat apa ini?" tanya Rosa yang terlihat ngeri dan takut dengan suasana sunyi di bagian depan bangunan. " Ini rumah sakit, Rosa."
              "Apakah ibu tinggal di sini?" Aku mengangguk sambil tersenyum padanya. "Apakah ibu sakit?"
              "Benar ibu sakit sehingga tidak bisa bersama kita selama ini."
              "Apakah ibu ada yang menemani?"
              "Tentu saja, lihatlah banyak orang yang sedang bermain di taman dan di kamar-kamar itu juga. Mereka semua teman ibu." kataku sambil menunjuk sekumpulan pasien saat kami melewati taman. Rosa memandang mengikuti arah yang ku tunjuk.
                "Ibu tinggal di sebelah mana?" tanyanya riang seolah puas dengan keteranganku.
Di kejauhan di sebuah pohon rindang, tampak sesosok perempuan muda cantik duduk dengan kebaya putih yang membalut anggun tubuhnya. Dia menatap jauh dengan pandangan kosong dan kedua tangan yang selalu diatas pangkuannya.
                 "Itu ibu?" tanyanya masih belum percaya pada pandangannya. Rosa berpaling menatapku, sejenak untuk memastikan aku memberi isyarat anggukan padanya.
                  "Ibuuuu." Rosa berlari sambil menghambur kepangkuan ibunya. Tapi setelah merasa tidak ada respon balik dia bergegas berlari ke arahku.
                  "Kenapa Ibu kelihatan tidak senang melihat Rosa, Ayah?"
Aku menenami Rosa mendekati Melati. Kali ini aku tidak membawa seikat melati lagi, melainkan seikat mawar merah dan pengganti Melati, bayi yang tak adopsi dari panti asuhan Nirmala.
                   Sambil menggendong bayi dua bulan itu aku serahkan Bouqet mawar merah yang segar. Tapi dia malah berteriak-teriak, "Itu melati busuk, Melatiku telah mati Melati mati. " Aku membiarkan bunga mawar yang kemudian di injak-injaknya. Aku menyuruh baby sister yang menggendong Rosa yang menangis jejeritan karena ketakutan.
                  Sesaat kemudian dia tenang kembali, tatapannya masih tanpa ekspresi
                   "Dewi tercantik, yang selalu hadir merajai anganku. Masih ingatkah kau pakean yang kamu kenakan ini Melati? Ini pakaian pengantin kita, kamulah satu-satunya pelabuhan hati. Kamulah ibu dari 2 peri kecilku yang cantik dan lucu-lucu. Coba lihat dan belai anak kita, dialah Melati kita Sayang?"
                   "Kuletakkan  bayi merah itu di atas pangkuannya." Dalam satu jam dia masih diam tak bergeming. Tapi dua menit selanjutnya bayi itu menangis keras sekali. Aku melihat dia panik dan meneteskan airmata, sambil mengelus rambut bayi itu kemudia dia membuka kancing tengah kebaya itu dan mulai menyusui titisan melatiku.
                   "Subhanallah" Ini Miracle , ini benar-benar jawaban atas setiap doa dalam lailku ya Rob." Seketika itu juga aku melakukan sujud syukur. Menyelesaikan administrasi beaya Rs dan membawa Istriku kembali ke istana kecilku yang damai. Dia tidak mengijinkan baby sisterku menggendongnya, saya mengerti semua yang di lakukannya seperti ingin menebus semua kekilafan dan dosanya selama ini.
                  "Ibu cantik sekali ya, Ayah,"
                   "Ibu, ini anak sulungmu si Rosa," kataku sambil mendekatkan Rosa ke ibunya.
                   "Rosa, kamu cantik sekali sayang, maafkan ibu tidak merawatmu hingga sebesar ini.
Rosa tersenyum manis, binar ceria di mata indahnya itu jarang sekali aku lihat, berbeda dengan indahnya senja ini yang mengembalikan kesempurnaan impian keluargaku.
                   "Ibu, kita pulang rumah dan kita adakan syukuran keluarga. Sebagai rasa terima kasih kita pada Allah SWT, yang masih memberian kesempatan kepada keluarga kita untuk bersatu.**

Hylla Shane Gerhana
Lower Estate Hongkong, 22 January 2010

Oops! there was only one comment.. come on speak up!

  1. ceritanya sedih, tapi menunjukkan kekuatan cinta

+ Add Your Comment