DUA RASA (Cerita Bersoundtrack 100% cinta)



By : Dewi Syafrina 

Kalau sudah seperti ini, keteguhan hatiku bisa luntur. Mengapa mereka harus mengatakannya padaku? Seharusnya mereka tahu aku tidak memikirkannya lagi. Aku bimbang dengan perasaanku sendiri. Ternyata tak mudah untuk melupakan sesuatu yang sudah lama bersemayam di memoriku karena aku hanya mampu melupakannya beberapa saat saja.


Sore ini pun aku mendengar sebuah berita yang membuat ingatan tentang dirinya kembali. Sebuah pesan singkat pertama dari Sandes benar-benar membuatku kaget. Belum reda kekagetanku itu, pesan singkat dari Redi juga datang berisi berita yang sama, kekagetanku berkurang satu tingkat. Pesan ketiga dari Yori juga berisi berita yang sama: Refan masuk rumah sakit.


Selama ini yang aku tahu, Refan tidak pernah mengidap penyakit parah, tapi hari ini untuk pertama kalinya aku mendapat kabar bahwa dia dirawat di rumah sakit.


Lagi-lagi perasaan itu datang. Kecemasan itu kembali membuat jantungku serasa ingin pecah. Aku pun sadar, kecemasan ini datang hanya karena satu hal. Satu hal yang mungkin seorang Refan pun telah mengetahuinya.
***
Refan adalah salah satu teman baruku di kelas X. Kami tiba-tiba menjadi akrab hanya karena sebuah catatan jelekku yang dia pinjam. Semenjak itu ada saja kejadian-kejadian yang membuat kami semakin akrab. Sedangkan Rike adalah teman satu SMP-ku. Kehadiran Rike di tengah persahabatanku dengan Refan ternyata mendatangkan berita baru yang aku sendiri pun tak dapat mempercayainya. Dari dialah aku mengetahui bahwa Refan merasa ada sesuatu yang beda di antara persahabatanku dengan cowok itu dan berita-berita menghebohkan lainnya yang membuatku kaget. Semuanya dari Rike, dan aku tahu Rike mengetahuinya karena Refan mempercayai Rike untuk mencurahkan semua yang dia rasakan.


Namun aku sama sekali tidak merasa ada yang berubah dari sikap Refan. Menurutku semuanya berjalan seperti biasa. Walaupun memang teman-temanku sering meledek kami jika sedang berbicara, tapi aku sama sekali tidak terpengaruh karena aku sudah cukup akrab dengannya selama satu semester sehingga ledekan apa pun tak kan mempan memutuskan persahabatan kami.


Tampaknya teman-temanku ingin kisahku dan Refan berlanjut. Namun tentu itu tak mudah bagiku karena di mataku persahabatan tetaplah persahabatan walau di dalam hatiku begitu berat untuk mempertahankan ini. Apapun pendapat orang lain aku tidak peduli. Walaupun Rike sudah angkat bicara, aku tidak akan menanggapinya dengan serius.
”Beri keputusan yang pasti dong, Ren!” kata Rike suatu hari mendesakku yang hanya diam.
Aku benar-benar heran, kenapa Rike selalu mengurusi urusanku dengan Refan dengan serius dan bersifat mendesak.
Sudahlah, Ke. Nggak perlu terlalu membahas masalah itu deh! Pusing!” jawabku tanpa mau menatap wajahnya.
”Tapi Refan benar-benar butuh!” katanya lebih mendesak lagi.
Aku hanya menenggelamkan wajahku di kedua telapak tanganku dan kemudian berkata, ”Aku nggak tau harus ngomong apa!”
Rike langsung meninggalkanku dengan raut wajah yang kecewa. Aku tahu Rike juga menaruh perasaan pada Refan. Namun saat mengetahui isi hati Refan yang sebenarnya, Rike benar-benar mengorbankan perasaannya demi kebahagiaan Refan dan aku hanya bisa membalasnya dengan membuat Rike kecewa.


Memang, aku tak tahu apa yang harus kukatakan. Di satu sisi aku tak bisa menerima ini dan berusaha mempertahankan pendirianku tapi di sisi lain aku begitu tak terima jika aku harus membiarkan harapan Refan bergantung padaku. Aku berusaha mempertahankan persahabatan ini karena aku sendiri melihat Refan juga memiliki pendirian yang sama denganku.


Hingga semester dua berakhir pun aku tetap tak menghiraukan gambaran-gambaran Rike tentang perasaan Refan padaku dan berusaha bersikap seperti biasa terhadap Refan walaupun di dalam diriku, aku harus berusaha keras untuk itu.
***
Saat penerimaan rapor kenaikan kelas pun tiba. Aku mendapat jurusan IPA, sesuai harapanku dan aku pun bahagia dibalik kekecewaan Refan yang juga mendapatkan jurusan IPA yang tidak sesuai dengan keinginannya. Aku terus menelurusi angka-angka di rapor Refan.
Akhirnya dia masuk IPA !! Tanpa sadar aku tersenyum . Sebuah senyum kepuasaan.
***
Setelah pembagian kelas, ternyata aku ditakdirkan untuk tidak sekelas dengan Refan. Memang sesuatu yang sedikit mengecewakan tapi mungkin ini adalah cara untuk melupakan semua yang selama ini mengganggu pikiranku. Walaupun memang tak semudah yang aku pikirkan untuk melenyapkan semua itu.


Di sinilah perubahan mulai terlihat. Sesuatu yang tak kuharapkan tampak bermunculan. Tiba-tiba keakrabanku dengan Refan mulai luntur. Menguap begitu saja karena jarang bertemu. Jika berpapasan di jalan kami hanya saling sapa atau senyum.  Hanya itu.


Aku benar-benar merasa keberadaannya telah lenyap di hadapanku. Aku tak lagi menemukan Refan yang dulu. Sampai akhirnya aku tak bisa menahan ini dan menceritakannya pada Rike.


”Nggak tau deh! Pokoknya belakangan ini dia beda,” kataku berusaha untuk tenang.
”Contohnya? ” tanyanya .
”Ya ... kayaknya aku nggak bisa akrab dengan dia lagi. Udah nggak sering ngobrol lagi. Aku jadi nggak ngerti dia kenapa,” jelasku tanpa sadar mengeluarkan raut wajah kekecewaan.
” Hmm ... mungkin itu cuma perasaan kamu aja, Ren. Aku rasa nggak ada yang beda sama Refan. Kita tetap akrab seperti dulu kok,jelas Rike tanpa beban
Refan dan Rike tetap akrab? Kenapa denganku tidak? Pikirku kekanak-kanakan.


Pembicaraanku dengan Rike ditutup dengan rasa gelisah yang keluar dari dalam diriku. Mungkin inilah saatnya aku harus melupakan Refan. Menetralisasi rasa yang pernah ada di dalam hatiku.
***
Satu tahun kemudian aku seperti bermimpi. Aku tak bisa mempercayai apa yang telah kulihat beberapa menit yang lalu. Aku keluar dari kerumunan orang yang sedang berebut melihat pengumuman pembagian kelas.


Keributan di sekitarku nyaris tidak terdengar lagi karena aku sibuk dengan pikiranku sendiri. Bagaimana mungkin namaku dan Refan terletak di deretan kelas yang sama? Bagaimana mungkin aku bisa menerima ini? Sudah satu tahun lamanya aku hampir berhasil melupakannya dan sekarang rencanaku hancur begitu saja. Aku tak mampu memikirkan apa yang akan terjadi di kelas baruku.
***
Aku masih berdoa pagi ini adalah sebuah mimpi. Namun aku tetap harus memasuki kelas di hari pertamaku. Sebagian teman-temanku sudah memilih tempat duduk yang pas, tidak di depan, tidak di belakang, dan tidak dekat dengan meja guru. Aku yang masuk belakangan duduk di barisan depan, salah satu tempat yang tersisa.


Aku melayangkan pandanganku ke sekelilingku dan sekarang aku yakin aku tidak bermimpi saat melihat tas ransel milik Refan juga berada di kelasku. Aku tak bisa berbuat apa-apa lagi.


“Kenapa harus sekelas lagi ya, Ren?” celoteh Sandes sambil tersenyum jahil padaku. Yori dan Redi yang menyusul di belakangnya juga ikut tersenyum jahil. Aku memandang mereka kesal, namun raut wajahku langsung berubah saat melihat Refan masuk ke kelas. Sesaat dia tersenyum padaku. Aku yang masih belum bisa menerima kenyataan bahwa kami sekelas hanya terdiam, tak sempat membalas senyum itu.


Aku tak tahu pasti apa yang menyebabkan aku merasa canggung saat bertemu dengannya. Mungkin karena sudah satu tahun aku tidak bertegur sapa dengannya atau mungkin karena ada hal-hal lain yang tidak kuketahui. Namun aku mengira ini adalah tanda-tanda aku sungguh-sungguh akan melupakannya. Melupakannya karena rasa yang tak bisa kubendung lagi.
***
Sore itu kegiatan olahraga berakhir. Aku duduk di tepi lapangan melepas rasa lelah sebelum Pak Sony menginstruksikan untuk berbaris kembali. Tiba-tiba pandanganku tertuju pada seorang gadis yang melewati lapangan basket. Gadis itu bersama Rike. Sepertinya mereka menuju ke kelas Rike.


Apa yang dilakukannya di sini? Aku tak bisa menghilangkan kecurigaanku
Aku kenal gadis itu. Dia adalah teman dekat Rike. Namanya Riva. Aku juga tahu belakangan ini aku mendengar Rike mengenalkan Riva pada Refan dan mereka menjadi teman dekat. Jelas saja satu tahun yang lalu Rike tidak merasakan ada sesuatu yang beda dengan Refan, seperti yang aku rasakan. Aku pikir Rike tentu tak menyia-nyiakan kesempatannya saat aku beda kelas dengan Refan. Rike memperkenalkan Riva pada Refan dan lama-kelamaan Refan pun menjauh dariku. Tapi sekarang aku tetap tak mengerti mengapa Riva tiba-tiba datang ke sekolahku. Namun semuanya terjawab sudah saat kami berbaris untuk menutup kegiatan olahraga hari ini.


Saat kami sedang fokus mendengarkan penjelasan tambahan dari Pak Sony, tiba-tiba tatapanku langsung beralih kepada Rike dan Riva yang tampak tak jauh di depanku. Sepertinya mereka sedang berjalan menuju arah kami. Saat itu barisan akan bubar setelah selesai berdoa. Dengan percaya dirinya, Rike menyapa Refan yang masih berada di dalam barisan. Semua pandangan tertuju pada mereka berdua. Refan segera menunduk malu karena melihat siapa yang ada di hadapannya sedangkan Riva senyum malu-malu membuatku semakin heran.


Kemudian teman-temanku berbisik satu sama lain, “Itu kan pacarnya Refan? Siapa namanya? Riva ya?”
Aku seperti ingin ditelan bumi saat itu juga.
Riva pacarnya Refan? Nggak mungkin!
Sekarang aku melihat Refan, Rike, dan Riva sedang berbincang di sudut lapangan. Sesekali kulihat Rike tertawa dan Refan tersenyum malu-malu. Aku meninggalkan lapangan olahraga dengan perasaan yang tak karuan
***
Oh,tidak! Mengapa aku harus melihat kejadian tadi sore dengan mataku sendiri?
Jika kejadian itu memang harus terjadi hari ini, bagiku lebih baik aku mendengar dari orang lain daripada melihatnya secara langsung sehingga mereka bertiga tidak akan menghantuiku seperti sekarang ini.


Semuanya terulang kembali di kepalaku. Wajah Rike dengan nada menggoda menyapa Refan sambil melirik Riva. Wajah Riva yang memerah sambil tersenyum. Reaksi Refan yang tak kumengerti dan perasaanku yang seperti diremuknya begitu saja.
Mengapa Rike melakukan itu padaku?


Padahal dulu dia yang membuatku semakin akrab dengan Refan dan sekarang dia seperti sengaja merusaknya karena aku tak kunjung memberikan keputusan. Aku tahu dia menaruh perasaan pada Refan, tapi tak seharusnya dia melampiaskan rasa sakitnya kepadaku dengan cara seperti ini.


Aku tak bisa meyakinkan diriku bahwa aku marah pada Refan. Aku tak bisa menyalahkannya. Hanya saja, aku tak pernah membayangkan bahwa aku akan melupakan Refan dengan rasa tersayat seperti ini. Bahkan aku pernah membayangkan baru bisa melupakannya saat tamat sekolah nanti, namun ternyata kejadian itu berlangsung lebih cepat.
***
Jadilah sekarang aku merasa keheranan saat Sandes mengabarkan padaku bahwa Refan jatuh sakit. Mengapa dia begitu antusias memberitahuku seakan-akan aku masih peduli pada Refan? Toh, di samping Refan sudah ada Riva yang akan peduli padanya. Aku yakin gadis itu pun sedang berada di rumah sakit membesuk Refan. Namun Sandes, Yori, dan Redi memaksaku untuk ikut membesuk Refan bersama mereka.


Sebenarnya tak sepenuhnya aku tak peduli dengan Refan. Aku hanya belum bisa melupakan kejadian beberapa bulan yang lalu itu. Aku pun tak tahu harus berbuat apa jika bertemu dengan Refan nanti di rumah sakit.


Sekarang kami sudah berada di depan ruangan tempat Refan dirawat. Aku melihatnya terkulai lemah di tempat tidur. Tangan kirinya terhubung infus. Dia mencoba tersenyum padaku saat aku masuk ke kamar rawatnya. Sudah lama aku tak melihat senyum itu. Aku pun melihat ke sekeliling ruangan.
Tidak ada Riva? Tanpa sadar aku tersenyum senang.

Sungguh aku tak bisa
Sampai kapan pun tak bisa
Membenci dirimu
Sesungguhnya aku tak mampu

Sulit untukku bisa
Sangat sulitku tak bisa
Memisahkan segala
Cinta dan benci yang kurasa
***

+ Add Your Comment