Kukan Selalu Ada

By: Danny Hendarto

'Kuada dalam setiap langkahmu, dalam setiap jalanmu, dalam setiap sisi kehidupanmu'

Cahayanya begitu terang, tak sanggup ku membuka mata..
Perlahan cahaya itu meredup, digantikan dengan angin semilir yang semakin kencang..
Tergantikan sepoi, membisikkan alunan suara gemuruh ombak..
Senja kurasa, ku berdiri di ujung tebing laut selatan,
Diantara pepohonan dan orang-orang yang kusayang,
Menghadap laut.. Menatap matahari.. Menyapu angin..



Hari ini, semua berkumpul, Adek, Kakak, Ayah, Ibu, Pakdhe, Budhe, Om, Tante, Ponakan-Ponakan. Sahabat, kerabat. tetangga, kenalan, relasi. semua berbusana putih. Gaun-gaun tertiup sepoi oleh angin. Rambut tergerai dalam hembusannya. Matahari tak terasa terik kembali. Pukul 16.00, saat dimana senja berada diujungnya. Semua terdiam, tak terucap satu katapun. Hanya angin yang bertiup, dan deru ombak memecah karang yang menyemarakkan suasana.
~ Δ ~
Dua puluh empat jam lalu..
Aku duduk di teras rumah. Membaca koran hari ini. biarpun beritanya sudah basi, lumayan buat mengisi waktu luang disore hari. Secangkir teh hangat menemani, dan Piko, pompom kecilku tiduran di sela-sela kakiku. Tadi siang hujan deras menyapu kota gudeg ini, seakan-akan seluruh air ditumpahkan, gemuruh petir pun menyambar dengan kencang. Hanya 3 jam hujan, dan beberapa titik Jogja sudah tergenang, jalanan kotor oleh sampah dedaunan, betapa besar kekuatan yang dikeluarkan Tuhan siang ini. Namun tak semuanya menimbulkan ketakutan, ketika reda, sang angin menyebarkan kesejukan lepas hujan ke seluruh kota, menemani penduduknya pulang, melepaskan lelah dengan hembusan sepoi anginnya. Pohon-pohon terlihat segar dan elok dipandang, dan mentari sore menebarkan senyum manisnya, menawarkan kehangatan diantara segarnya angin bekas hujan.


Malam itu, aku mengatur janji sama Rara, my lovely one, buat makan malam. Malam ini akan menjadi malam yang istimewa, aku kan mengatakan sesuatu hal yang sangat penting padanya. setelah sekian lama kami berpacaran, akhirnya aku memberanikan diri, waktuku datang juga untuk mengungkapkannya. Semua sudah disiapakan. Sebuah candle light dinner di sebuah restoran taman. Tempat dan hidangan sudah diatur, sesempurna mungkin, agar menjadi makan malam yang istimewa. Tadi pagi, aku sudah mengirimkan gaun malam, buat dipakai Rara ketika malam nanti, gaun yang elegan casual, berwarna kuning dengan aksen hitam, sangat indah kubayangkan dia memakainya. Aku hanya memakai kemeja hitam dengan aksen batik berwarna kuning, terasa kontrast memang, tapi itu lah kami, 5 tahun bersama seribu perbedaan, namun tetap satu hati. Jam 6.30, dan ku berangkat menjemputnya. Piko mengikuti langkahku seakan ingin ikut. Tapi dia sadar ini acara yang spesial, dia berhenti dan hanya diam di teras rumah, dengan pandangan lucunya. Aku dekati Piko, “Aku pergi dulu ya. Malem ini aku mau makan malam dengan Rara, nanti aku ceritakan ya.” Kataku sambil membelai Piko, dia menjawab dengan salakan kecil.


Aku pun melajukan mobil menembus jalan malam Jogja. Masih ramai dengan orang-orang yang pulang dari kantor. Beberapa tampak pemuda pemudi berboncengan, terlihat mereka berpacaran. Berpelukan mesra seakan dunia ini milik mereka berdua. Tak merasa risih, kemesraan mereka menjadi tontonan umum. Tapi begitulah cinta, akupun pernah melakukan hal yang sama. Dipeluk Rara ketika berboncengan motor. Hangat terasa, sehangat cinta yang sedang bersemi di hati. Tak lama kemudian, sampailah ke komplek perumahan di sekitar Ambarukmo Plaza, kuparkirkan mobil didepan rumah Rara. Dengan membawa sepucuk mawar putih, kuketuk pintunya.
“Wow... kau cantik sekali sayang…” tak lekang ku memandangnya mengunakan gaun yang kukirim pagi tadi. Pas ditubuhnya dan melebihi yang kubayangkan, dia sangat menawan.
“Ach... sayang bisa saja... but trims dear, gaunnya bagus banget. I like it,” balasnya dengan tersenyum. Seyuman yang selalu meluluhkan hatiku.
“Iya bagus, cocok buat bidadari yang memakainya,” kataku sambil memberikan mawar putih.
“Yeee... bidadari dari Prancis?? hahahahhaahah...,” kami tertawa bersama. “Tak henti-hentinya kau kejutkanku dengan tingkahmu hari ini, dear. Mawar putih ini mengingatkanku ketika engkau mengajakku jadian. You are so romantic. Thanks dear,” jawabnya sambil memberikan kecupan pipi. Kamipun berangkat, kujalankan mobil ini ke resto di pinggir kota. Suasana begitu tenang, jalanan terasa lengang, lampu-lampu bersinar begitu indah. hujan tadi siang seakan membasuh habis lusuhnya kota, tergantikan oleh indahnya lampu malam dan suasananya, seperti berada di negeri antah berantah. Jogja tersenyum malam ini, seindah senyuman Rara.


Makan malam yang sederhana, menu yang dipilih pun ringan namun bermakna. Semua menu masakan favorit kami, kami pun mengingat-ingat masa-masa lalu, perjalanan 5 tahun bersama, dalam cahaya lilin dan penuh tawa canda. Tak ada marah ketika terungkit lara, tak ada dendam ketika kecemburuan pernah berdiam dalam hati, dalam canda dan kasih, perjalanan ini begitu indah. Sayup-sayup, lagu Takkan Terganti[1] dinyanyikan secara akustik. Seperti engkau Rara, takkan pernah terganti bagiku.
“Sayang, aku mau bilang sesuatu,” mulai ku berbicara..
“Iya dear?“ jawabnya menaruh perhatian dan tanya..
“Kita sudah berpacaran selama 5 tahun, bersama dalam senang maupun duka.. Tak sedikit kerikil-kerikil ada dalam perjalanan kita. Batu besar pun kita angkat bareng, aliran lahar dingin pun kita lompati bersama. Hujan abu tak menjadikan halangan buatku menemuimu.”
Rara tersenyum, ach.. sungguh indah senyumannya itu.
Ku pegang tangannya. “Sayang, maafkan aku. Aku belum bisa memberikan yang terbaik.. Aku belum bisa memberikan apa-apa padamu selama 5 tahun ini.”
“Tidak apa-apa sayang... Aku senang bersamamu, dan selamai ini pun yang terbaik sudah kau berikan padaku,” jawab Rara tersenyum. Kupegang semakin erat, tak terasa mataku berkaca-kaca, tak kuat menahan sesak didada. Rara terheran-heran, “Kenapa sayang?” diusapnya air mataku yang sedikit menetes..


Kupegang tangannya lebih erat, “Maafkan aku sayang, Aku tidak bisa begini lagi. Aku tak sanggup menahan beban ini. Kita harus berubah dan terus maju.” Tangan Rara seakan lemas, kupandang wajahnya, dia menangis. wanita yang selalu tangguh menghadapi dunia, bercucuran air mata. Ada kekecewaan besar tergambar. Kupeluk erat dia, dan semakin keras kurasa tangisnya.
“Kau tetap yang terbaik. Tiada yang dapat menggantikanmu sayang.”
Akustik band menyanyikan lagu Afgan,


Bawalah Pergi Cintaku
Sempat tak ada lagi kesempatan ku untuk bisa bersamamu
Kini, kutahu bagaimana caraku untuk dapat trus denganmu

Bawalah pergi cintaku ajak kemana kau mau
Jadikan temanmu temanmu paling kau cinta
Disini kupun begitu trus cintaimu dihidupku
Didalam hatiku sampai waktu yang pertemukan kita nanti

“Sayang, bawalah pergi cintaku ini bersamamu. Bawa kemanapun engkau pergi. Seperti kubawa cintamu dalam hatiku selalu.” Kukecup keningnya “Kukan selalu mencintaimu, sebab kau takkan terganti.” lanjutku


Tak ada kata yang keluar dari mulutnya, tiada tanya, tiada jawab. Setelah agak tenang, kuantarkan dia pulang. Dirumah, ada Anis dan Endah, sohibnya yang sudah aku kabari akan berita ini sebelumnya, dan kuminta mereka menemani Rara malam ini.


Kukecup keningnya, “I  love you dear, more than you know.” Dia kembali sesegukan, dan keluar dari mobil, disambut sahabatnya yang sudah menunggu. akupun berpamitan pulang..
Piko menyambutku. Kuelus dia.. “Piko piko piko piko....” dia mengikuti dan menemani sepanjang yang aku lakukan malam itu. Membuka komputer, mengerjakan semua yang perlu aku kerjakan, mengirim berkas-berkas data ke klien-klien, memberikan job description ke adek-adekku yang memegang perusahaan selama aku pergi dan buka FB, kupasang status “Kuada dalam setiap langkahmu, dalam setiap jalanmu, dalam setiap sisi kehidupanmu” setelah itu sign out. Kemudian menelpon Ayah dan Ibu buat berpamitan, hal yang sudah kulakukan berkali-kali, ketika akan tugas keluar kota maupun keluar negeri. Kemudian merebahkan diri dalam kamar, Tak terasa aku tertidur..


Esoknya kuterbangun sangat siang, beres-beres rumah, dan sorepun menjelang, kemudian melajukan kendaraan. Kali ini aku tidak kekantor, tidak kebandara ataupun stasiun kereta, aku menuju ke perbukitan Pantai Parang Tritis di sebelah selatan. Kupakai baju yang serba putih. Disana sudah berkumpul semua saudara-saudara. Lengkap tak terkecuali, jarang-jarang bisa seperti ini. Bahkan Rara pun datang disana. Yang sedikit berbeda semua terdiam. Tak bersuara. Di atas tebing itu dibawah pohon rindang tertuliskan suatu prasasti, “Telah bersemayam dengan tenang, anak, kakak, adik, saudara kami yang tercinta Prasetyo Nugroho” namaku tertulis disana. Ku tersenyum, inilah waktunya. Piko mengikuti dibelakangku, ku elus dia lagi, jaga mereka Piko, Piko mengangguk dan menyalak kecil seakan tahu. Kudekati Rara dan kubisikkan “Kuada dalam setiap langkahmu, dalam setiap jalanmu, dalam setiap sisi kehidupanmu. Bawalah pergi cintaku selalu sayang, seperti kubawa cintamu dalam hatiku selalu.”


Kukecup  ibuku, ayahku, adek-adekku dan kupandangi sodara-sodaraku. Sayup-sayup kudengar suara. “Sudah waktunya”. Kuberjalan ke ujung tebing, terus tanpa ragu akan deru ombak. Aku berjalan diatas angin, menuju cahaya terang kasih yang takkan ada habisnya. Tak kusesali apa yang terjadi, karena semua indah pada waktunya. Kubawa pergi cinta ini bersamaku selalu, engkau takkan terganti Rara. Aku mencintaimu.
~ E.N.D ~

Nb:
Gubahan dari Gema Angin by DeltAries ( Danny H ). http://angelocielo.blogspot.com/2011/02/gema-angin.html
Lagu yang dipakai :
Soundtrack utama : Bawalah Pergi Cintaku by Afgan
Supporting soundtrack : Kau Takkan Terganti by Kahitna






[1] Takkan Terganti dipopulerkan oleh Kahitna dan dinyanyikan kembali oleh Marcell

+ Add Your Comment