LOVE IS YOU (Cerita Bersoundtrack 100% cinta)


By : Erlinda Jilly Madhan

(Soundtrack : Love Is You by Ten 2 Five)

This is how I feel
Whenever I’m with you...

Tania dkk, mengawali pagi ini dengan obrolan tentang lipstik Lady Gaga yang patut dicontek, shocking pink yang wearable. Tania juga membagikan Id card kepada semua siswa yang ada di kelas sebagai perkenalan hari pertama duduk di kelas dua.

Aku duduk sendirian di sudut ruangan, kursi paling pojok kelas. Sungguh terasingkan. Ini semua gara-gara sikap lemot Dinda yang sudah akut itu. Seharusnya dia mempersiapkan hari pertamanya di tahun ajaran baru sebaik mungkin. Tapi apa yang dia perbuat? Dia bangun kesiangan, belum menyetrika seragam, dan sibuk mencari kaos kakinya yang hilang sebelah. Alhasil, dia berangkat sekolah dengan seragam kusut, kaos kaki yang berbeda warna, putih dan pink, panthopel yang berdebu, dan tatanan rambut super straight sleek-nya yang jauh dari kata good looking plus tanpa sarapan pagi. Oh tidak, kakak perempuan yang super kacau!

Seperti biasa, semuanya berdampak pada diriku yang tidak bersalah ini. Aku terlambat masuk kelas, dan harus duduk di kursi yang tersisa tanpa pilihan lain. Seharusnya aku menyesal mempunyai seorang kakak perempuan yang setahun lebih tua dariku seperti Sasha di zaman platinum seperti sekarang. Dia tidak pernah mau sedikit saja fashionable melirik para seleb. Setidaknya dia bisa melirik aku untuk mencontek. Tapi kenyataannya dia terlalu kaku, norak dan sikap friendly-nya amat sangat minus.

Sreett...

Seseorang menarik kursi di sebelahku. Dia duduk di sebelahku, mengobrak-abrik isi tasnya, lalu asik mengotak-atik handphonenya.

“Hei?!” batinku berteriak. Aku hampir saja meneriakkan sebuah yel-yel histerisku, “ini surprise!” ketika melihat wajahnya kalau saja aku tidak menutup mulutku. Diakan Joan, anak basket yang most wanted itu.

“Aku Joan,” katanya tanpa kuminta, juga tanpa menoleh kepadaku. Aku menopang daguku dengan tangan kiri, memandang ke arahnya. Dia melirikku. Kupamerkan pesona senyumku. “Kamu siapa?” tanyanya kemudian.
“Aku Tiara,” jawabku. Joan hanya mengangguk pelan.

Kemudian kami tidak memiliki produksi kata-kata lagi untuk saling bercerita. Begitu juga hari-hari berikutnya. Kami teman sebangku, tapi kami tidak akrab seperti teman-teman lain. Joan cuma berbicara denganku kalau kami ada tugas kelompok berdua. Sikapnya yang cuek itu membuatku semakin berharap bisa dekat dengannya, mungkin lebih dari sekedar dekat. Sepertinya hari ini aku harus berterima kasih pada Sasha karena berkat dia aku dipertemukan dengan duplikat Skandar Keynes pemeran Edmund di film The Chronicles of Narnia.
****

Everything is all about you
Too good to be true

“Eh, Sasha itu kakak kamu, ya?” tanya Joan ketika jam pelajaran sosiologi yang membosankan. Selama dua jam penuh, sudah pasti pelajaran sosiologi akan dihabiskan dengan ceramah yang tidak jelas dan membosankan.

“Sasha? Kamu tahu darimana?” tanyaku. Joan tersenyum. Baru kali ini kami mengobrol ditemani dengan racikan senyum Joan. Biasanya dia tanpa ekspresi bila mengobrol denganku. Entah ada yang salah denganku atau apa, aku tidak tahu. “Memang kenapa dengan kakakku?” tanyaku kembali. Sudah pasti Joan akan mengucapkan kata-kata hinaan mengenai kakakku yang primitif itu.

“Baru aku tanya gitu aja kamu udah ketakutan setengah mati.” Joan terkekeh. Aku memonyongkan mulutku.

“Bukan begitu. Aku cuma khawatir terjadi apa-apa dengan kakakku.”
“Emang Sasha kenapa? Ada masalah?”
“Nggak ada,” jawabku singkat. Aku tidak mau pembicaraan tentang Sasha berlanjut.
“Dia lucu, ya.” kata Joan. Aku mendadak menoleh ke wajahnya.
“Siapa yang lucu?”selidikku.
“Sasha. Kakak perempuan kamu,” ungkapnya. “Tadi aku sempat ngobrol sama dia di ruang BK. Kami sama-sama datang terlambat.” Joan nyengir kuda. Dia seolah bangga memiliki teman seprofesi seperti Sasha.

Aku tidak meresponnya. Pembicaraan tentang Sasha pasti akan sama bosannya dengan mendengarkan ceramah sosiologi.

“Eh, film baru, nih.” Joan mengalihkan pembicaraan. Dia menyerahkan sebuah brosur iklan film terbaru, Jakarta Undercover. Aku melirik sebuah tulisan bertinta merah 17+ di sudutnya.

“Inikan film dewasa,” kataku pelan.
“Nggak masalah kok, Ra. Hitung-hitung biar kamu sedikit tahu tentang dunia orang dewasa.” Joan menjelaskan. Aku memperhatikannya dengan seksama. Aku sangat menikmati sekali setiap detail wajahnya. Aku baru tahu kalau Joan mempunyai dua benjolan merah kecil di pipi kanannya, jerawat yang cantik.


“Emang kamu udah nonton?” tanyaku.
“Belum. Kamu mau nonton sama aku?” tanyanya sembari memamerkan senyumnya.
“Serius?” kataku. Dia mengangguk dan kembali fokus dengan ceramah sosiologi.
Aku kira Joan bercanda, tapi ternyata dia serius. Senin siang sepulang sekolah dia menghampiriku. Dia mengajakku nomat (nonton hemat) di Twenty One.


“Tapi aku nggak bawa baju ganti,” kataku. Karena untuk masuk bioskop atau mall dilarang memakai seragam sekolah meskipun sudah bukan jam sekolah. Kecuali mengenakan sweater atau atasan baju kaos. Joan melepas sweaternya, memberikannya padaku, lalu menyetop sebuah bus. Aku mengekor saja di belakangnya tanpa protes dengan sweaternya yang kebesaran ataupun olokan teman-teman basketnya kepadaku.


Di bus Joan tidak banyak bicara, begitu juga aku. Kami masih seperti di kelas, diam tanpa kata.

Somehow I just can’t believe
You can lay your eyes on me….

Hingga sampai film dimulai, Joan masih juga diam. Aku sudah berusaha untuk mengajak dia ngobrol, apa saja tentang dirinya. Dia tetap saja lebih banyak diam. Malah aku sempat dikatakan bawel. Bahkan berkomentar tentang adegan panas LunMay pun aku tidak boleh. Mau tak mau aku juga harus diam. Joan aneh, tapi aku bahagia bisa bersama dia hari ini.


Sebelum pulang, Joan mengajakku ke sebuah pameran tanaman hias yang berjajar di pelataran mall. Dia memilih sebuah pot dengan kaktus kerdil berbentuk hati warna hijau kemerahan. Joan membelikannya untukku. Meskipun aku tidak menyukai kaktus seperti Sasha, aku terima hadiah pertama dari Joan dengan hati berbunga-bunga.
****
Sudah lima hari kursi di belakangku kosong. Joan tidak masuk sekolah tanpa keterangan. Hari-hariku terasa sangat ganjil. Di kantin tidak nyaman, perpustakaan apalagi. Aku sudah berusaha mencari tahu kabar Joan, tapi hasilnya nihil. Telepon dan SMSku juga tidak pernah direspon. Joan menghilang seperti ditelan ular naga.


Aku tidak punya sahabat untuk bercerita tentang perasaan aneh yang mengerogoti hatiku. Mau curhat dengan Sasha, eh sudah cerita panjang lebar dia malah bengong tidak jelas arah pikirannya. Sasha terlihat lebih aneh dariku. Murungnya itu lho, seperti kesedihan stadium empat untuk menciptakan efek tragis pada episode terakhir.


Bukan hanya aku yang disibukkan oleh Joan. Teman dan guruku juga pusing tujuh tikungan dibuatnya. Aku dengar Bu Ros, guru BP akan mengirimkan surat peringatan kepada orangtua Joan. Bila masih belum ditanggapi maka Joan akan dikeluarkan dari sekolah. Sebentar lagi ujian semester akan dimulai, tapi Joan belum juga masuk sekolah. Bahkan sekedar untuk menemui aku dan menceritakan semua masalahnya pun tidak. Joan memang tidak pernah menyatakan cintanya padaku, tapi kami cukup dekat akhir-akhir ini. Banyak hal kami kerjakan bersama. Bahkan Joan sering mengikutsertakan Sasha di antara kami untuk sekedar nonton drama korea atau bermain game online. Ternyata Sasha lebih menarik perhatian dari pada aku. Tapi aku yakin, Joan menyimpan sepaket cintanya untukku.


Joan, sungguh aku merindukanmu. Seluet-seluet kebersamaan kita selama hampir satu semester ini terus menghantuiku.

Even though we are apart I can feel you here next to me
Here and now I will vow,
stay with me....
****
If this is a fairytale
I wish it will end happily

Suasana bus begitu sesak. Ini masih sangat pagi, namun penumpang sudah membludak. Terpaksa aku berdesak-desakan berdiri di dalam bus demi mengejar dua puluh menit sebelum bel. Aku ingin piket kelas, menyelesaikan PR sejarah dan meminta bocoran soal ulangan fisika dari Levi anak emas guru fisikaku. Levi janji akan menemuiku di perpustakaan sebelum bel masuk.

Aku bersyukur sistaku yang kuper itu merelakan aku pergi ke sekolah tanpa harus menunggunya selesai sarapan dan nonton spongebob sampai mendekati pukul tujuh teng. Dia biasa melakukan itu, hingga dia sering dijuluki ratu ngaret di kelasnya. Katanya dia tidak masuk sekolah hari ini. Aku tanya kenapa, dia hanya menjawab dengan sebuah gelengan kepala. Mungkin dia sakit, pikirku.

Pluuukk...

Sesuatu menghantam kepalaku.
“Aw! Sakit.” aku meringis. Aku menoleh ke belakangku. Seorang lelaki tinggi melebihiku berdiri tanpa rasa bersalah karena sikunya telah menyenggol tengkorak pelindung otakku. Kuakui, tubuhku tidak setinggi galah dan tidak sebesar pohon beringin. Tubuhku mungil dengan kadar emosi di atas rata-rata.

Aku menengadah ke atas untuk memastikan siapa pemilik tangan itu. Dia sedikit menunduk. Mata kami bertemu pandang.

“Joan!” kataku setengah berteriak. Joan kikuk. Entah apa yang ada di pikirannya saat itu, dia buru-buru menyetop bus dan turun.

Aku melupakan piket kelas, PR sejarah dan ulangan fisika. Aku menyusul Joan. Aku ingin tahu apa yang dia lakukan selama seminggu ini tidak masuk sekolah.

“Joan, tunggu aku!” teriakku. Langkah Joan semakin cepat. Aku tidak peduli dia tidak mau bertemu denganku. Aku hanya peduli dengan masa depannya. Aku tidak mau dia dikeluarkan dari sekolah hanya karena masalah sepele.

Aku mengejarnya sekuat tenaga. Huuff, aku meraih lengan Joan. Dia menepisnya. Dia terus berjalan menuju sebuah tempat, Kambang Iwak. Sebuah kolam ikan yang terletak di kawasan rumah dinas walikota Palembang yang dipercantik dengan berbagai aksen taman. Deretan cafe yang berjajar di pinggir kolam terlihat masih sepi.

Joan duduk di kursi taman yang bersandar pada sebuah pohon besar yang rimbun. Dia hanya memandang lurus ke depan, menatap cucuran air mancur yang berirama. Aku duduk di sampingnya. Melakukan seperti yang dia lakukan, menikmati suasana pagi di Kambang Iwak.

“Kenapa kamu mengikutiku, Ra?” Joan memecah keheningan.
“Karna aku peduli padamu,” jawabku.
“Kenapa kamu peduli pada lelaki manja dan tidak berguna sepertiku? Lelaki yang selalu dianggap seperti anak kecil.” Aku sedikit kaget dengan suara bariton Joan. Dia seperti bukan Joan yang kukenal.

“Aku tidak pernah menganggapmu seperti itu. Karena aku sahabatmu, Jo.” Aku meraih jemarinya. Padahal aku ingin sekali mengatakan bahwa aku sangat mencintainya. Tapi kupikir ini bukanlah waktu yang tepat. Joan meremas jemariku. Aku seperti mendapatkan setruman di sekujur tubuhku.

“Ra,” Joan menatapku. “Apa kamu akan tetap menjadi sahabatku bila aku melakukan sebuah kesalahan besar?” Aku tersenyum. Dalam hati aku berkata, kesalahan apapun yang kaulakukan pasti akan kumaafkan, Jo. Cinta ini tidak akan memudar barang segorespun.

“Tentu saja, aku akan tetap menjadi sahabatmu,” jawabku. Joan menatapku lebih dalam. Oh Tuhan, aku speechless. Sungguh tatapan elang itu membuat hatiku seperti keju meleleh.

“Meskipun...” Joan ragu. Dia menggantung kalimatnya
“Meskipun apa?” tanyaku tidak sabaran.

Joan memperlihatkan muka seriusnya. “Meskipun aku menghamili kakakmu?” Mendengarkan kalimat itu rasa geli sungguh menggelitik, aku tertawa. Bagiku itu adalah sebuah lelucon terkonyol yang pernah ada. “Aku serius, Ra!” Joan memegangi kedua bahuku.

Tawaku tiba-tiba terhenti. “Joan?” Aku menatapnya tak percaya. Namun tatapan itu seolah menjawab semua kebenaran. Pantas saja Sasha seperti menyembunyikan sesuatu padaku. Ternyata Sasha...

“Maafkan aku, Ra. Aku khilaf.” Joan serius. Tidak! Ini tidak mungkin terjadi, berontakku. Sasha dan Joan tidak pernah benar-benar saling mengenal. Buru-buru aku melepas genggaman Joan.

Plaakk!

Sebuah tamparan kulayangkan ke pipinya. Itu untuk kekurangajarannya pada Sasha.
“Khilaf?” aku memelotinya. Plaakk! Tamparan kedua kembali mendarat ke pipinya, itu mewakili perasaanku yang hancur berkeping-keping. Joan tidak bergeming. “Aku tidak menyangka khilafmu sampai begitu besarnya, hingga kakakku hamil. Padahal kita teman sebangku. Seharusnya kamu menghargai aku, Jo!” Aku tidak lagi peduli dengan nada bicaraku. Meskipun beberapa orang yang jogging menoleh padaku.

“Aku terima bila kamu marah padaku. Tapi satu hal yang harus kamu tahu, Ra. Aku menyukai Sasha. Aku akan bertanggung jawab atas perbuatanku.” kata Joan masih dengan wajah memelasnya yang membuatku muak.

“Aku tidak akan bisa memaafkanmu, Jo!” Aku berdiri dan hendak meninggalkan Joan ketika seorang polisi Pamong Praja alias Pol-PP memanggilku.

“Saya, Pak?” aku menunjuk diriku sendiri.

“Iya, siapa lagi?” kata Pak Pol-PP tegas. Setegas hakim memutuskan perkara sidang. Aku menoleh pada Joan. Baru kusadari kalau Joan tidak memakai seragam putih abu-abu sepertiku. Tamat sudah riwayatku pagi ini. Hatiku sudah hancur berkeping-keping, digilas buldozer pula.

****
Let me love you
With all my heart
You are the one for me
You are the light in my soul
Let me hold you
With my arms
I wanna feel love again
And I know
Love is you



Tokyo, enam tahun kemudian….
Aku disibukkan dengan setumpuk file yang ada di atas meja kerjaku. Hampir saja aku pingsan ketika Mr.Kyuuichi mengantarkan setumpuk kertas yang harus aku selesaikan hari ini juga. Padahal dia tahu, besok long weekend libur tahun baru. Waktu yang seharusnya kumanfaatkan sebaik mungkin untuk refreshing.


Excuse me,” sebuah suara memaksaku harus mengalihkan pandangan dari layar komputer. “Can you tell me the way to Mr. kyuuichi room’s?”


Aku mendongakkan kepala. Sebuah senyuman mengembang membuat hatiku seperti lelehan keju.


“Tiara?” katanya kaget.


“Joan.” aku bergumam. Aku seperti baru saja terbangun dari tidur dan mendapati dinosaurus langka yang telah punah memelukku dengan penuh kerinduan.


Akhirnya setelah menyelesaikan pekerjaanku di kantor, kami memutuskan untuk menghabiskan long weekend bersama. Joan mengajakku jalan-jalan menikmati Tokyo Tower, menara berpenopang baja tertinggi di dunia, bentuknya mirip menara Eiffel. Sepanjang perjalanan Joan bercerita tentang perceraiannya dengan Sasha. Aku sudah mengetahui itu satu tahun yang lalu sebelum aku berangkat ke Jepang. Sasha sering menangis karena bertengkar dengan Joan.


Joan juga bercerita tentang Mayka anaknya. Sekarang Mayka mulai masuk ke sekolah dasar. Dan Joan datang ke sini untuk menangani sebuah proyek dari perusahaan tempat dia bekerja di Jakarta.


“Kenapa kalian bercerai, Jo? Mayka sangat membutuhkan kalian.” kataku sambil menikmati coklat panas yang dibelikan Joan.


“Maafkan aku, Ra. Aku tidak mencintainya.” Joan menggosok-gosokkan telapak tangannya. Udara memang sedikit dingin.


“Apakah kehadiran Mayka tidak cukup untuk membuatmu mencintai Sasha?” tanyaku kembali.


“Aku sudah berusaha, Ra. Tetap saja, aku hanya sebatas menyukai Sasha. Tidak bisa mencintainya.”


“Lalu siapa yang kamu cintai kalau bukan Sasha? Kamu harus ingat Jo, kamu telah merusak masa depan Sasha!” bentakku. Aku tidak terima dia mempermainkan kakakku.


“Aku mencintai kamu, Ra.” Glek, aku menelan ludah. Dari dulu aku merindukan kalimat itu. Tapi kenapa harus terucap ketika semuanya telah berbeda.


Malam semakin larut. Tokyo masih benderang seolah tidak pernah tidur. Seperti rasa cintaku pada Joan. Terus bertahan meskipun banyak yang harus dikorbankan, meskipun musim dan waktu telah berganti, rasa ini tetaplah satu. Love is you, Joan……
****

Palembang, 5 Juni 2011

Saran ^^
Cerita ini akan terasa nikmatnya bila menikmati suasana malam sambil ditemani dengan sepotong video yang bisa didownload di :
dan dihangatkan dengan segelas teh atau kopi. Lalu, kenanglah seseorang itu....







+ Add Your Comment