TENTANG MEREKA, TENTANG HUBUNGAN SEGITIGA KAMI

By: Wiladah El-Fairy Liandra

            

Hari semakin sore. Warna jingga sudah turun memenuhi cakrawala yang mulai berganti warna karena mentari sudah ingin kembali ke peraduannya. Entah aku melihat apa jauh ke depan sana. Rasa hampa yang menyelimuti hatiku menggebu-gebu. Ingin rasanya aku menumpah rasa ini ke dalam ember besar dan menutupnya agar tidak lagi mendekatiku. Tapi, apa dayaku sebagai hamba yang lemah? Sejak kembali pulang ke kampung halaman, sejak melihat keadaan Bunda, juga sejak menatap wajah Ayah perasaan hampa itu datang. Aku merasa beda. Duduk bersama ayah juga bicara dengannya. Aku merasa hancur. Melihat keadaan bunda. Aku ingin menggantikannya.

“Anja, kamu sedang melihat apa nak?” tanya ibu dengan segenap kekuatannya. Badannya yang lemah sudah membuatnya pasrah dan tak bisa bangkit untuk mengurus dirinya sendiri.
“Senja Bunda,” jawabku sambil mendekatinya. Bundaku yang malang. Strok membuat badannya lumpuh. Ditambah lagi penyakit jantungnya yang selalu kambuh beberapa kali dalam seminggu. Aku tidak tega melihat bunda menderita.
“Waktumu banyak tersita untuk menemani bunda. maafkan bunda ya, Nak.”
“Bunda, jika tidak merawat bunda saat sakit seperti ini, apakah yang anja harus kerjakan? Bukankah itulah yang seharusnya Anja lakukan sebagai seorang anak yang sangat mencintai bundanya dan sebagai bentuk kebaktian Anja. Siapa lagi yang akan merawat Bunda selain Anja?”

Bunda menangis. Air mata mengalir membasahi pipinya yang sudah keriput. Dokter memang memvonis bunda bisa meninggal kapanpun. Tapi, aku selalu berdoa semoga bunda masih bisa melihatku sampai dua tahun atau selamanya. Saat aku diwisuda, menikah dan melahirkan, aku ingin ada bunda di sampingku.
Aku keluar kamar. Meminta izin untuk membasuh wajahku yang tegang dan kering. Sekalian saja aku mengambil air wudhu juga. Di tempat wudhu aku melihat ayah. Dia mematung sambil melihat jauh kedepan. Aku bertanya – tanya, apakah yang tengah ayah pikirkan? Apakah dia memikirkan Bunda yang sedang sakit? Atau ada pikiran yang lainnya?
Aku jadi ingat masa kecilku. Ayah selalu memanjakanku setelah tau bahwa Bunda tidak bisa memberinya anak lagi. Aku adalah anak kesayangan beliau dan beliau berusaha untuk memeliharaku sebaik mungkin. Mengajariku segala macam  ilmu: agama, matematika tentang bahasa yang unik-unik, tentang alam juga tentang hidup. Ayah ingin aku menjadi wanita yang cerdas dan tangguh. Tapi satu hal yang kuingat, aku tak pernah mengatakan kalau aku begitu sangat mencintai ayah. Aku tak pernah mengatakannya sejak aku bisa mengurusi diriku sendiri. Aku merasa jauh dari ayah.
“Anja? Lo, kenapa melamun di sana?” tanya Ayah.
Aku mengkerutkan kening. Sejak menjadi remaja aku agak canggung bergaul dengan ayah. Tapi, bohong! Masa gara-gara itu aku jadi tidak bisa lagi memeluk ayah? Mungkinkah karena hal itu juga hatiku rasanya hampa selama ini? Mungkin juga karena Bunda yang tak seperti dulu?
“Melamun? Lo, ayah juga tadi melamun.” Sergahku.
Ayah tersenyum. Kerutan-kerutan diwajahnya yang menandakan bahwa beliau sudah menempuh sekian tahun untuk berjuang hidup sungguh jelas terlihat di wajah yang teduh itu.
“Ayah tidak melamun. Ayah hanya mengingat-ingat kapan Bundamu perlu diperiksa dokter lagi,” kata Ayah. Tapi matanya yang redup itu tidak melihatku.

Aku tau Ayah bohong. Bukan itu yang sebenarnya diapikirkan. Matanya tidak bisa berbohong. Matanya basah karena air mata. Aku tau itu. Mengapa Ayah tidak mau berbagi denganku? Mungkin jika aku mengatakan aku sangat menyayanginya, Ayah mau berbagi denganku.
“Ayo segera ambil air wudhu! Kita shalat berjamaah.”
Ayah, bunda dan aku shalat magrib berjamaah. Bunda yang tidak bisa bengun shalat dengan posisi tidur. Aku suka sekali momen-momen seperti ini. Menghadap tuhan bersama-lama dengan keluarga besarku. Suara Ayah yang merdu membawaku masuk jauh kedalam khayalanku tentang ALLAH. Aku berharap bisa berhadapan dengan-Nya empat mata. Sungguh sangat banyak yang ingin aku diskusikan dengan ALLAH. Aku ingin bertanya : bolehkah aku melihat buku takdir?

Selesai shalat aku menyuapi bunda kemudian membantu beliau minum obat. Ayah tak pernah ada saat aku tengah bersama Bunda. Mungkin Ayah memberiku kesempatan berdua dengan bunda.
“Anja, sampai kapan kamu liburan kuliah?” tanya Bunda.
“Dua bulan, Bunda. Berarti satu setengah bulan lagi. Bunda, jangan membicarakan masalah sekolah dulu ya. Anja ingin konsentrasi merawat Bunda.”
Bunda tersenyum lemah. Aku merasa walaupun bunda sudah berumur 50 tahun, wajah cantiknya masih saja memancar. Ayah memang tidak rugi mendapatkan Bunda.
“Kau sudah bicara dengan ayahmu?” tanya Bunda lagi.
“Ha? Bicara?” kataku kaget. “Bicara apa, Bunda?”
“Bicaralah padanya. Bentuk lagi kemesraan kalian yang dulu. Bunda tau sejak kamu remaja, kamu dan ayahmu menjadi agak renggang. Ayahmu berfikir bahwa tugasnya membimbingmu telah selesai. Selanjutnya tugasnya adalah mengawasimu. Walaupun dia hanya diam, sebenarnya banyak yang telah dialakukan. Apa kau tak merasakannya, Nak?”
Aku mengangguk. Mataku rasanya sangat berat. Aku ingin menangis. Mengapa bunda tau?
“Bunda tau perasaan kalian berdua.”
“Aku rindu masa-masa bersama ayah seperti yang dulu, Bunda.”
Bunda tesenyum lagi. Sedangkan aku sudah menangis. Bunda mengelus pelan kepalaku.
Ah, aku ingin mengajak ayah jalan-jalan. Kepantai, ke sawah, ke pasar, ketaman ria, ke perpustakaan, ke pesantren-pesantren dan ketempat-tempat yang menurut ayah bisa menambah ilmu pengetahuanku. Aku ingin mendengar penjelasan ayah tentang semua hal yang aku tanyakan berulang-ulang kali. Ayah selalu menjawabnya dengan senyum tanpa mengatakan “kau sudah menanyakannya 10 kali”.
“Bunda, mengapa ikatan antara ibu dan anak lebih kuat daripada ayah dengan anak?” tanyaku.
“Siapa bilang? Ikatanmu dengan ayah begitu kuatnya. Ingat waktu kamu sakit setahun yang lalu? Ayah yang menyuruh Bunda menelponmu. Dia bilang perasaannya tidak enak dan selalu mengingatmu. Iya kan?”
Aku mengangguk.
“Ayo, sapa Ayah! Sejak kembali ke sini bunda tidak pernah melihatmu bercanda dengan ayah.”
Aku menggeleng. “Aku ingin bersama bunda dulu,” kataku kemudian memeluk bunda. Aku sayang bunda juga. Aku sayang kalian berdua.

****

Selesai shalat subuh aku mengelap badan bunda. Karena beliau tidak sanggup beranjak dari peraduannya, jadi Bunda tidak mungkin mandi. Setelah itu aku menyiapkan sarapan untuk kami bertiga, keluarga kecilku. Saat itulah ayah menemani Bunda. Saat aku tidak ada di samping Bunda. Aku berfikir mungkin Bunda benar. Aku harus mengatakan sesuatu pada Ayah. Tapi, bagaimana caranya?
Ah, mungkin dengan menawarinya sarapan bersama?
“Ayah, mau sarapan bersama?” tanyaku memasuki kamar mereka berdua, pasangan suami istri terserasi sedunia itu. Di tanganku ada tiga piring makanan yang kubawa dengan nampan besar.
Ayah melongo. Bunda tersenyum. Aku membalas senyum bunda.
Akhirnya kami makan bertiga. Tapi, tanpa suara. Tidak ada yang mau memulai pembicaraan. Bunda juga tidak. Aku menunggu. Apa mungkin ayah juga menunggu? Aku baru tau kalau Ayahku pemalu.

Setelah sarapan dan meminum obatnya, bunda istirahat. Ayah juga. Karena bunda sakit maka Ayah tidur di luar. Aku menemani Bunda sambil membaca buku sampai tertidur. Dan saat aku terjaga saat adzan dzuhur berkumandang, aku melihat Ayah menggenggam tangan Bunda. Ayah menangis. Perlahan dia meletakkan tangan Bunda di dada dan menutuh tubuh Bunda tak terkecuali wajah dengan kain. Aku syock. Air mataku mulai mengalir. Kupeluk Bunda sambil mengangis.
“Bunda, Bunda mengapa pergi?”
“Anja, jangan menangisi kepergian Bundamu seperti itu. Nanti arwahnya tertahan.”
Aku melihat wajah Ayah. Ayah memang terlihat tenang, tapi mata itu sama sekali tidak bisa membohongiku. Kami saling menatap. Aku ingin mengatakan sesuatu –setidaknya kata – kata yang membuat ayah merasa tidak sendirian- tapi tidak bias kukatakan. Mungkin ayah juga seperti itu.
“Ayah, aku tidak tau apa yang harus kukatakan, jadi kukatakan saja aku…aku sayang padamu,” kataku kemudian aku berlari memeluknya. Ayah membalas pelukanku. Aku merasakan cinta Ayah. Kasih sayang Ayah yang seperti waktu aku kecil dulu.
“Ayah juga manyayangimu.”
“Aku akan pindah kuliah agar ayah tidak sendirian,” kataku lagi. Ayah hanya tersenyum mendengar kata-kataku.
Entahlah, hatiku terasa lega sekali setelah mengatakan kata-kata itu. Aku kembali melihat Bunda. Kembali memeluknya. Bersandar sejenak di pundaknya seperti kemarin-kemarin saat dia masih bisa tersenyum. Masih bisa menasehatiku. Saat aku membuka mata, orang-orang kampung sudah memenuhi rumahku. Menangis. Menyampaikan bahwa mereka juga berduka cita.
Bunda, terimakasih atas cintamu. Cintamu yang unik dan tak pernah pudar. Bunda pasti tidak pernah akan merasakan sakit lagi.


Untuk Ayahku.
Aku ingin sekali mengatakan:
Aku sangat menyayangi Ayah.
Aku ingin mengatakannya sambil memelukmu.
Juga untuk Bundaku
I love you very much
1 syawal 1431 H

TAMAT

2 Person has expressed his thoughts, Now you turn guys!

  1. cerpen untuk ayahku. tapi nggak pernh berani kasi baca

  2. Anonim

    miss my dad in kampoeng hahaha

+ Add Your Comment