MY ASDOS … MY IDOL (Cerita Bersoundtrack 100% cinta)


By : Endang SSN

Rintik gerimis perlahan menyapa
Menabuh genderang rindu yang kudekap
Membayang serupa wajah
Namun kata selalu saja kelu
Entah …

Masih kuingat rangkai kata yang pernah ada, setiap kali hendak kuakhirkan malam. Seraut wajah membayang, senyumku tunduk dalam simpul rasa. Duhai penimbang rasa, adakah benih tak biasa menyuntingmu kini? Seperti aku, terjerat asmara.

Anganku terbang pada raga lelaki sederhana yang senantiasa teduh dalam pandang. Ah, indah itu membuaiku malam ini. Perlahan kubuka jendela kamar, bintang tersenyum menyambutku. Hati kembali menjelajah jejak-jejak rasa yang sempat membuatku tersudut dalam sebuah kesejatian, tepat di koridor kampus hijau kita. Sifat cuek dan masa bodoh yang selama ini begitu lekat denganku seketika berubah, ketika tanpa sengaja aku menjumpamu. Sapaan penuh hangat dan kelapangan hati sangat terasa, sesaat setelah lontaran kata maaf atas salah yang tak kau lakukan mendarat dalam sebuah jabat erat.
“Maaf, aku nggak sengaja membuat buku-bukumu jatuh begini” Ucapmu seraya memunguti satu persatu diktat kuliah yang baru saja aku pinjam dari perpustakaan.
“Maaf ? Seharusnya aku yang minta maaf. Aku yang salah kok”
Senyummu terkembang, duh manis sekali. Hatiku berbunga. Inikah cinta pada pandangan pertama ? Ah tidak …. Aku tak pernah percaya dengan hal itu.
Dia berlalu, aku masih termangu. Entah ajian darimana yang membuatku terpaku di koridor kampus. Hingga sebuah tepukan di pundak membuatku terkejut.
”Hayo, ngelamun terus. Awas ada setan lewat, nggak ketahuan ntar” Ujar Hesti.
”Heehehe ... Setan ya emang nggak kelihatan. Yang tampak jelas itu ya kamu”
Pertemuan pertama dengannya menyisakan serpih asa baru di langit hatiku. Setiap kali melewati koridor itu, sengaja kuperlambat langkah. Berharap wajah teduh itu akan kujumpa kembali. Sayang, hingga satu minggu, usahaku hanya sia-sia belaka. Kukubur perlahan kagum yang sempat berkelebat ringan.
Waktu kembali merangkulku dalam kesibukan sebagai Mahasiswi Pertanian dengan sederet praktikum, tugas serta kegiatan aktifis lainnya. Nyaris tempat kos layaknya kamar hotel yang hanya kusinggahi kala malam, sebagai tempat melepas lelap. Hari liburpun masih tergenapi dengan beberapa kegiatan muslimah, sebagai sarana agar hidup tak hanya untuk tujuan dunia semata. Sebuah kepastian tentang praktikum salah satu mata kuliah, mengharuskan kami untuk melakukan pendaftaran ulang di sekretariat. Deg, gemuruh petir seakan menandakan keterkejutanku siang itu. Dia yang selama beberapa minggu ini kucari, ternyata menjadi asisten dosen. Bunga-bunga rasa kembali membuncah dalam hati, ada kesempatan yang terbuka lebar. Setidaknya selama satu semester ini, aku dapat bertemu dengannya setiap hari Rabu. Sungguh, hati ini rasanya ingin melompat karena senang. Terima kasih, Rabb.
***
            Dimar Aditya, akhirnya aku dapat mengeja nama itu. Sebuah nama yang tertulis dengan jelas sebagai Asisten Dosen untuk mata kuliah Dasgro. Tapi kenapa sikapnya menjadi sangat dingin. Apa mungkin ia sedang menjaga jarak dengan para junior? Tapi untuk apa? Ah, kubiarkan saja riak-riak kecil yang bersenandung dalam hati, semoga gundah ini segera berlalu.
            ”Hey, sedang apa kau ? Kok tanamannya dibiarkan begitu. Ayo cepat distek, waktunya hanya sebentar lho”
            Aku sadar ketika Hesti menegurku dengan lantang. Rabb, apa yang terjadi denganku. Bagaimana bisa aku lebih memperhatikan Dimar dibandingkan tugas ini. Tapi sungguh, Dimar benar-benar telah mencuri separuh hatiku. Lalu separuhnya ? Masih aku tahan agar tak terjerat lara jika semua ini hanya mimpi nantinya. Biarlah aku menjadi pemuja rahasianya, jika hanya itu yang waktu berikan kepadaku. Sebuah pemandangan mengejutkan sempat menoreh bimbang. Dimar terlihat begitu ramah dan sumringah ketika membimbing seorang mahasiswi bernama Tika. Gadis cantik dari Jakarta itu memang menjadi idola di kampus, tapi aku masih tak percaya jika Dimar menjadi salah satu pemuja rahasianya juga, seperti teman-teman lelakiku lainnya. Ah, entahlah. Ada cemburu yang singgah, andai kau tahu.
***
            Lelaki sederhana,
            Wajah teduhmu tak pernah membuat rasaku redup
            Geliat lirih dalam kalbu menanti uluran bersambut
            Adakah kau tahu ?
            Akulah perempuan pecandu rasa
            Menantimu menyemai cinta
            Entah, pada hitungan keberapa aku menulis segenap titian rasa yang menjeratku. Inikah cinta pertama ? Mengapa manis yang dikabarkan oleh dewi cupid tak seperti pahatan rasa yang kupeluk kini. Aku nelangsa, sungguh.
            Diantara tumpukan rasa yang kusemai untuk Dimar, aku masih menjadi Mahasiswi Idealis yang ingin mencapai sebuah pembuktian bahwa tak selamanya seorang aktifis akan terlambat menyelesaikan kuliahnya. Jika mau berusaha, aktifispun dapat mencapai predikat cumlaude tanpa harus mengorbankan segala kegiatannya. Hidup memang pilihan namun jika dapat membuat keduanya sejalan, mengapa harus mengubur salah satu kepentingan. Salah satu targetku kala itu adalah dapat lolos dalam salah satu tawaran beasiswa bergengsi yang nominalnya cukup besar, bahkan dapat membiayai seluruh kebutuhan dan biaya kuliah. Aku dan Hesti bergegas menuju gedung Rektorat untuk mengambil formulir pendaftaran. Tanpa sengaja kami melewati sebuah papan pengumuman. Ada yang tiba-tiba menggelitikku, sebuah pengumuman penerima beasiswa tahap sebelumnya. Great ... Tak pernah kusangka. Nama Dimar Aditya, berada di posisi pertama dengan indeks prestasi kumulatif 3,82. Subhanallah, lelaki berwajah teduh itu benar-benar bisa dibanggakan. Meraih nilai dengan predikat diatas rata-rata. Tak salah, jika begitu banyak mahasiswi yang mengaguminya. Ah, rasanya semakin ciut saja nyaliku untuk menyunting hatinya. Mungkinkah asa bersambut ? Atau Ia hanya pelengkap kisah sementara saja.
            ”Ada apa, Estin ?”
            ”Hes, coba kau lihat. Kenal nggak dengan yang berada di peringkat pertama ini ?”
            ”Dimar Aditya? Bukankah dia Asisten Dosen Dasgro? Lelaki yang selama ini kamu puja-puja kan ?”
            Aku tersipu. Ada senang bercampur gemuruh tak biasa dalam kalbu.
            ”Tapi dia nggak pernah tahu” Sahutku
            ”Karena kamu nggak pernah memberitahunya”
            ”Mana mungkin ?”
            ”Kenapa nggak ? Siapa tahu kalau dia mengerti apa yang kau rasakan, dia akan memperhatikanmu”
            Penjelasan Hesti sempat membuatku berfikir, menguji nalar mencari pembenaran atas segala nasehatnya. Namun nihil. Aku masih buntu dalam tanya.
***
            Tak terasa semester tiga akan segera berakhir. Aku masih setia menjadi pemuja rahasianya. Ujian praktikum menjelang, ada tekad dalam diriku. Aku harus menjadi yang terbaik, setidaknya inilah cara yang kupilih agar Dimar dapat mengingatiku dengan cara yang berbeda. Sejenak aku memilih menghilang dari kesibukan kampus dan benar-benar mempersiapkan diri untuk ujian ini. Ternyata cinta bisa membuat kita menjadi luar biasa, yakinlah. Aku masih nervous hingga hari ujian tiba. Mendapat tempat di deret paling depan, seolah waktu dan ruang sengaja memberiku kesempatan untuk melihat Dimar dengan jelas. Duh, senyum itu, selalu saja membuatku tak bertahan dalam salju hati. Kutahan gejolak rasa yang mulai menyembul, soal ujian ini harus menjadi pembuktian sebenarnya. Mengalihkan pandang dari senyumnya, adalah hal paling bijak yang kutempuh. Dan akhirnya, sukses menghabiskan semua soal. Usaha telah selesai, hasilnya ? Pasrah padamu, Rabb.
***
            Dua minggu setelah ujian praktikum, aku dan Hesti kembali melewati koridor yang sama, tempat pertemuan pertamaku dengan Dimar. Tak ada harapan yang kubangun di pagi itu, mentari yang cerah sengaja kuacuhkan. Hatiku mulai terserang dingin oleh sikap Dimar yang tetap biasa.
            ”Hey, Selamat ya” Sebuah tangan terjulur
            “Mas Dimar ? Selamat untuk apa ?” Tanyaku heran dan gugup
            “Kamu menjadi yang terbaik dengan nilai ujian praktikum tertinggi. Kok bengong sih ? Pasti belum lihat pengumuman ya”
            Aku dan Hesti segera brgegas menuju papan pengumuman, tak sabar rasanya untuk melihat dengan jelas berita yang Dimar kabarkan. Rabb, sungguh nikmat luar biasa kau hadiahkan di pagi ini. Aku sumringah. Ucapan selamat dari beberapa teman membuatku semakin percaya diri. Sesaat aku menoleh ke belakang, mencari sosok lelaki yang hampir satu tahun ini sangat mengganggu tidurku. Kulihat Ia mengacungkan tangannya, tanda ucapan selamat.
            “Mas Dimar, semoga dengan ini kamu akan mengingatku dan memberiku celah untuk menempati ruang dalam hatimu” Bisikku dalam hati. Hanya dalam hati sebab aku tak pernah punya keberanian untuk mengatakan semua ini kepadanya. Lidahku terlalu kelu dan aksara yang kumau tak jua kujumpa. Adakah kau bawakan kata-kata indah itu suatu hari nanti ? Semoga.
***
            “Estin, ayo cepat sebelum Pak Cahyo pergi, kita harus mengurus berkas-berkas ini” Kulihat Hesti begitu tergesa.
            Kusejajarkan langkah, ketika sebuah pertanda dari Hesti membuatku terkesiap tiba-tiba. Di ujung koridor kampus, aku melihat Dimar tengah bercanda dengan Tika, gadis cantik yang sempat membuatku cemburu. Aura yang tak biasa tak lagi mampu mereka tutupi. Bisik beberapa teman semakin membuatku tak mampu membendung gelora hangat yang hendak keluar dari mata. Tak bisa, aku takkan membiarkan diriku menangis disini. Semakin dekat, hatiku semakin bergejolak. Tidak, bagaimana bisa semalam dia menyemaikan mimpi dalam angan cintaku namun pagi ini semua hancur berkeping.
            “Estin, kamu disini juga ?” Tanya Dimar
            Aku hanya mengangguk pelan.
            “Aku duluan ya”
            “Loh, kok cepat banget, Mas ? Bukannya mau ketemu Pak Cahyo juga ?” Hesti berusaha mencairkan suasana
            ”Nggak, aku hanya mengantarkan Tika”
            Deg, sungguh rasa hatiku semakin tak menahan. Dia mengantarkan Tika ? Sebegitu pentingnya perempuan itu untuknya ?. Tak salah lagi, aku telah keliru menempatkan rasa. Hati Dimar tak pernah terbuka sedikitpun untuk menerima tawaran hatiku. Dan aku hanya bisa memendam segenap harap serta kecewa bertubi itu dalam hati. Aku hanya bisa menjadi pemuja rahasia yang bersembunyi dibalik senyum untuknya. Sekalipun patah berkeping, aku tak pernah bisa membencinya. Mungkin karena batas antara cinta dan benci itu sangat tipis. Semua berita dan rangkaian cerita yang berkembang tentang Dimar, tak pernah kulewatkan sekali saja. Bahkan ketika di tahun berikutnya, kudengar kabar bahwa mereka berdua telah putus. Semula aku beranggapan bahwa aku akan sangat sumringah jika hubungan mereka kandas, tapi nyatanya aku salah. Aku turut merasa berduka, apalagi melihat lelaki berwajah teduhku itu bermuram durja. Begitu besar cintanya pada Tika, sayang tak seindah yang diharapnya pada akhir. Rangkaian puisi masih terus mengalir untuknya, sekalipun hanya dalam ranah yang kupunya. Dia tak pernah tahu, takkan pernah tahu. Sebab aku memilih menikmati rasa ini sendiri, sebagai pemuja rahasianya.

            Dimar, mungkin kau takkan pernah tahu
            Betapa mudahnya kau untuk dikagumi
            Mungkin kau takkan pernah tahu
            Betapa setiap malam puluhan puisi mengalir untukmu         

Dan akhirnya, Dimar memang tak pernah tahu. Hingga dia lulus sebagai Sarjana Pertanian dengan predikat Cumlaude, dua tahun setelah aku mengenalnya. Sebuah perpisahan yang kemudian tak pernah mempertemukan kami lagi. Aku juga tak bisa memandang punggungnya saat dia meninggalkan kota ini.

Dimar, aku benar-benar telah menjadi pemuja rahasiamu.
Tersembunyi di balik sepi yang masih mendekapku
Apa kabar kau, My Asdos, My Idol ?

+ Add Your Comment