MENYINGKAP TABIR DALAM BUKU BERJUDUL TEPI WAKTU TEPI SALJU KARYA SONI FARID MAULANA

By: Moh. Ghufron Cholid

Secara umum buku puisi TEPI WAKTU TEPI SALJU karya Soni Farid Maulana ini terbagi atas empat sub:

1. Dunia Tanpa Peta (1983-1985)
2. Bulan Roboh di Ranjangku (1986-1990)
3. Percakapan (1990-19980
4. Variasi Maut Dalam Hujan (1996-2004)

Adalah sebuah yang tak bisa disangkal dalam tiap pembuatan sebuah buku, terkadang judul buku diambil dari puisi yang dianggap paling mewakili atau dianggap paling bermutu yang bisa dikatakan ruh dari sebuah karya. Demikian Soni Farid Maulana memcoba mengetengahkan buku ini ke tengah-tengah kita sebagai pembaca. 

Ada baiknya kita telaah bahasa ungkap yang disampaikan penyair agar kehadiran karya ini bisa dirasakan oleh kita sebagai pembaca. Menurut pengamatan saya, hal yang sangat menari pada pembahasan Dunia Tanpa Peta yang merupakan sub pertama dalam buku ini yang memuat puisi sekitar 13 puisi yang dipilih oleh penyair Soni farid Maulana (1983-1985),berada pada bait keempat yakni;

terjerat kejalangan nafsu kota
berlumur tangis pelacur, keringat para kuli
kondektur, tukang becak, dan penyemir sepatu.
sungguh kalbuku sakit ditikam pisau kegelapan
saat kau usir Tuhan dari hati kemanusianmu.

Tanpak jelas betapa penyair sangat gelisah dengan panorama yang disaksikan lalu diabadikan dalam puisinya. Barangkali kegelisahan yang telah diabadikan menjadi tariqoh tersendiri dalam memahami hidup sehingga kegetiran yang dirasakan penyair bisa juga dirasakan pembaca, barangkali penyair memiliki visi dan misi agar kita selalu menghidupkan Tuhan dalam tiap detak waktu. 

Dalam sub kedua buku ini diberi judul Bulan Roboh di Ranjangku memuat 18 puisi pilihan yang ditulis dalam kurun waktu (1986-1990). Sungguh merupkan penyeleksian puisi yang tak main-main. Penyeleksian puisi yang dilakukan secara ketat jika kita telaah. 18 Puisi ini sengaja dijadikan dalam satu rumpun keluarga. Namun saya di sini tak ingin membahas kedelapan belas puisi tersebut secara detail. Saya hanya ingin membedah hikmah yang ada dalam puisi berjudul Bulan Roboh di Ranjangku karena memang saya berkeyakinan, pemilihan ini sudah melalui tahap pertimbangan yang matang. 

Sekali lagi saya tak fokus pada pembahasan penulisan puisi secara keindandahan bahasa, dengan segenap tipografinya yang beraneka, saya lebih memfokuskan diri pada pembahasan makna hikmah yang tersisipkan berdasarkan pemahaman saya sebagai pembaca. 

Yang sangat menarik dalam puisi ini berada dalam bait kedua yakni;

sebab bulan roboh
di ranjangku:
harapan alangkah bengis
membuat aku lari pada kenikmatan

Pada hakekatnya manusia tidak betah dalam menghadapi kegelisahan, kegetiran dalam hidup yang serba semraut, begitupun penyair Soni sehingga dia menawarkan solusi yakni berlari pada kenikmatan. 

Sub ketiga dalam buku ini diberi judu Percakapan memuat 19 puisi pilihan (1990-1998). Puisi-puisi ini sengaja ditampilkan dengan muatan yang sama memiliki nilai sejarah yang mungkin menarik bagi penyairnya. Namun sekali lagi saya tak akan membahas bagaimana cara penyair memilah milih puisi-puisi yang ada, saya haya ingin menjabarkan kenapa Percakapan bisa dipilih sebagai sub judul. Apa hikmah yang hendak disampaikan penyairnya?

Secara garis besar puisi ini lebih fokus pada pembahasan bagaimana seseorang mencipta karya dan memperlakukan karya ciptanya. Tentu pengalaman seperti ini banyak terjadi dalam kehidupan kita. Namun pengalaman yang diabadikan dalam sebuah karya akan lebih bermakna daripada dibiarkan berceceran tanpa arah tujuan. Demikian penyair Soni hendak berbagi. Sikap penyair sangat kentara untuk kita amati dengan jeli pada bait pertama dalam puisi ini;

likat lumpur tubuh perempuan
tiada henti diolah ang pematung
menurut citranya sendiri.

Apa pun karya yang dihasilkan oleh pencipta menurut seleranya sendiri. Menurut pemandangannya sendiri. Hal ini sangat wajar, mengingat pencipta lebih paham dan lebih mengerti terhadap hasil ciptaannya. 

Kini melaju pada pembahasan sub keempat dalam buku ini yang memuat 28 puisi pilihan (1996-2004). Tidaklah berlebihan jika di sub ini Variasi Maut Dalam Hujan ditempatkan pada posisi sebagai wajah dibanding puisi-puisi lainnya. Karena memang penyair Soni Farid Maulana hendak berbagi makna filosofi. 

Adalah suatu tindakan yang wajar bagi tiap pembaca yang hendak menelaah karya, kadang memfokuskan pada tiap sub judul pembahasan. Kewajaran ini bukan tanpa alasan, kewajaran ini hanya untuk menunjukkan spesifikasi suatu pembahasan. Sebagai pembaca, saya tak hendak menganak emaskan Variasi Maut Dalam Hujan sebagai puisi yang terbaik dalam buku ini, melainkan puisi ini dibahas karena menjadi sub pembahasan keempat. Saya pun akan memfokuskan pada makna filosofi menurut pandangan saya, karena saya mengakui tiap pembaca memiliki sudut pandangan berbeda kendati memandang dari tempat yang sama belum tentu hasil olah rasa dan pikir yang akan diangkat sama.

Bait kedua dalam puisi ini sangat menarik minat saya untuk saya telaah, pengungkapan yang sederhana namun memiliki makna yang istimewa. Ada pun bait kedua yang saya maksud adalah; 

hati bisa pedih dan luka
oleh kata-kata atau pun benda 
bisa sunyi dan bahkan sepi
seperti sebutir batu di dasar kali.

pedih dan luka bisa datang, bisa ditimbulkan oleh kata-kata atau pun benda. Hal semacam ini memang nyata adanya dan tidak bisa disangkal lagi. Menghadirkan kata-kata sehari-hari yang familiar namun memiliki makna istimewa merupakan kehadiran suatu karya yang bisa dinikmati pembaca dari segala aneka status pembaca. 

Lalu setelah panjang lebar mengupas persub pembahasan, tibalah kepada pembahasan inti mengapa buku ini diberi judul tepi waktu tepi salju. Kita simak penuturan penyair tentang alasan pembuatan judul buku ini; Tepi Waktu Tepi Salju merupakan variasi tema antologi puisi cinta, kesepian, kesunyian, dan juga persoalan sosial politik yang diseleksi dan dihimpun dari sejumlah antologi puisinya yang telah terbit selama ini. Selain itu disertakan pula beberapa puisinya yang belum pernah dipublikasikan di media massa cetak mana pun, entah dalam bentuk buku maupun dalam bentuk lain. Variasi Maut Dalam Hujan lebih membicarakan betapa kematian sangat perih (halaman 100).

Namun sebagai penelaah tak cukup mengekor pada penuturan penyairnya, barangkali menghadirkan alasan dari sudut pandang saya sebagai pembaca akan lebih memikat, entah alasan ini mau diamini atau digugat merupakan hak masing-masing person sebagai pembaca.

Barangkali alasan yang paling fenomenal menurut saya adalah karena penyair ingin memberikan kado yang sangat berarti sebelum akhirnya menjadi sunyi. Tepi Waktu Tepi Salju adalah isyarat filosofi yang hendak disuguhkan penyairnya, betapa segala ikhwal sangat memiliki sejarah yang harus dibedah ataupun diperkenalkan dengan lebih familiar kekhalayak umum. 
Inilah puisi yang bisa saya katakan sebagai ruh dalam buku puisi yang kemudian dipilih penyairnya sebagai judul buku;

TEPI WAKTU TEPI SALJU

sesenyap batu
di dasar kali yang beku

maut membayang
di hatiku. " Hangatkan

tubuhmu dengan segentong
anggur," katanya sebelum

jam kehilangan bunyi
di tepi waktu, di
tepi salju

1999 

Terlepas dari plus dan minusnya, paling tidak kita memandang karya ini dari segi asas manfaat. Akhirnya saya hanya bisa menghaturkan selamat membaca.

Kamar Hati, 29 Juni 2011

+ Add Your Comment