Tembuni

By : Fatih Muftih


Gila…!
Tidak seperti biasanya langit Palurejo seperti ini. Desaku yang biasanya teduh, hari ini matahari di langit bersinar dengan congkak. Tentu saja teriknya membakar siapa saja yang berdiri dan mencoba menantang kesombongan matahari. Apalagi siang ini aku harus berjalan ribuan meter menuju rental plasystatation. Perangkat video game impor dari Jepang yang biasa kupanggil cukup dengan mengakronimkannya saja. PS. Lebih mudah bagi lidah anak-anak desa sepertiku dan juga teman-temanku


Kedatangan PS di Palurejo telah menggeser peta permainan anak-anak. Dulu, jauh sebelum mengenal PS, aku dan teman-temanku lebih senang menghabiskan waktu dengan bermain kelereng, karet, layang-layang, surung gendem1, atau mandi di sungai. Tapi, memainkan kesemua itu sullit dilakukan untuk saat ini, rata-rata temanku telah jatuh hati kepada PS, termasuk aku. Jika tidak mencintai PS maka akan dengan siapa aku berteman. Mau tidak mau, suka tidak suka, inilah potret mainan anak-anak di Palurejo setakat ini.


Kadang ada perasaan miris ketika melintasi pematang-pematang licin di sawah dan sungai jambean, sungai di mana kami pernah menghabiskan waktu bermain air dan ikut memandikan kerbau milik Mbah Nawawi, yang tidak lain adalah ayah sahabatku sendiri, Agil.
“Woi, kok diem. Ayo jalan!” teriak Agil ketika melihatku berhenti memandang gemericik aliran sungai jambean.
Agil adalah sahabat terbaik sepanjang masa yang pernah kupunya. Jika ditanya sejak kapan kami bersahabat, aku lebih senang menjawabnya dengan; sejak kami dilahirkan. Bahkan dalam selorohnya, Agil pernah mengatakan jika tembuni kami berdua juga sama bersahabat di dalam bumi. Banyak yang heran dengan hubungan persahabatan kami berdua.


Kami berdua tidak satu sekolah. Agil lebih memilih sekolah di SD dan aku di MI. Tapi itu tidak membuat persahabatan kami renggang. Ketika pendidikan di tingkat dasar sudah usai, sebenarnya ada harapan dariku agar bisa satu sekolah dengan Agil, akan tetapi harapanku itu tidak terwujud. Ayah memutuskan untuk merantau ke Jakarta. Jadilah aku sekolah di Ibukota. Sedangkan Agil memilih untuk tetap melanjutkan di bumi di mana tembuninya ditanam. Ia melanjutkan di MTs Negeri Muncar yang berjarak 5 Kilometer dari rumahnya.


Padahal, sebelum berangkat ke Jakarta, aku pernah mengajaknya untuk ikut denganku bersekolah di Jakarta. Hal inipun sudah kubicarakan dengan ayah. Dan ayah menyetujui itu, jika memang Agil berkenan. Namun sayang, Agil menolak tawaranku.
“Ke Jakarta?” tanyanya kaget usai kujelaskan rencanaku. “Gila kamu, Man! Dapat duit dari mana hidup di Jakarta. Di sini aja sudah kesusahan, apalagi di Ibukota.”
“Masalah biaya, mbok nggak usah dipikir. Piye?” jelasku.
Maturnuwun banget, Man. Tapi aku masih pengen di Palurejo. Uwes tho, kamu aja yang ke Jakarta. Nanti, kalau pulang dari Jakarta, bawakan kaos bola Persija yo!”


Begitulah kata Agil tiga tahun lalu, sebelum hari keberangkatanku sekeluarga boyong ke Jakarta. Dan selama tiga tahun menempuh pendidikan di Jakarta, baru kali inilah aku memiliki kesempatan untuk menengok sahabatku. Kebetulan, di ujian nasional kemarin, aku mendapatkan peringkat terbaik. Dan sebagai hadiah, aku meminta tiket pesawat Jakarta-Surabaya dan dilanjutkan dengan tiket bis Surabaya-Banyuwangi, lalu menuju tanah kelahiran, Palurejo.
***
Hari ini aku yang menjadi raja selama main PS. Entah sudah berapa kali Agil aku kalahkan. Padahal, sebelum keberangkatanku ke Jakarta, aku selalu dijadikannya bulan-bulanan jika main PS. Tapi, salah satu misi kepulanganku setelah tiga tahun tidak berjumpa memang untuk membuktikan jika aku mampu mengalahkan Agil.
“Kamu bertapa ya di Jakarta?” Agil heran melihat caraku bermain PS.
Aku tidak menjawab. Aku teruskan langkahku menyusuri pematang sawah. Aku masih ingat kebiasaan yang Agil lakukan usai main PS. Setelah tiga tahun tidak bermain PS dengannya, aku ingin tahu, apakah Agil masih melakukan kebiasaan yang hampir selalu ia lakukan sepulang dari main PS.
Tepat di depan sebuah gubuk kuhentikan langkahku.
Kulihat Agil pun berhenti tepat di sampingku, ia rengkuh pundakku. “Kita duduk dulu di gubuk ini, Man”
Ha…


Ternyata Agil tidak berubah. Betul apa yang kusangka. Ia masih mengajakku berhenti untuk singgah di gubuk ini. Di gubuk ini, tiga tahun lalu Agilpun juga selalu mengajakku singgah walau hanya untuk duduk santai sekian menit. Di gubuk ini juga kami beristirahat sejenak meluruskan kaki setelah berjalan ribuan meter usai bermain PS. Dan hari ini, kebiasaan itu masih melekat pada diri Agil. Kau tidak berubah, kawan.


Semilir sepoi angin sawah Palurejo membelai rambut kami. Kuamati Agil kini jauh lebih tampan dari tiga tahun lalu. Rambutnya tambah panjang hingga menutupi sebagian matanya. Rambutnya pun kemerahan. Mungkin matahari Palurejo selama tiga tahun telah menyemir rambutnya hingga berwarna pirang.


Lamat-lamat ia merebahkan badannya di gubuk ini. Gubuk tua yang selalu menjadi tempat persinggahan. Sesaat ia memejamkan mata. Entah apa yang dipikirkannya. Bisa sapi-sapinya yang belum ia carikan rumput, tim sepakbolanya yang carut-marut atau… entahlah, aku tak berani menerka apa yang sedang dipikirkannya.


“Tiga tahun…” Agil mendesis, lalu menghentikan kata-katanya. Ia menoleh padaku.
Aku terdiam. Tidak tahu apa yang ingin kukatakan. Buaian angin sawah menyibak rambut panjang Agil. Aku selalu iri pada rambut sahabatku ini. Rrambutnya lurus terurai dan membelah di tengah. Bak artis-artis Korea. Bedanya, Agil lebih hitam dibandingkan mereka.
“Kenapa dengan tiga tahun?” aku ingin mengerti apa yang sedang berkelebat dalam pikirnya.
“Ternyata cukup lama waktu yang kamu butuhkan untuk mengalahkanku. Sampai-sampai kau harus bertapa selama tiga tahun di Jakarta.”
Aku kira dia ingin mengatakan sesuatu yang lebih penting dari ini. Ternyata ia hanya ingin mengejekku. Sialan.
“Asem koe, Gil.” Kataku sambil menjambak rambutnya. “Aku yang heran, selama tiga tahun, permainanmu makin jelek saja. Untuk mengalahkanmu tidak perlu aku bertapa di Jakarta! Kamu lihat kan tadi, betapa lihainya sekarang aku bermain PS.” Enak saja ia men-judge­-ku seperti itu.
“Aku tadi ngalah yo, Man. Kasihan temanku jauh-jauh dari Jakarta, pulang kampung, apalagi setelah tiga tahun tidak bertemu, main PS masih kalah terus.”
Begitulah Agil, sahabatku ini. Selera humornya masih tetap terjaga sebagaimana terakhir kali bertemu. Ia selalu menyelipkan guyonan di setiap pembicaraannya.
“Man, kamu lho belum cerita tentang Jakarta. Meski aku hanya lihat Jakarta lewat tivi, mbok yo aku bisa dengar cerita langsung dari temanku yang sekolah di Jakarta.” Pinta Agil.


Sontak kuceritakan segala pengalamanku selama di Jakarta. Tentang Monas dan apa yang ada di dalamnya juga bagaimana ketinggiannya, Taman Mini Indonesia Indah dengan rumah keongnya, Bandara Soekarno-Hatta Cengkareng dengan pusingnya melihat gate-gate pesawat, Ancol dengan dunia fantasinya, juga beberapa mall-mall besar.


Tapi ada satu cerita yang membuat Agil sangat antusias mendengarnya. Sebenarnya bukan cerita yang menarik, namun karena Agil sudah lama memimpikannya, maka ketika aku menyebutkannya ia sampai bangkit dari pembaringannya.
“Apalagi ketika nonton final Piala AFF. Wiih… suasananya benar-benar rame. Gelora Bung Karno sampai penuh. Tiketnya susah banget dapatnya. Aku aja harus ngantri sampai 4 jam buat beli tiket. Tapi puas banget bisa liat Irfan Bachdim dari deket.”
“Terus… terus gimana?”
“Nah, Abis pertandingan itu, pas jumpa fans, aku sempet salaman juga dengan Irfan Bachdim dan aku dapat tanda tangannya juga lho.”


Lalu kukeluarkan kaos merah putih bergambar dada burung garuda dan bernomor punggung 17 bertuliskan Irfan dari dalam tasku.
“Ini dia tanda tangan Irfan.” Kataku dengan bangga.
“Wah… mantap tenan koe, Man.”
Kulipat kembali kaus itu dan kuletakkan di pangkuan Agil, “Ini untukmu, Gil.”
“Man, nggak usah ngapusi?”
“Aku nggak bohong, Gil.” Aku meyakinkannya, “Aku baru ingat, aku lupa beli kaus Persija pesananmu. Jadi, anggap aja ini penggantinya.”
“Harga kaus Persija nggak sebanding dengan tanda tangan asli Irfan, Man. Lha kamu sudah mati-matian cari, kok malah dikasihkan aku sih.” Lagi-lagi Agil masih enggan menerima pemberianku.
“Lho, nanti kalau timnas main di Jakarta, aku masih bisa minta lagi, Gil.”
Akhirnya dengan setengah hati Agil menerima kaus bertandatangankan Irfan Bachdim. Sejatinya, aku sendiri tidak tahu bagaimana caranya aku bisa mendapatkan tanda tangan Irfan untuk kali kedua.
Tapi teringat cita-cita Agil, aku rasa kaus itu bisa memotivasinya untuk tetap teguh meyakini jika itu bukan hal yang mustahil untuk diwujudkan. Agil bercita-cita mengenakan kaus timnas dan membela merah-putih di Gelora Bung Karno.


Ah, baru hendak melangkahkan kaki untuk pulang, langit Palurejo sepertinya belum puas mengerjai kami. Setelah tadi membakar kulit kami dengan teriknya yang naudzubillah, kini tiba-tiba ia berubah warna menjadi hitam. Benar. Hujan turun.
Langkah kami untuk pulangpun menjadi tertunda. Tetap bertahan di gubuk menjadi pilihan terakhir.
“Palurejo ini memang aneh. Tadi panasnya uedaan, sekarang kok hujan.” Aku mulai menggerutu.
“Palurejo memang begitu. Kadang ngeselin kadang ngangenin.” Jawaban yang dilontarkan Agil cukup diplomatis.
“Bener iku. Kalau lagi di Palurejo ngeselin tenan. Tapi kalau sudah di Jakarta ngangenin pol. Gil, apa aja yang sudah berubah dari Palurejo selama aku di Jakarta?”
“Tidak ada yang berubah, Man. Masih sama seperti dulu.”
“Maksudmu?” aku tidak paham, masa selama tiga tahun Palurejo tidak berubah.
“Kamu lihat sawah di depan matamu itu. Semuanya masih sama kan? Semangka ada, timun ada, kacang panjang ada. Kalau kamu masih ingat dengan Tedi, ia juga tidak berubah. Ia masih setia mengayuh sepeda tuanya. Sekali desa ya tetap desa.”


Sambil bermain kecipak air hujan yang merembes lewat atap gubuk, Agil melanjutkan, “Sekarang sudah susah kalau mau main kayak waktu kita kecil dulu. Nggak ada anak sekarang yang mau main kelereng, karet, layang-layang, surung gendem. Anak-anak yang hujan-hujanan pun sudah nggak ada. Semuanya sudah hobi main PS kayak kita ini.”
“Terus, nunggu apa?”
Agil terdiam. Ia tidak mudheng dengan maksudku.
Aku tidak menjelaskannya lebih lebar. Hujan siang ini begitu menggoda dan aku tak kuasa menahannya. Buru-buru kutarik tangan Agil untuk keluar dari gubuk. Rinai hujan yang seirama mulai membasahi baju kami berdua.
“Woi… basah, Man.” teriak Agil. Teriakannya tak terdengar dengan jelas karena hujan siang ini sangat deras.
“Apa…”
“Basah iki lho!” Agil mengulang kalimatnya.
“Sudah lama kita tidak mandi hujan bersama,” Agil masih berusaha melepaskan diri dari cengkeramanku. “Di Jakarta, nggak ada yang mau nemenin aku hujan-hujanan.”


Hujan siang ini pun turut menemani perjalanan pulang kami. Ini yang tidak pernah kudapatkan selama di Jakarta. Keriangan bermain bersama, bercanda bersama dan tertawa bersama. Jiwa selalu terasa kering selama tinggal di ibukota, tidak seteduh di desaku ini, Palurejo. Ini yang membuatnya selalu terkenang.
***
Apabila waktu dijalani dengan penuh sukacita, maka menjalaninya pun terasa sangat cepat. Seperti waktu yang kujalani selama liburan di Palurejo. Semuanya berlalu begitu cepat. Waktu seolah berputar lebih cepat dari biasanya. Tak terasa kini telah memasuki hari terakhir di Palurejo sebelum kembali ke Jakarta dan disibukkan dengan persiapan masuk SMA.


Hari-hari di Palurejo kuhabiskan dengan penuh sukacita bersama sahabat terbaik sepanjang masa, Agil. Menghabiskan waktu bersama, bercerita tentang masa kecil kami berdua yang begitu menyenangkan hingga mengenang tempat-tempat bermain ketika kecil dahulu.


Ada satu yang ingin kusampaikan kepada Agil sebelum berangkat ke Jakarta besok pagi. Agak susah untuk mengutarakannya, karena aku takut ini justru membuat Agil merasa direndahkan. Ah, itu hanya pikiranku saja. Aku tahu betul siapa Agil. Semoga ia menyambut baik rencanaku ini.


Tersebab itulah, walau hari ini hujan turun dengan deras, aku tetap pergi ke rumah Agil untuk mengutarakan niatku.
Melihatku yang berlari untuk menghindari hujan, Agil segera membukakan pintu dan mempersilahkanku masuk. Tak lupa diseduhkan secangkir teh hangat untuk menetralisir dingin karena hujan.
“Gil, mau nerusin ke SMA mana?” tanyaku to the point.
Agil agak terkejut mendengar pertanyaanku. Setelah menyeruput teh hangatnya, ia menjawab dengan nada guyon. “Di mana aja boleh.”
“Aku serius nih!”
“Memangnya kenapa tho, Man?”
“Begini, Gil, jika kamu tidak keberatan, aku ingin mengajakmu untuk melanjutkan SMA ke Jakarta. Untuk masalah biaya, kamu tidak perlu pikirkan. Ayahku siap menanggung biaya pendidikan kita berdua. Juga tidak menutup kemungkinan kita akan memperoleh beasiswa jika kita berprestasi.” Jelasku.
“Jakarta lagi… Jakarta lagi...” Jawab Agil datar tanpa ekspresi.
Lha kenapa dengan Jakarta? Maksud aku biar kamu bisa lebih mudah mengembangkan bakatmu di dunia sepakbola.”
“Terima kasih, Man sebelumnya. Aku sangat menghargai ajakanmu. Tapi, maafkan aku. Sepertinya aku masih belum bisa menerima ajakanmu. Bukan karena apa? Tapi karena aku masih mencintai Palurejo ini.”
Cinta Palurejo, apa aku tidak salah dengar, “Maksud kamu apa sih, Gil?”
“Aku sudah daftar di SMAN 1 Muncar kok, Man.”
“Tapi itu semua masih bisa dibatalkan, Gil.” Aku masih ngotot untuk membawanya ke Jakarta. “Aku hanya tidak ingin bakatmu bermain bola tidak terjembatani di Palurejo.”
“Siapa bilang? Semuanya masih baik-baik kok. Sudahlah, jika kamu mau melanjutkan ke Jakarta, lanjutkan saja. Aku pun berpikir yang sama denganmu. Aku juga tidak mau jika kecerdasan sahabatku ini juga tidak terjembatani di Palurejo. Di Jakarta kamu harus berprestasi, Man, agar Palurejo bangga punya putra daerah sepertimu yang berhasil menaklukkan ibukota.”


Mau tidak mau aku harus mengakhiri kengototanku. Aku tidak bisa memaksanya untuk sekolah di Jakarta. Jika baginya itu yang terbaik, apa boleh buat. Selama itu yang terbaik untuknya, aku akan selalu mendukung.


Aku harus pulang dan kembali mengarungi keringnya ibukota tanpa sahabatku lagi. Aku selalu memimpikan suatu saat nanti kami duduk sebangku dalam satu kelas. Tapi tampaknya itu hanyalah sebuah ilusi belaka.
Sebelum pulang, sempat kupeluk Agil dan kubisikkan sesuatu di telinganya, “Tunggu aku tiga tahun lagi, Gil.”
***
Seperti apa yang kukatakan sebelumnya, jika waktu yang kita jalani dengan happy dan easygoing, maka waktu serasa berputar lebih cepat dari biasanya. Kehidupan baru di SMA yang begitu menyenangkan membuat segalanya berlalu lebih cepat. Tidak terasa ujian nasional tingkat SMA baru saja usai. Tiga tahun bukanlah waktu yang lama. Rasanya baru kemarin masuk SMA, tapi kini sudah menjelang pengumuman hasil UN. Ingin rasanya terus melewati hari-hari seperti ini.


Sudah tentu ada rasa deg-degan menjelang pengumuman. Apakah hasil belajarku selama tiga tahun berbuah manis atau malah sebaliknya, sangat pahit. Tapi janji Tuhan memang selalu benar. Siapa yang bersungguh-sungguh, maka iapun akan mendapatkan hasil yang sepadan.
Untuk UN tahun ini, sekolahku meraih prosentase kelulusan 100 persen. Dan yang lebih spesial, aku dinobatkan sebagai lulusan terbaik dengan rata-rata tiap pelajaran mencapai 9,3.
Wow! Sepadan untuk usaha keras yang kulakukan selama ini. Lagi-lagi Ayah menjanjikan akan memberiku hadiah jika aku berhasil lulus. Apalagi mendapat predikat terbaik. Dan hadiah itu telah kutetapkan.
Aku ingin pulang ke Palurejo.


Ayah sempat menolak rencanaku, karena setelah ini aku harus mempersiapkan diri untuk mengikuti SMNPTN di Yogyakarta. Namun, setelah menjelaskan alasan kepulanganku ini bukan semata-mata melepas rindu saja, namun ada hal penting yang ingin kubawa pulang untuk sahabat terbaikku, Agil. Ayah melunak dan mengiyakan permintaanku.


Tiket Jakarta-Surabaya sudah dalam genggaman. Aku jadi tidak sabar ingin melihat reaksi Agil ketika mengetahui apa yang kubawakan untuknya. Sudah lama kucari ini untuk Agil, bahkan aku harus mencarinya di tengah kesibukanku menempuh ujian nasional. Tapi untuk sahabat terbaik, tidak ada kata tidak.
Tunggu kedatanganku, Gil.
***
Perjalanan dari Surabaya menuju Banyuwangi memakan waktu hampir 6 jam. Inilah momen-momen yang akan sangat menjenuhkan. Belum lagi jika terjebak kemacetan di lokasi lumpur panas Lapindo, Sidoarjo. Bisa-bisa laju mobil kita lebih lambat dari jalan seekor semut. Dan jika sudah begini, tidur adalah alternatif terbaik untuk melipat waktu.
Ketika terbangun, mini bus yang kutumpangi sudah melintas di kawasan Kecamatan Srono, 20 menit menuju Palurejo. Kupandangi jalan-jalan yang pernah kulewati semasa kecilku. Ternyata masih sama. Tidak ada yang berubah.
Masih sempit, aspalnya berlubang, dan sangat berdebu. Apalagi ketika mulai memasuki kawasan Kecamatan Muncar, bau amis ikan langsung menyapa hidungku. Tak heran, mengingat Muncar adalah penghasil ikan terbesar nomor dua se-Indonesia. Tapi tak mengapa, lagipula sudah lama aku tidak mencium aroma seperti ini selama di Jakarta.


Aku terhenyak sesaat ketika melihat sebuah patung yang berada di sebuah pertigaan. Sekitar 2 Km menuju Palurejo. Aku masih ingat nama patung ini. Patung Pacul. Dulu, patung ini dijadikan sebagai penunjuk arah. Tapi sayang, patung yang semasa kecilku sangat dielu-elukan, kini tak terurus. Warna cat cerah yang dulu membalutnya kini telah usang. Dan muka Pak Tani yang menjadi simbol patung itu, seperti menyiratkan kegetiran waktu setelah hampir 20 tahun berdiri; mengangkat pacul. Mungkin suatu saat kau akan istirahat, Pak. Ketika alam memang menghendakimu.


Dalam hitungan menit, aku akan tiba di Palurejo. Melihat kembali rumah Mbah, melihat ranum semangka-semangka di Palurejo yang siap panen. Dan tentunya, aku akan bertemu dengan Agil. Aku jadi tidak sabar, apa saja yang telah berubah darinya.


Dari SMS-nya, Agil menyuruhku untuk menunggunya di tepi jalan. Karena sebentar lagi ia pulang. Aku ingat, Sore-sore begini, Agil pasti sedang jogging. Ini ia lakukan untuk menjaga staminanya bermain bola. Itulah enaknya di desa, sore haripun udara masih terasa segar dan bisa digunakan olahraga. Beda dengan di kota. Udara segar baru bisa dirasakan hanya di car free day.


Sudah hampir setengah jam aku menunggunya di pinggir jalan. Tapi Agil belum juga datang. SMS-ku pun tidak dibalasnya. Mungkin lebih baik aku mandi dulu.
“Man… Man…”
Baru saja melangkahkan kaki kembali ke rumah, sayup-sayup terdengar suara orang memanggilku. Aku kenal sekali dengan suara ini.


Kulihat sosok pria dewasa, dengan rambut panjang belah tengah, menggunakan kaos bergaradasi merah-hitam milik tim sepakbola favoritnya AC Milan, lompat dari bak gerandong. Ini bukan anak Mak Lampir lho.


Gerandong juga adalah salah satu ciri khas Palurejo yang tidak kudapati di Jakarta. Gerandong adalah alat transportasi desa sejenis truk kecil yang menggunakan mesin diesel yang diletakkan di bagian depan. Oleh karena itu, gerandong hanya boleh melintas di jalan-jalan desa bukan jalan protokol, karena tidak memiliki surat-surat kendaraan yang terdaftar. Jadi hanya di desa sajalah gerandong bisa dijumpai.


Eh, kok malah ngomongin gerandong.
Secara fisik banyak yang berubah dari Agil. Kulitnya lebih gelap dibanding tiga tahun lalu. Perawakannya juga jauh lebih besar dan badannya kini sudah berbidang.
“Habis olahraga?” tegurku ketika ia menghampiriku.
“Iya, lari-lari aja. Wah, kamu bisa kurus juga ya, Man?”
Semenjak masuk SMA, aku memang menjalani program diet. “Kaget kamu ya?”
Sore ini kami berdua tidak banyak mengobrol. Karena Agil harus melakukan aktivitas rutinnya di sore hari; menjemput Emaknya di pasar.
“Nanti disambung lagi, aku mau jemput Emak dulu, Man.”
Hanya fisik saja yang berubah dari Agil. Ia tetap telaten antar-jemput Emaknya. Tidak salah aku memiliki sahabat baik seperti Agil. Aku banyak belajar darinya.
***
“Gubuk ini umurnya udah berapa tahun ya, Gil?” tanyaku usai main PS dan seperti biasanya, kami berdua singgah di gubuk. Gubuk tua yang masih sama seperti dulu.
“Setahuku, sejak kita sembunyi di gubuk ini ketika dikejar orang gila itu, gubuk ini masih sama. Kamu masih ingat kan, Man?”
Ternyata Agil masih mengingat kejadian dikejar orang gila itu. Kejadian ini terjadi sekitar 7 tahun yang lalu. Ketika kami msaih kelas 5 SD. Sebuah kejadian yang memalukan, khususnya untukku.
“Mana mungkin aku lupa dengan kejadian itu, Gil. Kalian semua ninggalin aku di belakang. Ya jelas aku nangislah karena orang gila itu ngancam-ngancam mau bunuh aku.”
Agil terkekeh mendengar perkataanku. “Salah sendiri, larinya lambat banget.” Kemudian Agil melanjutkan tawanya. Akupun juga ikut menertawakan memori kecil kami berdua itu.
“O iyo, Man. Piye hasil ujianmu?” tiba-tiba Agil menyeletuk di tengah tawa kami berdua.
“Aku lulus, Gil. Nilai terbaik lho. Jadi deh aku minta hadiah tiket pulang ke Palurejo. Lha kamu sendiri piye?” tanyaku balik.
Agil tidak langsung menjawab pertanyaanku. Suasana menjadi hening seketika. Ia biarkan semilir angin sawah menyibak rambut panjangnya. Apakah angin itu membawa jawaban dari pertanyaanku. Aku jadi cemas menanti jawaban yang meluncur dari mulutnya.
“Apa itu penting, Man?”
Apa maksud dari pertanyaan yang Agil balik ajukan padaku. Agil sudah pandai beretorika rupanya.
“Ya penting, Gil. Lha kalau nggak lulus, apa artinya kita sekolah selama tiga tahun, terus tanpa ijazah kita juga tidak bisa melanjutkan kuliah. Tapi kamu lulus kan?” Jawabku setengah jengkel.
“Iya. Tapi sebenarnya mau lulus atau nggak, aku juga nggak peduli. Yang penting sekolah yang selalu memeras keringat Bapak dan Emak itu telah usai.” Jawab Agil tanpa sedetikpun menoleh kepadaku. Entah apa yang sedang ia tatap jauh-jauh di ujung matanya.
“Lalu rencana selanjutnya?” tanyaku lirih.
“Kata Gito, dengan ijazah SMA aku bisa bekerja di pabrik pengalengan ikan. Duitnya kan bisa mengurangi beban Bapak dan Emak.” Lalu dengan memegang pundakku, Agil melanjutkan pertanyaan yang membuatku terperangah, “Man, apa serendah itu ya nilai ijazah SMA yang selama tiga tahun kutebus dengan keringat dan air mata Bapak dan Emak?”
Gila. Dari mana anak ini mendapat pertanyaan seperti ini. Aku saja yang tinggal di Jakarta tidak pernah berfikir sejauh ini. Aku speechless. Tak ada jawaban yang terlontar.
Agil melanjutkan, “Man, kamu punya nasib yang baik. Lanjutkan studimu setinggi mungkin. Jadilah penulis terkenal seperti yang kau pernah cita-citakan. Dan tentu saja buat aku bangga pernah jadi temanmu, Man.”
“Doakan aja.” Sepertinya pembicaraan sudah menjurus ke arah serius. “Gil, hidup bukan tergantung dari nasib. Tapi kemauan.”
Agil tidak setuju dengan teori yang kulontarkan, “Tapi kita tidak bisa memungkiri nasib. Selain karena kepintaranmu, kamu juga punya nasib yang baik. Kamu masih punya orang tua yang sehat yang sanggup membiayaimu. Kamu juga anak pertama yang selalu diharapkan oleh keluargamu agar bisa mengubah nasib mereka. Lain halnya dengan anak ragil (baca: bungsu).”
“Tidak ada bedanya anak sulung dan ragil, Gil”
“Tidak!” kata Agil dengan nada setengah tinggi, “Tetap berbeda. Berapa kali sebenarnya, Mas dan Mbakku mengajakku merantau bersama mereka. Pemuda mana sih Man yang tidak ingin merantau? Tidak ada. Tapi…”
Agil terdiam. Seperti ada beban yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Sekejap air mukanya berubah. Aku tidak pernah melihat Agil sekalut ini.
“Tapi… semua saudaraku tidak ada yang mau berpikir, jika aku merantau, siapa yang akan menjaga Emak dan Bapak, siapa yang akan mengantar dan menjemput Emak setiap hari, lalu siapa juga yang akan mencarikan rumput untuk sapi Bapak. Mereka semua egois dan tidak mau tahu. Tidak ada satupun dari mereka yang mau berfikir tentang hal ini.” terang Agil dengan suara tinggi. Ada emosi yang ia tumpahkan.
“Kan masih ada Rendi, keponakanmu.” Aku mencoba memberikan solusi.
“Apa yang bisa Rendi lakukan? Bisanya hanya makan dan minum saja. Jauh dari hati yang terdalam, aku ingin merantau, mengadu nasib, dan juga mengembangkan bakatku bermain bola…. Aku benci dengan semua ini.” Kata Agil sambil menendang kerikil kecil di depan gubuk.


Apa yang bisa kulakukan. Nihil. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan untuk sahabatku. Aku tidak menyangka, inilah alasan sebanrnya mengapa ia selalu menolak jika aku mengajaknya sekolah di Jakarta. Aku tidak tahu jika serumit ini permasalahannya. Kulihat, Agil mengusap muka dan menyibak rambut panjangnya.
“Man,” panggilnya lirih. “Tak mengapa aku tak bisa merantau sepertimu. Tapi kutitipkan kebanggaanku sebagai sahabatmu. Aku ingin kamu menggapai cita-citamu. Terus berkembang dan berbuat yang terbaik. Aku di Palurejo akan setia menunggu kepulanganmu. Biar kutitipkan cita-citaku pada pundakmu. Melihatmu sukses, maka akan menjadi kebahagiaan juga untukku. Berjanjilah, kamu harus menjadi yang terbaik.”
Kelu. Bibirku tak sanggup membalas apa yang Agil katakan.
“Tak perlu lagi kau paksa aku untuk ikut ke Jakarta denganmu. Biarkan aku tetap di Palurejo; mengantar dan menjemput Emak, mencari rumput dan bermain sepakbola tarkam. Aku akan tetap menantikan kepulanganmu dan jika kau menantangku bermain PS, maka aku akan selalu sedia. Jangan lupa jika sudah sukses, kabari aku. Biarkan kusiarkan ke seluruh Palurejo, jika putra terbaiknya telah berhasil menaklukkan dunia…”
Aku tak kuasa mendengar kata-kata Agil. Akupun tak ingin ia melanjutkannya.
Cukup…!


Seketika itu kupeluk Agil. Seakan tak ingin berpisah selamanya. Bulir-bulir air mataku jatuh menganaksungai. Aku tidak peduli apa yang Agil katakan melihatku menangis seperti ini. Jauh di relung hatiku, aku tak ingin menikmati kesukesan seorang diri. Apa arti semua ini jika seorang diri.


Gubuk tua ini menjadi saksi betapa bangganya aku memiliki sahabat sebaik Agil. Sementara angin berembus dengan acuh menyeruak rambut kami berdua, kuremas hadiah yang kubawa jauh-jauh dari Jakarta. Hadiah yang kucari mati-matian di tengah ujian nasional. Hadiah yang pernah kuharapkan menjadi jalan pembuka Agil mewujudkan cita-citanya.


Formulir Pendaftaran Seleksi Timnas Indonesia U-21.
Aku tidak ingin melukainya lebih dalam ketika mengetahui formulir ini. “Aku bangga punya sahabat sepertimu, Gil.” Bisikku lirih di telinganya.
Hujan kembali turun di langit Palurejo bersamaan dengan hatiku yang menangisi cita-cita sahabat terbaikku, Agil.
“Ih… nangis. Yuk hujan-hujannan.” Sentil Agil.
“Ayuk…”
Tanjungpinang, 15 Juni 2011

+ Add Your Comment