Tak Melayu Hilang di Jawa

By: Fatih Muftih


Aroma sesak asap knalpot bis kota di Terminal Giwangan langsung menyapaku ketika kali pertama kujejakkan kaki di bumi Roro Jonggrang – gadis molek musabab dibangunnya Candi Prambanan. Sedang tidak satupun orang yang kukenal di terminal yang riuh oleh suara-suara manusia: kernet-kernet yang mencari penumpang, pedagang asongan yang menawarkan permen atau rokok sebagai penawar rasa bosan yang kerap mendatangi para calon penumpang.


Hanya ada satu alamat yang ingin kutuju: Asrama mahasiswa asal Tanjungpinang yang berada di Yogyakarta. Di tempat itu, setidaknya akan kuhabiskan hari-hariku untuk beberapa tahun ke depan. Itu adalah pilihan terbaik yang bisa diambil daripada harus tinggal di kos yang kata sebagian temanku adalah tempat yang dekat dengan pintu neraka. Ah, aku tidak tahu apa yang dimaksud temanku itu.
Ditemani terik panas Yogyakarta yang tidak kalah dengan Tanjungpinang, aku sedang menunggu seorang mahasiswa semester akhir yang akan menjemputku di terminal ini. Atan namanya. Ia juga sama sepertiku berasal dari Tanjungpinang, tepatnya dari pulau bersejarah bekas kediaman Raja Ali Haji; Pulau Penyengat.
Di tengah kepenatanku menunggu, ponselku berdering menerima sms, “Wang, kamu di mana?” bunyi sms dari Atan. “Saye di depan warteg.” Jawabku. Rasa penasaranku terhadap warteg yang membuatku singgah di warung yang tidak pernah kujumpai di Tanjungpinang.
“Awang, kan?” sapa seorang lelaki muda.
“Iye saye. Awak Atan?” tanyaku balik padanya.
“Tidak salah lagi.” Jawabnya.
Atan yang dua tahun lalu kujumpai di Melayu Square sudah banyak berubah. Terutama dari dialek melayunya yang kini sudah mulai luntur dan lebih berkesan dialek Jawa. Secepat itukah tanah rantau mengubah dialek penutur melayu asli seperti Atan. Ganas juga Yogyakarta. Pikirku.
Kami berdua bergegas meluncur ke asrama Atan yang juga dalam hitungan menit lagi juga akan resmi menjadi asramaku. Dengan mengendarai motornya, Atan banyak bercerita tentang kehebatan Yogyakarta. Begitu detilnya ia bercerita. Bahkan sampai makanan khas juga tempat makan termurah yang kerap menjadi langganan mahasiswa.
***
Di ruangan yang tidak luas sekitar ukuran 3x4, kurebahkan sejenak badanku yang letih berbantalkan tas yang berisi baju-baju sambil menatap langit-langit. Tidak terasa impianku untuk kuliah di Pulau Jawa menjadi kenyataan. Dulu, impian itu selalu kulamunkan usai bermandikan tangis air mata karena belajar pantun bersama Ayahku. Tanpa kusadari bulir air mataku sepakat untuk menganak sungai di pipiku. Aku rindu Ayah. Aku rindu kumis tipisnya.
Kuraih tas punggung yang menjadi bantal di kepalaku. Novel Bangsawan karya Tusiran Suseno yang kucari. Di dalam novel yang menceritakan tentang semangat Awang Bono menegakkan budayanya itu terselip selembar foto penuh makna yang kucuri dari album foto di rumah nenek. Empat orang terekam dalam frame kusam itu. Almarhum Ayah, Emak, aku dan adik bungsuku.
***
“Dalam hitungan ketiga, sebutkan kata yang berakhiran tu!” Ayah meneriakkan itu sambil memukulkan batang rotan di betisku.
Dengan terkesiap aku menjawab, “Satu, batu, ratu, pintu. Hhm…” aku terdiam memikirkan kata selanjutnya. “Sepatu…” belum sempat aku melanjutkan kata-kataku, batang rotan itu sudah mendarat di betisku; kanan dan kiri.
“Lambat betul! Segitu yang kau dapat? Itulah, kalau disuruh bace buku tak nak!” kata Ayah bersungut-sungut. “Sabtu, mutu, katu, situ, hantu, kutu, bantu, buntu…” Ayah menyebutkan kata-kata itu seolah tanpa berpikir. Mengalir begitu saja.
Latihan berpantun adalah rutinitasku sehari-hari sebelum berangkat mengaji. Ayah sendiri, ketika muda adalah pemantun handal di Tanjungpinang. Berbagai macam event besar telah dihadirinya sebagai pemantun. Bukan hanya di Indonesia, Malaysia dan Brunei adalah Negara jiran langganannya. Kini, di usia senjanya, Ayah tidak ingin budaya pantun itu luntur tergerus zaman dan tekhnologi. Tersebab itulah, mati-matian ia melatihku berpantun.
Sejatinya, aku kurang mencintai pantun. Atau lebih tepatnya tidak. Akan tetapi, apa kata Ayah adalah apa yang harus terlaksana. Dan itu kerap membuatku beradu mulut dengannya.
“Yah, hari ini Awang tak latihan pantun, ye?” aku meminta izin, karena petang ini ada janji memancing dengan teman-teman di laut Dompak.
“Tak ade. Kau ‘tu harus profesional. Waktu belajar ye belajar. Waktu bermain ye bermain. Kalau macam ‘tu, takkanlah kau jadi orang besar.” Ayah berlete1 di depanku. Lagi-lagi aku mengecewakan teman-temanku.
***
Malam pertama di Asrama cukup mengasyikkan. Apalagi Atan datang membawa sebuah penganan aneh. Baru pertama kali aku mendengarnya.
“Wang, ini nasi kucing.” Kata Atan sambil mengulurkan sebuah bungkusan nasi kecil.
“Kucing?” kataku tercengang. “Nasi lauk kucing ye, Tan?”
Atan tidak menjawab pertanyaanku. Setelah kubuka bungkusan nasi itu, ternyata hanya nasi bungkus berporsi mini berlaukkan sambal goreng tempe atau bilis2. Kalau di Tanjungpinang, nasi seperti ini disebut dengan nasi dagang.
Belum lama aku melahap dua bungkus nasi kucing, datang seorang mahasiswa. Mahmud. Ia juga berasal dari Tanjungpinang.
“Tanjungpinang kat mane, Bang?” tanyaku dengan logat melayu yang kental.
“Batu 13 – sebelah bandara. Kamu?”
Kenapa logat melayu mereka tidak ada lagi. Padahal, aku harap dengan menggunakan logat Melayu yang kental agar lebih akrab. Tapi bahasa yang digunakan Bang Mahmud terlampau formal. Mana ada orang Tanjungpinang menggunakan kata kamu. Yang ada itu kau, ko, mike dan jika ingin lebih sopan menggunakan awak. “Saya asli Teluk Keriting, Bang.” Akhirnya dengan payah kugunakan kata saya daripada saye.
Dua bungkus nasi kucing membuat kampung tengahku menjadi sesak. Kalau sudah kenyang, waktunya rehat. Sebelum memulai pelayaran di pulau kapuk, kusempatkan beberapa saat untuk menata bajuku dalam lemari. Kubenahi lipatan baju yang mulai kusut. Tak lupa juga kutata buku-buku yang kubawa dari rumah. Tapi ada suatu buku yang menahan tatapanku dan memaksa tanganku untuk meraihnya.
Buku tua berwarna merah marun seukuran buku agenda yang sudah kusam. Bahkan  tiap ruasnya telah menguning dikelir waktu. Sebegitu kejamkah waktu hingga mengubah warna putih itu menjadi kusam. Tulisan tangan di buku ini juga mengalami nasib yang sama. Tintanya mulai membias dan luntur. Entah karena terkena air atau – lagi-lagi – korban keganasan waktu. Yang jelas buku ini akan kusimpan sebaik mungkin, seperti orang yang menorehkan tinta hitam ke tiap laman ini - Alamarhum Ayah.
***
“Wang… Oi Awang… sini kau!” panggil Ayah.
“Iye, Yah. Ade ape?”
Ayah mengajakku ke seberang jalan dan langsung turun ke pantai. Teluk Keriting – tempat tinggalku – memang berdekatan dengan laut.
“Buke baju, Wang!” perintah Ayah ketika baru saja kutapaki lembut derai pasir pantai di kakiku.
“Ape nak kite buat, yah? Hari panas macam inipun.” Sanggahku mencoba menolak perintahnya.
Tidak pernah terbayangkan sebelumnya jika sore ini akan menjadi latihan berpantun yang luar biasa. Latihan berpantun yang tidak akan pernah kulupakan seumur hidupku. Bagaimana tidak, ketika aku gagal menyebutkan kata yang Ayah minta, seketika itu pula kepalaku ia celupkan ke dalam air laut! Bahkan tidak segan-segan pula, batang rotan itu menegur punggungku.
Apalagi ketika Ayah tahu aku gagal membalas pantunnya, kadang-kadang tangannya yang keras menampar pipiku – sampai tersungkur ke air laut!
“Kau ‘ni bingal3 betul! Pantun macam ‘tu aje kau tak boleh balas. Cepat pikir lagi jawaban pantun ‘tu!” Suara tinggi Ayah ini membuatku tuli pada suara gemuruh debur ombak di sekelilingku. Akupun menangis.
“Penangis betul engkau ‘ni. Baru berlatih macam ‘ni ‘dah nangis. Macam mane nak jadi orang besar? Takkanlah menjadi.” Kata Ayah melihatku menangis.
Aku hanya diam dalam senggukanku. Memar merah di betis dan punggungku yang terbasuh air laut menambah perih di hati. Kukunci rapat-rapat mulutku.
“Wang,” lalu Ayah menghela nafas panjang, nada suaranyapun telah menurun, “Ayah memang ‘dah terlampau kasar mengajari kau berpantun. Tapi kenape kau tak pernah bertanye, kenape Ayah berlaku dengan kau ‘tu macam ‘ni? Kau takut?”
Permainan kata apa lagi yang Ayah gunakan. Aku tidak mau tertipu olehnya. Lebih baik aku tetap tunak berdiam diri.
Ayah melanjutkan, “Wang, kau tengok kat laut ‘tu!” Kata Ayah sambil menunjuk pompong4. “Orang-orang ‘tu hanye bise mencari ikan saje. Semue penduduk di Indonesiapun juga pandai mencari ikan macam ‘tu. Dan Ayah tak nak nasib kau ‘tu macam mereke! Takkanlah Ayah ‘ni mewariskan pompong buat kau. Dijualpun tak seberape. Kau tahu, Wang, harta Ayah yang paling berharge ‘tu pantun, Ayah nak wariskan itu untuk kau. Macam inilah kalau kau nak pandai pantun. Tapi, kau harus tahu, Wang. Kalau kau pandai pantun, kau bolehkan nak genggam dunia ‘ni!”
Sepulang dari latihan yang tidak hanya menguras tenaga tapi juga mental, Ayah menunjukkan sebuah benda yang paling berharga dalam hidupnya. Sebuah buku berwarna merah marun seukuran agenda. Tidak ada agi lembaran kosong di dalamnya. Semuanya sudah penuh dengan coretan tangan Ayah.
“Wang, buku ‘ni yang membuat Ayah jadi macam pemantun hebat. Isinya tentang pantun-pantun koleksi Ayah. Juga ade beberape catatan kecil tentang care menulis pantun yang baik. Kau bace dan kau pahami. Dan ingat, jage buku ‘ni baik-baik!”
Seminggu setelah latihan itu, Ayah mendadak sakit keras. Ternyata Ayah mengidap kanker darah. Orang miskin sepertiku ini gagal untuk melakukan cuci darah setiap minggunya. Dan Ayahpun pergi ke surga tanpa warisan harta yang ditinggalkan untukku, kecuali pantun.
***
Tak terasa sebulan sudah kurajut mimpi di Yogyakarta. Aku menyibukkan diriku dengan mengikuti UKM di bidang seni dan budaya. Hingga suatu hari, Atan datang menemuiku untuk meminta tolong.
“Wang, tolong aku!”
Aku yang sedang meneguk cokelat panas di kantin tersentak, “Kenape, Tan?”
“Kampus kita akan melaksanakan Festival Tradisi Sastra Lisan se-Indonesia.”
“Baguslah. Lalu pasal ape yang kau ributkan?”
“Nugraha, si ketua BEM itu, memintaku untuk menampilkan tradisi sastra lisan Kepulauan Riau.”
“Ha… bukankah waktu SMA dulu kau pernah menjuarai lomba berpantun tingkat kota.”
“Masalahnya, aku sekarang tidak lagi bisa berpantun seperti dulu. Lidahku sudah kaku. Apa kata orang kalau sastra melayu Kepulauan Riau tidak ambil bagian? Kamu kan anak Sahar, si pemantun kondang itu, Kamu gantikan aku, ya? Please, Wang.” Atan memelas.
Berpantun? Bukankah itu makanan sehari-hariku. Sudah bertahun-tahun sebelum Ayah meninggal, aku menghabiskan separuh hidupku untuk berlatih pantun. Apakah pantas jika aku menolak tawaran Atan ini? Lalu untuk apa aku berlatih habis-habisan dengan Ayah?
Namun, jauh di lubuk hati, Aku kecewa dengan Atan. Padahal dulu, ia adalah pemantun remaja terbaik semasa di Tanjungpinang. Tapi sekarang, jangankan berpantun, logat melayunya saja sudah hilang entah ke mana. Ada apa denganmu, Tan?
“Taklah, Tan. Aku tak nak. Itu tanggung jawab kau. Bukan Aku.” Aku menolaknya.
“Apa kamu mau melihat Kepulauan Riau tanpa delegasi? Sedangkan Tanjungpinang sudah dianggap sebagai kiblat bahasa Indonesia?” cecarnya.
“Bukan masalah ‘tu, Tan. Tapi ini masalah tanggung jawab terhadap budaye kite. Kau harus tunjukkan kalau Melayu ‘tu tak hanya besar cakap. Sudahlah, aku masih banyak tugas.” Kataku sambil berlalu.
***
“Festival Tradisi Sastra Lisan se-Indonesia telah resmi dibuka. Festival ini akan menampilkan berbagai macam tradisi sastra lisan yang berkembang di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Menampilkan; Umpasa dari Batak, Ende-Ende dari Tapanuli, Paparikan dari Sunda, Parikan dari Jawa Tengah, Londe dari Toraja, Talibun dari Sumatera Barat, dan Pantun dari Kepulauan Riau. Untuk penampilan pertama mari kita sambut dengan tepukan gemuruh untuk delegasi sastra melayu Kepulauan Riau dengan penampilan pantun!” suara yang keluar dari sound system yang telah ditumpuk di samping pentas.
Tampak seorang mahasiswa berjalan gagah bak Laksamana menuju pentas mengenakan pakaian adat melayu lengkap dengan songket dan tanjaknya.
Atan?
Bukan.
Ia Awang bin Sahar.
“Tan, seharusnye, tak Melayu hilang di bumi, tapi ke mane kau menghilang.” Desis Awang dalam hati.
“Jangan dikerat sebatang kayu // Menimpa atap rumah Cik Etun
Inilah tebiat orang melayu // Sebelum bercakap dia berpantun”

“Pergi berdue ke tebing dusun // Bawa bekalan Datuk Laksamana
Mari semue lestarikan pantun // Sebagai warisan budaya dunia”

Tanjungpinang, 14 Mei 2011
Catatan:
1: berceramah
2: ikan teri
3: bodoh
4: perahu kecil sejenis sampan menggunakan mesin

2 Person has expressed his thoughts, Now you turn guys!

  1. Anonim

    macam sedih je lah tengok melayu kat indonesia ni..

    budak melayu johor bahru


  2. Bagian paling lucu :
    “Tan, seharusnye, tak Melayu hilang di bumi, tapi ke mane kau menghilang".

    Hal yang saya ketahui adalah karena perkembangan zaman, makin banyak budaya daerah yang tersisihkan. Jangan kan bahasa Melayu si empunya bahasa Indonesia, bahasa Jawa pun, yang konon dituturkan hampir 50% penduduk negeri ini, pun sekarang kiat menyusut. Sedih juga terkadang, melihat budaya daerah semakin punah. Jadi, kontribusi kita sebagai generasi muda untuk menjaga budaya kia.

    Kalau di Melayu ada pepatah : "tak kan hilang Melayu di bumi. Hang Tuah kalau tidak salah".
    di Jawa ada juga : "Wong nJawa ora Njawani" artinya orang Jawa tapi tidak berjiwa jawa, wkwkwkwkwkw

+ Add Your Comment