Cahaya Lilin


Cahaya Lilin
Oleh  Yu Surya Kangkung

    Deru motor Benjo berkoar-koar memekakan telinga setiap pejalan kaki. Ia tak perduli dengan sumpah serapah dan makian orang-orang yang jengkel terhadapnya.
    Benjo adalah seorang pemuda tengik berumur enam belas tahun. Aku menyebutnya pemuda tengik karena ia memang pemuda tengik, setengik kelakuannya yang suka petenteng menghabiskan harta orang tuanya. Aku mengenal Benjo, jauh ketika kami berdua masih bocah ingusan. Kala itu, Benjo masih berupa bocah manis yang setiap petang hobinya ke langgar untuk mengaji. Namun semenjak ibunya meninggal, Benjo banyak berubah. Kini kerjaan Benjo setiap hari cuma menghabikan bensin, alias bolak-balik dari rumahnya di daerah Perumnas ke daerah Silaberanti. Hanya satu hal saja yang tidak berubah dari Benjo, ia tetap menjadi orang nomor satu yang membantuku jika aku berada dalam kesulitan. Hal inilah yang membuatku betah berteman dengannya walaupun ia pemuda tengik.
    Bruuum … bremm … bem, suara motor Benjo yang berhenti di depan rumahku, membuat diriku yang tengah berada di alam fantasi para tokoh Elis di Negeri Ajaib, tersentak. Lekas kututup buku yang sedang kubaca dan segera membuka pintu.
    “Jo, ini bukan sirkuit balapan!” kataku setengah berteriak.
    Benjo pura-pura tidak mendengar. Dihampirinya aku yang masih berdiri di depan pintu, lalu seraya menepuk bahuku ia berkata tanpa basa-basi, “Nanti malam temani aku.”
    “Kemana?” tanyaku singkat.
    “Ke rumah Kakek Nur,” jawab Benjo sambil meringis.
    “Apaaa!” kataku kaget, lalu lanjutku, “tidak … tidak, kau pergi saja sendiri.”
    “Kenapa, kautakut?”
    “Bukan itu masalahnya, tapi kita jangan mencari mati di sana. Kau pasti sudah dengar tentang kabar angin itu.”
    “Kalau kautidak mau, aku pergi sendiri!” tegas Benjo. Ia bergegas pergi.
     Aku menarik bahu Benjo, lalu kataku, “Baik kawan, aku temani.”
     Benjo hanya menepuk-nepuk bahuku seperti yang selalu ia lakukan. Sesaat kemudian, bruuum … Benjo pergi. Yang tertinggal cuma kepulan asap motornya saja
     Aku menghela nafas dalam memandangi kepergiannya. “Pemuda tengik yang keras kepala,” pikirku. Sudah banyak kabar angin yang kudengar mengenai Kakek Nur, seorang kakek yang tinggal di daerah Bagus Kuning. Kakek Nur sangat disegani oleh orang-orang di daerahnya. Ia terkenal sebagai orang sakti yang tiap-tiap ucapannya adalah pahit. Sudah banyak bandit kelas teri hingga kelas kakap yang mendatangi rumah sang Kakek hanya untuk mempelajari ilmu kesaktiannya. Namun, mereka hanya pulang dengan tangan kosong dan sedikit cacian. Malahan, kebanyakan dari mereka kena disumpah. Alhasil, keesokan harinya mereka sakit. Ih! Serem.
    Agar tidak memancing perhatian warga Bagus Kuning, Benjo sengaja meniggalkan motornya. Dengan langkah mantap, Benjo menuju ke rumah Kakek Nur. Aku mengikutinya dari belakang sambil sesekali bersenandung kecil untuk menghilangkan rasa takut. Setelah berjalan hampir satu jam, kami pun tiba di sebuah jalan setapak menuju ke rumah Kakek Nur. Pelan-pelan kami menyusuri jalan tersebut. Suara jangkrik mengerik dari balik rumput ilalang yang banyak tumbuh di samping kanan kiri jalan.
    Sesaat aku ragu dan menghentikan langkahku, lalu aku bertanya, “Jo, sebenarnya apa tujuanmu datang ke rumah Kakek Nur?”
    Tanpa menoleh, Benjo menjawab pertanyaanku.
    “Aku mau minta ilmu kebal.”
    Aku kaget setengah mati, “Gila kau!” umpatku, “sebaiknya kau urungkan niatmu.”
    Benjo berbalik, lalu ia bertanya, “Kau mau menemani aku atau tidak?”
    “Maaf kawan, sepertinya aku akan menunggumu di bawah pohon  itu saja,” jawabku sambil menunjuk ke arah sebuah pohon mangga yang terletak tidak jauh dari tempatku berdiri. Tanpa banyak bicara lagi, aku berlari menuju pohon mangga tersebut.
    Adapun dengan Benjo, ia tetap melanjutkan niatnya. Benjo menghentikan langkahnya tepat di sebuah bilik bambu beratap rumbia, satu-satunya gubuk kecil yang terletak sekitar seratus meter agak menjauh dari rumah penduduk, itulah rumah Kakek Nur. Suasananya gelap gulita, tidak ada penerangan sama sekali. Benjo mengeluarkan ponsel dari saku celana, kemudian ia menghidupkan lampu senter di ponselnya. Benjo berjalan mengendap-endap. Ia hendak mengetuk pintu, namun ia menahan ketukan tangannya. Ia sangsi, jangan-jangan orang yang dicari tidak ada di rumah.
    “Siapa di luar?” tiba-tiba dari dalam rumah ada suara orang memanggil.
    “Maaf, saya tersasar,” jawab Benjo setengah kaget.
    Pintu dibuka, dari dalam munculah seorang kakek tua berperawakan tinggi besar. Jenggotnya menjuntai panjang. Rambutnya yang putih digelung mirip seorang empu di zaman Majapahit.
    “Masuklah,” Kakek tua yang bernama Nur itu mempersilahkan.
    Benjo masuk, tanpa disuruh ia duduk di lantai rumah yang nampak mulai lapuk. Matanya menggitari ruangan. Tidak nampak perabotan apa pun kecuali sebuah tikar anyaman daun pandan dan sebuah lilin sebagai penerang.
    Kakek Nur duduk bersila di hadapan Benjo. Seraya meletakan kendi berisi air, ia bertanya, “Dari mana dan hendak kemanakah engkau ini?”
    “Saya datang dari daerah Pampangan hendak ke rumah seorang kawan lama yang tinggal di Silaberanti, tetapi saya tersasar.” Benjo mengarang cerita.
    Kakek Nur menatap Benjo dalam-dalam. Tatapan sang Kakek yang begitu tajam membuat Benjo salah tingkah.
    “Kenapa harus berbohong, Benjo!”
    Jantung Benjo berdegup kencang, dengan terbata-bata ia  bertanya, “Ka … Kakek tahu dari mana namaku.”
    “Cahaya lilin ini mampu menerangi tulisan yang ada di dinding hatimu. Engkau berbohong, sebenarnya kenapa engkau datang kemari?”
    Lama Benjo terdiam, sebelum akhirnya menjawab.
    “Maafkan saya, Kek. Saya kemari, sebenarnya mau minta diajari ilmu kebal. Kata orang, Kakek adalah orang sakti.”
    Kakek Nur tersenyum sinis, sambil mengelus jenggotnya ia berkata, “Ilmu kebal adalah ilmunya orang-orang yang takut mati. Bukankah pada akhirnya kita semua akan mati?”
    Benjo melongo, tidak paham dengan apa yang dikatakan oleh Kakek Nur.
    “Sekarang pulanglah. Besok malam engkau kembali lagi,” tiba-tiba Kakek Nur menyuruh.
    Bingung, Benjo sungguh bingung. Ia hanya bisa garuk-garuk kepala, tetapi ia tidak membantah perintah      Kakek Nur. Cepat ia keluar rumah dan segera pulang. Benjo bersiul-siul kecil. Di dalam hatinya ia tersenyum. Ternyata Kakek Nur tidak seseram yang dikatakan  oleh banyak orang. Benjo menghampiriku yang masih berdiri di bawah  pohon mangga.
    “Bagaimana?” tanyaku harap-harap cemas.
    “Beres ...” jawab Benjo, “besok aku disuruhnya kembali lagi.”
    “Benarkah?” tanyaku agak ragu.
    Benjo menepuk-nepuk bahuku pertanda tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Sepoi angin malam mengiringi langkah kami, pulang ke rumah.
    Keesokan harinya, pada waktu yang sama seperti kemarin, Benjo datang kembali ke rumah Kakek Nur. Tapi, kali ini ia tak ditemani olehku karena aku harus mengantarkan Ibu ke Jambi.
Pelan – pelan Benjo mengetuk pintu rumah Kakek Nur.
    “Masuklah, tidak dikunci!” dari dalam rumah, Kakek Nur mempersilahkan.
    Tampak Kakek Nur yang sedang duduk bersila dengan sebuah buku di hadapannya. Setelah Benjo mendekat, barulah ia tahu buku dihadapan Kakek Nur ternyata kitab suci Al – Quran. Sepertinya Kakek Nur baru saja selesai mengaji.
    “Kakek masih bisa membaca? Maksud saya masih jelas melihat tulisan yang hanya diterangi cahaya lilin?” ralat Benjo.
    Kakek Nur tersenyum penuh arti. Bukannya menjawab, ia malahan bertanya, “Apakah engkau bisa mengaji, Benjo?”
    Benjo menggeleng. Ia tidak bisa mengingat lagi kapan terakhir kali ia pergi mengaji di langgar Wak Safar.    Bahkan ia sudah lupa dengan ayat-ayat pendek yang dulu pernah ia  hafal.
    “Orang hidup harus mengaji, sebelum cahaya lilin mati,” gumam Kakek Nur seolah pada dirinya sendiri.
     Untuk yang kesekian kalinya Benjo bingung. Pikirannya melayang-layang, dicobanya untuk menerka maksud dari kata-kata Kakek tua itu.
     Bleep … tiba-tiba saja lilin mati. Semuanya menjadi gelap gulita.
     “Kenapa Kek, apakah lilinnya habis?” tanya Benjo panik.
     Tidak ada jawaban. Tidak ada suara, senyap. Benjo ketakutan, Ia berpikir jangan-jangan kabar angin itu benar adanya. Sekarang giliran dirinya yang disumpah jadi patung karena Kakek Nur tidak suka terhadapnya. Benjo meraba saku celananya, mencari ponsel. Belum sempat Benjo menghidupkan lampu senter ponselnya, crees … Kakek Nur memantik korek api, lilin pun hidup kembali.
     “Tidak enak ya, meraba-raba di dalam gelap,” komentar Kakek Nur
    Benjo menghela nafas, ia merasa agak lega.
     “Lilinnya mati tertiup angin,” kata Kakek Nur, lalu lanjutnya,“engkau tidak usah pulang. Hari sudah terlalu malam, menginaplah di sini.”
    “Ya, saya kira sebaiknya juga begitu.” Benjo menimpali.
    Benjo berpikir tidak ada salahnya menginap di rumah Kakek Nur. Lagi pula rumah Kakek Nur terasa nyaman meskipun hanya bilik bambu. Tidak ada nyamuk maupun tikus yang mondar-mandir. Beda dengan rumahnya yang meskipun gedong, tetapi banyak perangkap tikus yang ditebar di sana-sini. Setiap malam, kamarnya juga harus disemprot racun nyamuk sehingga membuat dadanya sesak. Kakek Nur bisa mengetahui apa yang sedang dipikirkan Benjo, ia pun bercerita kalau tikus zaman sekarang dengan zaman dahulu itu berbeda. Kalau tikus zaman sekarang suka makanan yang lezat, terlebih lagi tikus-tikus kota, sedangkan tikus zaman dahulu makan seadanya, hanya untuk bertahan hidup.
    Benjo terus mendengarkan cerita-cerita Kakek Nur, dari hal mengenai tikus-tikus kota, terus menelusuri sungai-sungai tempat Kakek Nur suka memancing, kemudian berjalan menaiki perbukitan tempat Kakek Nur mengembalakan kambing, hingga sampailah ke hutan belantara tempat para tentara Indonesia bersembunyi dari kejaran kompeni Belanda. Cerita yang sangat seru, bahkan bagi Benjo lebih seru dari pada cerita petualangan mana pun. Benjo pun sudah lupa dengan ilmu kebal yang diinginkannya. Seluruh perhatian Benjo tertumpah pada cerita Kakek Nur. Mata Benjo mulai mengantuk. Ia memejamkan matanya, sayup-sayup ia mendengar Kakek Nur yang mulai mengaji kembali. Suara Kakek Nur agak berat, namun mampu menenteramkan hatinya. Benjo pun terlelap. Di dalam tidurnya, ia melihat ribuan lilin mengelilinginya. Cahaya lilin-lilin tersebut menyilaukan matanya. Bukan, itu bukan cahaya lilin, melainkan cahaya matahari yang masuk melalui celah-celah dinding. Ternyata hari telah pagi. Benjo mengerjap-ngerjapkan matanya. Ia mencari sosok Kakek Nur, tetapi ia tidak menemukan sang Kakek dimana pun. Yang ia temui hanyalah selembar kertas usang, tergeletak di samping lilin yang cahayanya telah padam karena sumbunya telah habis dimakan api. Di atas kertas itu ada tulisan, agak pudar namun masih bisa dibaca.

Hidup ini laksana lilin…
Pergunakan cahaya yang ada sebaik mungkin
Sebelum cahayanya pergi bersama angin

    Benjo berlari keluar rumah. Ia bertanya kepada para penduduk kampung, kalau-kalau ada yang melihat Kakek Nur. Namun tak seorang pun yang tahu dengan keberadan kakek tua tersebut. Kakek Nur menghilang seperti cahaya lilin yang tertiup angin, lenyap tanpa bekas. Semenjak kejadian itu, Benjo berubah total. Ia mulai kembali mengaji. Katanya, ia harus mengaji sebelum cahaya lilinnya mati. Ia sadar, mungkin Tuhan telah megirimkan Kakek Nur untuknya agar ia dapat belajar cara memaknai hidup. Hmmm, aku senang Benjo telah berubah. Benjo bukan lagi pemuda tengik, tapi kini ia telah berubah menjadi pemuda terbaik yang pernah kukenal.

Oops! there was only one comment.. come on speak up!

+ Add Your Comment