Rumput Ilalang
Oleh: Yu Surya Kangkung

    “Mak, kapan kita mau mencari rumput?” tanya Humairoh dengan penuh semangat.
    Mak Inah yang sedang membelah kayu menoleh. Ia tersenyum melihat Humairoh tampak sibuk mempersiapkan peralatan untuk merumput. Betapa lincahnya gadis kecil berumur tujuh tahun itu. Dulu, Humairoh masih berupa bayi kemerah-merahan, tergeletak di sela-sela rumput ilalang tempat  Mak Inah selalu mencari makanan sapi Pak Tono. Saat pertama kali Mak Inah menemukan Humairoh, tubuh kecil mungilnya diam tak bergerak, tak ada suara tangisan. Setelah kedua tangan Mak Inah mengangkatnya, suara tangisnya pun pecah. Bayi mungil itu seakan-akan memang menunggu kedua belah tangan Mak Inah mengangkatnya. Dengan senang hati Mak Inah membawanya pulang, lalu ia besarkan. Meskipun Humairoh bukanlah anak yang lahir dari rahimnya, Mak Inah tetap menyayangi Humairoh.
    “Mak, kenapa diam?”
    “Eh, tidak apa-apa,” jawab Mak Inah kaget, “nanti,  setelah Emak selesai menanak nasi barulah kita pergi merumput.”
    “Kalau begitu, Emak cucilah berasnya,” kata Humairoh, “biar akau saja yang menyalakan api.”
    Mak Inah mengangguk, senyumnya pun mengembang kembali. Senang  melihat gadis kecilnya selalu ceria dan penuh semangat.
    Setelah selesai memasak, Mak Inah dan Humairoh segera pergi mencari rumput. Dengan menggunakan sepeda tua peninggalan suaminya yang telah tiada, Mak Inah membawa tubuh kecil Humairoh mencari sesuap nasi. Tanpa lelah, Mak Inah mengayuh pedal sepedanya sambil sesekali tertawa kecil mendengar celoteh Humairoh yang tiada henti. Tak terasa, setelah menempuh perjalanan yang jauhnya dua belas kilo meter, mereka pun sampai. Humairoh segera turun dari sepeda, berlarian menuju padang ilalang. Tangan kecil Humairoh dengan cekatan menyabit rumput.
    “Humairoh, hati-hati Nak. Sabitnya tajam, kemarin baru Emak asah.” Mak Inah memperingatkan.
    “Baik, Mak,” jawab Humairoh singkat.
    Satu jam lebih Mak Inah dan Humairoh menyabit rumput. Akhirnya karung goni yang tadinya kosong, kini berisi penuh dengan rumput. Mak Inah beristirahat di bawah pohon randu yang tumbuh tidak jauh dari sana, sedangkan Humairoh, seperti tiada lelah ia berlari ke tengah padang rumput. Ia bernyayi dan menari. Dipetiknya beberapa helai rumput ialang, lalu ia rangkai menjadi mirip  mahkota seperti yang selalu diajarkan Emaknya.
    “Mak, lihat … aku mirip seorang tuan puteri,” kata Humairoh seraya berlarian menghampiri Emaknya.
    “Iya, mirip puteri Nawang Wulan yang cantik.”
    Humairoh tertawa riang mendegar sang Emak menyamakan dirinya dengan salah seorang tokoh cantik di dalam dongeng Jaka Tarub  dan Nawang Wulan yang selalu menjadi penghantar tidurnya.
    Hari-hari  Mak Inah selalu dipenuhi tawa riang Humairoh. Tawa yag berubah menjadi air mata, ketika diperolokan temannya sebagai anak yang tidak mempunyai Bapak. Seperti waktu itu, Humairoh bermain dengan teman-temannya di depan rumah. Gelak tawanya terdengar oleh Mak Inah yang sedang menjahit. Tak lama kemudian, tawa itu berubah menjadi suara tangisan.
   Mak Inah berlari menghampiri Humairoh. Ia peluk gadis kecilnya itu, lalu tanyanya, “Humairoh, kenapa engkau menangis, Nak?”
   “Mayang … meledekku … katanya aku tidak punya Bapak,” jawab Humairoh tersedu-sedu.
   Darah Mak Inah berdesir mendengar kata-kata Humairoh, anaknya. Semakin eratlah ia memeluk Humairoh.
   “Jangan menangis, sayang. Dari surga Bapak melihat, kalau dilihatnya engkau sedang menangis, nanti ia sedih.”
   Humairoh cepat menghapus air mata. Ia pernah mendengar cerita dari Emaknya bahwa sang Bapak telah lama meninggal sejak ia masih berada di dalam kandungan, sebuah cerita karangan untuk seorang anak yang tidak tahu perihal akan dirinya.
   Seiring berlalunya waktu, Humairoh pun tumbuh menjadi  gadis remaja. Mak Inah tidak bisa mengarang cerita lagi, mengatakan bahwa sang Bapak telah lama tiada. Kini, Humairoh telah mengerti bahwa kata-kata “tidak punya bapak” sama artinya dengan anak yang lahir tanpa bapak. Sudah terlalu sering ia mendengar orang-orang membicarakan dirinya sebagai anak yang lahir tanpa bapak, lalu dibuang di semak-semak ilalang. Humairoh mencoba untuk tidak menangis karena ia toh sama sekali tidak kurang kasih sayang dari seorang Emak yang bernama Inah. Humairoh melewati hari-harinya seperti biasa, tersenyum dan tertawa. Hingga sampai suatu saat, Humairoh tidak bisa lagi berpura-pura tertawa, namun di dalam hati menangis.
   Pagi itu, Humairoh hendak membeli sabun. Tampak para Ibu sedang berbelanja di warung Wak Eli. Mereka tak menyadari kedatangan Humairoh, hingga tanpa sengaja Humairoh mendengar pembicaraan mereka, lagi-lagi mengenai dirinya. Humairoh pura-pura tidak tahu, ditundukannya saja kepala seperti yang selalu ia lakukan. Akan tetapi, entah mengapa hari itu ia ingin sekali menatap wajah-wajah yang senang sekali mempergunjingkan dirinya. Humairoh menatap mereka yang memandangi dirinya dari ujung rambut hingga ke ujung kaki dengan rasa jijik. Humairoh ingin menangis. Bukanlah kata-kata “tidak punya bapak” yang membuatnya ingin menangis, melainkan pandangan mereka seolah-olah melihat hal yang paling menjijikan di dunia. Humairoh mengambil langkah seribu, meninggalkan warung Wak Eli. Ia menahan air matanya agar tidak tumpah, diambilnya sepeda Emaknya yang diletakan di samping rumah. Tanpa pamit, ia pun pergi. Ia mengayuh sepeda sekuat tenaga menuju padang ilalang. Tempat yang tak seorang pun akan melihatnya menangis. Disanalah, Humairoh menangis sejadi-jadinya. Meratapi dirinya sendiri. Kalaulah ia anak jadah, pastilah ia memiliki Ibu meskipun tiada berbapak. Tapi, ia tak memiliki ayah bahkan ibu. Ia berpikir kalau dirinya terlahir dari batu.
   Rumput ilalang bergoyang-goyang tertiup angin, membelai rambut Humairoh yang hitam panjang.
   “Humairoh, kenapa engkau menangis? Dimanakah engkau sembunyikan tawa riangmu?” tanya rumput ilalang.
   “Aku sedih, tidak memiliki Bapak bahkan Ibuku pun entah di mana,” jawab Humairoh terisak-isak.
   “Jangan menangis Humairoh. Jalani sajalah hidupmu seperti apa adanya.”
   “Tapi Tuhan tidak adil. Kenapa aku terlahir sebagai anak yang tak diinginkan, anak jadah!” protes Humairoh.
   “Ada saatnya nanti engkau akan mengerti, kenapa engkau terlahir sebagai dirimu,” kata rumput, “seperti aku, dulu aku bertanya mengapa aku diciptakan sebagai ilalang. Selalu menurut kemana pun ditiup angin. Malu, dikatakan tidak berpendirian. Coba kau lihat pohon randu itu ….” rumput ilalang menghentikan kata-katanya.
   Humairoh menoleh ke arah pohon randu yang selalu menjadi sandaran Emaknya. Pohon itu kini telah tumbang.
   Rumput ilalang kemudian berkata lagi, “Kemarin, pohon randu itu masih kokoh. Sampai saatnya datanglah angin yang berhembus sangat kencang. Ia tetap berdiri dengan kokoh melawan angin, tapi … lihatlah, ia roboh karena kesombongannya. Sedangkan aku, masih di sini, masih di tempatku berada. Akhirnya, aku mengerti mengapa aku diciptakan sebagai ilalang,” rumput ilalang berhenti sejenak, lalu lanjutnya, “Tersenyumlah Humairoh, aku akan bernyanyi untukmu.”

Hidup hanyalah sebuah kisah…
engkaulah pemeran utamanya
Berlakonlah sebaik mungkin, hingga kisahmu akan berakhir bahagia
Kalaupun tiada bahagia,
yakinlah bahwa kisahmu tetap memberi makna.

   Humairoh menyusut air matanya, lalu tersenyum. Ia mulai mengerti mengapa ia terlahir sebagai Humairoh. Andai saja ia tidak terlahir sebagai anak jadah, mungkin ia tak akan dibuang. Ia juga tidak akan bertemu Mak Inah, tak akan merasakan lembutnya belaian tangan wanita itu, tak akan merasakan betapa hangat berada di pelukannya, tak akan melihat senyumnya yang selalu memberi semangat. Humairoh segera bangkit, berjalan meninggalkan padang ilalang.



                                                                         *Tamat*




































































































































































































































































































































































































































































 


+ Add Your Comment